Bunga artifisial berwarna kuning tadi sempat terinjak kakinya. Kini, sempurna sudah tertancap di stirofoam dalam vas mungil di kamarnya. Sesaat Hana memandangnya sumringah sampai tatapan itu berpindah ke samping vas. Wajah Hana berubah menjadi tanda tanya. Sepertinya Ammar benar, tidak ada foto di samping vas itu. Foto itu berukuran kecil, hasil potongan foto yang lebih besar. Temannya memotret Hana saat di kamar kos, lalu mengeditnya dengan Photoshop. Menurut Hana, hasil karya kawannya bagus sekali. Warna foto itu menjadi cerah, wajahnya didandani meski awalnya butek parah, tapi yang terpenting latar aslinya yang berupa tumpukan pakaian bisa berubah menjadi salju. Bagi Hana itu lucu, jadi ia menyimpannya. Kebetulan Hana memiliki bingkai foto mungil untuk ukuran 4x6, jadilah foto itu dipotong menyesuaikan bingkai. Namun, sekarang hilang.
Hana mengangkat mejanya dan tidak menemukan apa pun, kecuali debu yang harus dieksekusi. Memang area ini sering terabaikan, dibanding meja belajar Hana.
“Hana!”
Padahal tadi ia sudah bercakap-cakap dengan Ibuk. Ada apa lagi sekarang? Hana keluar kamar untuk menjawab panggilan itu.
“Payung yang Hana bawa ke sekolah mana?” tanya Ibuk.
Hana menepuk keningnya.
“Ketinggalan. Maaf ya, Bu.”
“Waduh, payung kita sisa satu. Kalau besok hujan gimana?” Ibuk mendesah sedih.
“Ibuk nggak usah ke mana-mana. Biar Hana aja yang jalan.”
“Tapi, motor Ibuk pakai ya.”
Bagi Hana tidak ada masalah kalau harus naik angkutan umum. Ibuk sepertinya sibuk bolak-balik ke rumah Nenek. Seandainya saja ada penghargaan menantu teladan, Hana pasti akan mengajukan Ibunya.
“Hana kerja malam besok?” tanya Ibuk.
“Kerja.”
“Malam besoknya?”
“Kerja”
“Malam—”
“Buk, Hana libur di malam Jumat dan malam Senin. Emang kenapa?”
“Nggak apa-apa. Nanya aja. Malam Jumat dan malam Senin,” ucap Ibuk mengulang kalimat Hana.
“Malam Senin itu berarti Minggu, malamnya. Ya, ya, ya.”
Ibuk seperti bicara sendiri.
“Ya sudah. Istirahat sana,” katanya sebelum beranjak.
Hana memang sudah benar-benar lelah. Keinginan untuk mencari foto hilang sudah. Beruntung Hana sudah melaksanakan shalat Isya, membersihkan diri, membuat simulasi, mencantumkan hal penting pada notes, merangkum, menilai tugas-tugas, menilai level kemahiran siswa, mengevaluasi kemampuan dirinya sendiri.
“Ya Allah. Ternyata jadi guru, sampai mau tidur pun harus mikir pelajaran dan murid-murid ya,” ucap Hana dengan mata terpejam. Mendadak Hana membuka matanya, menatap langit-langit kamar.
“Maksud Halim, yang ketinggalan itu payungku?”
Hana kembali menutup matanya. Itu hanyalah payung lipat mungil dalam genggaman, bisik Hana. Memang seberapa jeli anak itu? Apakah kemampuan visualnya lebih baik? Bagaimana kemampuan dengarnya? Dengan cara apa ia menyerap materi? Membaca atau mendengar atau berinteraksi? Selama di kelas, anak itu hanya menyimak, tidak bertanya, tidak juga ingin menjawab pertanyaan, tapi bukan tipe pemalu, bisa membuka percakapan, senang duduk di depan, tidak punya laporan buruk dari kawannya. Nilainya tidak selalu sempurna, tapi selalu ada. Lantas, bagaimana mengetahui minatnya di pelajaran ini? Bagaimana dengan Januar? Tidak, tidak. Januar akan bertanya jika tidak paham. Marlan masih mau berdiskusi. Begitu juga dengan anak-anak perempuan, mereka bersedia datang ke ruang guru. Fendi agak rumit, tetapi ia akan protes jika pembahasan terlalu cepat atau tidak dimengerti. Anak itu mudah protes pada hal apa pun. Teguh? Ini baru rumit. Anak ini ke sekolah cuma untuk tidur. Memang seperti apa hari-harinya di rumah ?
Tubuh Hana sudah siap tidur, tetapi pikirannya malah membuat cabang-cabang baru.
[ ]
Hujan datang keesokan hari. Ibunya benar. Untung adiknya tidak tertarik memakai payung. Anak remaja itu lebih memilih berjaket dengan tetap terlihat basah. Menurutnya itu lebih keren daripada harus berpayung. Apalagi payung yang tersisa di rumah itu adalah payung bermotif bunga.