Hana menambahkan jaket ke tubuh untuk cuaca yang masih basah hari itu. Suasana merah putih kental sejak memasuki gerbang dan koridor panjang, yang masih banyak terdapat anak-anak SMP. Sementara di bangunan SMA yang lebih kecil, Hana tidak menyangka pemandangan merah putih lebih indah dari yang ia bayangkan. Dika, Marlan, Jamal, serta murid-murid perempuan menyambut Hana dengan protes keras.
“Ibu ngapain sih di rumah aja. Ke sekolah dong! Aku nunggu Ibu, kucari-cari ke mana-mana, ndak ada! Padahal seru banget kemarin tu! Semua guru datang, ikut lomba!” kata Dika berapi-api.
“Berlebihan! Kamu cuma cari di kantor. Ibu kenapa?! Katanya sakit?” tanya Marlan.
“Kenapa ndak ada surat sakitnya? Coba kalau aku yang sakit, ndak ada yang percaya!” ucap Dika masih berapi-api.
Hana ingin menanggapi dengan senyuman, tapi mereka terlihat serius menyemprot Hana. Sementara murid-murid perempuan, seperti Gina c.s., meski kecewa gurunya tidak datang, tetap ceria dan berkata, “Selamat, Ibu jadi guru favorit!”
“Hah!” sontak Hana terkejut.
“Aku udah bilang milih Ibu, kan!” sahut Gina.
Sebenarnya itu perlombaan kecil, senang-senang antara guru dan murid. Namun, ada secuil ketidaknyamanan dalam hati Hana. Dia baru dua bulan mengajar. Bagaimana kalau guru lama serius dengan lomba ini lalu merasa kecewa dengan hasilnya, bagaimana kalau tumbuh perasaan tidak berguna di antara guru senior atas apa yang mereka lakukan selama ini, bagaimana kalau ada guru lain berharap terpilih, atau hanya Hana yang berlebihan?
Suara siul murid-murid lain yang menyorakinya sebagian dibalas dengan senyuman, sebagian diabaikan, sebagian memang terasa mengganggu.
Fendi yang berpapasan dengannya berkata, “Kalau aku sih ngapain pilih dia, kayak nggak ada guru lain aja. Masih ada wali kelasku. Wali kelas tu idola tau.” Tidak tepat di depan muka Hana, Fendi hanya berbicara dengan angin.
Guru-guru lain menyapapanya dengan ceria, menanyakan kesehatannya, serta mengucapkan selamat, seakan Hana mengalami peristiwa besar. Belum ada kegiatan belajar mengajar pada hari itu. Ruang guru dipenuhi semerbak kuliner berwarna merah putih, dengan guru-guru yang masih sibuk melakukan penilaian, karena beberapa lomba belum diumumkan. Beberapa anak meminta izin memutar lagu kemerdekaan. Beruntung Hana tidak diamanahi tugas. Dia akan merasa sangat tidak bertanggungjawab jika tidak bisa datang. Pak Ghozali turut mengucapkan selamat pada Hana. Tahun itu juga Bu Juni dan Pak Abui dianugerahi sebagai guru teladan. Sedih sekali tidak bisa hadir, karena guru-guru terus bercerita tentang peristiwa menyenangkan selama beberapa hari itu, membuat Hana menjadi pendengar sejati.
Seorang murid laki-laki mengenakan hoodie hitam, menjadi satu-satunya makhluk pasif yang ada di ruangan itu duduk mematung di kursi Hana. Namanya Kamsir, murid kelas XI, yang pernah tidak naik kelas.
Hana bertanya padanya, “Kenapa?”
“Bolos,” jawabnya kikuk.
“Apa lagi?” Hana tahu pasti masih ada lagi yang membuatnya dihukum.
Anak muda itu membuka sedikit kerah hoodienya, yang memperlihatkan tidak ada seragam di dalamnya.
“Apa lagi?”
Anak muda terdiam, ketakutan, sebelum menjawab, “Nggak.”
Siska datang ke meja Hana, melempar catatan tepat di depan Kamsir, “Nih! Ikuti semua perintah yang sudah saya tulis. Jangan ada satu pun yang terlewat atau kau ndak selamat dari sini!” Kemudian Siska pergi meninggalkan anak muda yang pucat itu.
Kamsir menyimpan catatan itu buru-buru, pamit dan minta maaf pada guru, terutama pada Bu Tri.
Kemudian Kamsir sadar, “Ini kursi Ibu?” tanyanya, yang diiyakan oleh Hana.
Kamsir minta maaf berulang-ulang pada Hana sebelum akhirnya pergi.
Hana pun menanyakan permasalahan Kamsir pada Bu Tri.
“Aduh, gimana ya. Dia bilang ‘Bu Siska itu perawan tua galak.”
Hana mengatup bibirnya. Itu buruk sekali.
[ ]
Suara dari pentas seni masih terdengar, meski para murid sudah diizinkan pulang. Hana memilih pulang mendahului semua guru. Dia ingin bertenaga saat bertemu murid-muridnya yang lain, dan Ningrum, serta sekoteng malam. Di dekat gerbang, tampak Jamal c.s dari kelas XI, bersama anak-anak kelas XII, juga seseorang tidak berseragam, sedang bergerombol di atas motor. Ada kepulan asap di tengah-tengah mereka.
“Kalian merokok?” tanya Hana tak percaya.
Tak ada yang menjawab. Masing-masing menyembunyikan tangan.
“Kemarikan,” pinta Hana.
“Jangan Bu. Ini sudah bukan area sekolah.”
“Masih.” Hana mengulurkan tangan.
“Jangan gitu lah Bu. Aku sudah milih Ibu jadi guru favorit, nanti aku nggak mau lagi nge-fans sama Ibu,” jawab mereka gusar.
Semua memprotes tindakan Hana, kecuali satu anak berkata, “Kasih sudah, nanti dilaporin ke Pak Ghozali, habis kita.”
Sambil menggerutu, menyumpah serapah dengan nama hewan, anak-anak itu langsung mengegas motor mereka. Di belakang, motor-motor yang baru keluar gerbang juga sama berisiknya.
“Kenapa tuh?”
“Ada yang sok-sokan kayaknya.”
“Huh!”
Motor Halim berhenti di depan Hana dengan wajah menyiratkan kejengkelan. Hana menanti apa yang diucapkan pemuda itu, mungkin ia akan ikut menyemprot Hana, menyebutnya sebagai orang yang suka mengambil kesenangan orang.
“Aku serius. Aku doain Ibu tahun ini bisa nikah. Capek ngelihat Ibu digangguin terus,” katanya dengan kedua tangan yang selayaknya berdoa.
Kali itu, Hana ingin menampik dengan kalimat ‘tidak sesederhana itu’. Namun, Hana hanya melepas Halim dengan tatapan.
[ ]
Malamnya, Ningrum berkata, “Kalau aku jadi kamu, udah kutarik anak-anak itu. Terus, kuputar-putar di udara.”
Hana tertawa muram, “Janganlah. Itu murid-muridku.”
“Tapi, mereka bisa apa? Itu sekolah terakhir buat mereka, harusnya mereka jaga sikap dong. Masak demi rokok, adab bisa hilang.”
“Rokok mahal, Mbak.”
“Atau kamu— sering maki-maki, ngamuk gitu. Pernah nggak sih?”
“Nggak. Belum berasa pengen marah aja. Emang solusi?”
“Kali aja solusi. Napa? Nggak bisa marah? Kamu kan bisa akting. Dulu peranmu antagonis kan? Pemarah, judes,” saran Ningrum.
“Ada-ada aja, Mbak. Itu kan untuk pentas,” jawab Hana.
“Hana, kadang— ada orang yang memanfaatkan kebaikan kita bahkan tanpa niat memanfaatkan. Ada orang yang dalam pertemanannya, bisa saling meremehkan, meski tanpa maksud meremehkan, karena terlampau merasa akrab.”