Hana, Sekolah Terakhir

lidhamaul
Chapter #8

PERTANDINGAN

“Guru baru?”

Astaghfirullah!”

Bahu Hana tersentak gara-gara seorang murid menyapanya dari samping. Kalau sapaan biasa tidak apa. Siang itu, Hana sedang duduk di kantin ala-ala. Ramlahlah yang memberi nama demikian. Tiba-tiba, seorang murid lelaki menegurnya dengan cara melompat, berjongkok ke atas kursi tepat di samping Hana.

 “Ibu masih muda. Ngapain ngajar di sekolah kayak gini?” katanya lagi setelah melihat wajah Hana.

 “Namaku Wira. Kelas sebelas. Anak lama.” Menjelaskan kalau dirinya bukan pindahan.

Hana memerhatikan pemuda itu, bertopi terbalik, berkulit sawo matang, dan masih berjongkok di atas kursi.

 “Ya Wira. Saya guru baru.” Akhirnya Hana berkata.

 “Selamat datang di SMA Pattimura, Bu. Jangan kaget lihat anak-anaknya. Mereka memang begitu. Oke, aku masuk kelas dulu. Ibu nanti ke kelasku kan? Aku tunggu.” Wira lalu melompat dari kursi itu.

Hana mengangguk ringan. Suara Jamal meneriaki Wira terdengar samar.

 “Jangan percaya Wira, Bu. Dia playboy!”

Namun, Wira hanya terkekeh.

Hana menyeruput minumannya setelah Wira tak lagi nampak.

 “Anak lama, tapi baru masuk Agustus ini,” ucap Hana pelan.

 “Itu anak basket, Bu. Katanya dia habis pulang turnamen atau apa gitu,” ujar Ramlah.

 “Oya? Banyak banget olahragawan di sekolah ini ya.”

 “Oh iya. Banyak yang sudah ikut lomba-lomba besar, Bu. Banyak yang sudah punya nama,” kata Ramlah tidak benar-benar menjelaskan apa dan siapa yang ia maksud.

Hana memikirkan apa yang sebenarnya ia ketahui tentang olahraga? Dia tidak pernah meluangkan waktu untuk menonton pertandingan olahraga apa pun, kecuali saat World Cup. Itu pun karena dipaksa teman-temannya. Tidak menyempatkan diri untuk tertarik berolahraga apa pun, kecuali jalan dan lari, sendirian.

Di lapangan, Hana melihat anak-anak sedang bermain voli. Mereka berlatih sekaligus bersenang-senang.

“Hai. Ibu boleh ikutan?” tanya Hana masuk ke lapangan.

Murid-murid di lapangan menerima Hana dengan senang. Tak menyangka. Beberapa murid di luar lapangan spontan ingin ikut bermain.

Tidak ada ruginya mencoba satu olahraga, meski mendadak Hana merasa terlalu tua.

[ ]

 “Habis main sama anak-anak, Mbak?” tanya Bu Tri basa-basi.

 “Ya Bu. Oh iya. Wira kenapa baru masuk ya?” Hana balas bertanya.

 “Ikut tanding di luar kota. Ada suratnya kok, Mbak.”

Ibu Tri memberikan surat izin Wira. Hana memercayainya, hanya mengkhawatirkan pelajaran Wira yang tertinggal. Mudah-mudahan saja anak itu bisa diajak kerja sama. Sementara itu, Bu Juni masuk bersama Ricky dan orang tuanya. Hana dan Bu Tri memilih keluar dari ruang guru, melihat suasana yang sudah sepi. Mereka membahas rencana kegiatan Agustus-an yang terbatas. Menurut Bu Tri, akan ada beberapa lomba nantinya, yakni membuat tumpeng, lomba busana merah putih, lomba kebersihan kelas, story telling sejarah kota, juga lomba Agustus-an umumnya. Hana menawarkan diri untuk membantu, yang ternyata tidak diperlukan. Dia diminta menjadi penonton saja. Bu Tri juga menyebut bahwa esok mereka akan menonton pertandingan sepak bola untuk mendukung para murid yang tanding.

 “Kita semua?” tanya Hana berulang.

 “Ya, satu sekolah. Ini turnamen penting. Semua SLTA se-Balikpapan yang ikut. Besok pembukaan, sekaligus tanding perdana. Mbak Hana pernah nonton pertandingan sepak bola ?”

Secara langsung? Ya di lapangan kampung. Akan tetapi, di stadion?

 “Seingat saya belum pernah deh, Bu.”

[ ]

Bu Juni merasa terpuaskan jika dapat berbicara langsung dengan orang tua Ricky. Berdasarkan pengalamannya, para orang tua tidak pernah mengeluhkan teknik mengajar para guru di sekolah itu. Sekali pun anak-anak mereka harus dihukum, para orang tua akan menerima itu. Berbicara tentang Ricky, Hana baru ingat ingin menanyakan sesuatu.

 “Ricky ini sudah sembilan belas tahun ya?” Waktu itu Hana melihat berkasnya, tapi belum sempat menanyakannya.

 “Ya. Ada apa?” tanya Bu Juni kembali.

 “Saya pikir kalau kelas dua belas, umumnya berusia tujuh belas atau delapan belas.”

 “Berkasnya benar. Yang lebih tua dari Ricky lebih banyak.”

Bu Juni meminta Hana melihat berkas siswa. Betapa takjubnya Hana melihat usia rata-rata kelas XII adalah dua puluh tahun. Bahkan ada yang lebih tua dari itu.

Lihat selengkapnya