Hana, Sekolah Terakhir

lidhamaul
Chapter #11

NASIB JADI GURU

Mereka sudah memasuki materi penjurnalan. Hana berusaha optimis bahwa murid-muridnya bisa mengerti, asalkan kelas tidak berubah menjadi onar. Sebelumnya, ia membagikan hasil tugas mereka beberapa waktu lalu. Penilaian itu selalu memiliki catatan di bawahnya. Catatan sesuai hati Hana.

Kania : Dear Kania, you’re doing good job. Salah dua aja lho! (Itu pun udah Ibu perbaiki)

Mala : No.5 dan 6 terbalik. Tapi, gak apa, baru nomor, cara sholat jangan.

Teguh: Tuan Teguh, tolong bangun dan selesaikan tugasmu. Karena di atas ini belum selesai.

Idang : Semangat Dang. Tanya-tanya kalau belum paham ^_^

Fendi : Nggak ngerti. Kamu ngisi apa di atas.

Dika :  Napa hari ini dapat telur lagi L

Marlan : Bagus, bagus, tp lebih bagus kalau 4 soal gak dikosongin.

Anak-anak itu memang sering asal mengisi. Ada yang menulis di tugasnya, ‘aku gak tau jawabannya, Bu’ padahal sudah diizinkan membuka buku. Ada yang menulis ‘sudah kuisi semua, yang penting aku berusaha kan’ padahal jawaban tidak menyambung dengan soal. Ada juga yang tidak mengumpulkan tugas. Agar penilaian mereka tidak sampai kosong, Hana terus mengganti jenis tugasnya, jika gagal dengan tugas tulisan, bisa dengan tugas praktik, atau lisan. Semakin bergulirnya waktu, peningkatan materi jelas akan dirasakan anak-anak. Makin banyak perhitungan dalam pelajaran ekonomi kelas XII, sehingga Hana akan melakukan refleksi pembelajaran, untuk melihat sejauh mana kesiapan murid, kemampuan menyerap materi, serta antusias mereka. Tentu, juga untuk melihat seberapa baik kemampuan Hana sebagai pengajar. Akan berat membahas materi baru, jika materi dasar tidak dimengerti. Seperti ingin meneruskan langkah, tetapi satu kaki masih terjebak di lumpur.

Selesai mengajar, Hana mengabsen murid meski ia sudah tahu siapa yang masuk dan tidak masuk.

“Guntur sakit apa?” tanya Hana pada kelas yang rata-rata menjawab tidak tahu.

“Emang nggak ada yang dekat sama Guntur?” tanyanya lagi, yang dibalas dengan tunjuk menunjuk.

“Ya udah, kita tengokin Guntur yuk,” tawar Hana.

Kelas spontan riuh.

“Haaah, buat apa?!”

“Nggak usah lah, Bu.”

“Malesnya. Ngapain ke sana!”

 “Kan dia sakit. Ada teman sakit, kita jenguk, wajar dong. Emang kenapa kalau kita jengukin dia?” tanya Hana penasaran.

“Halah, paling dia bote,17 Bu!” Suara-suara menyanggah Hana.

“Bu, ngapain jengukin dia? Paling dia main game,” ucap Fendi lantang.

“Kan dia sakit. Mungkin dia bisanya cuma main game.” Hana membalas lagi.

“Haduh, Ibu ini!” sorak yang lain.

Kali itu suara Fendi terdengar serius, “Bu, denger ya. Kalau kita ke sana, paling dia nggak sakit. Dia sehat-sehat aja.”

Hana tahu maksud muridnya, tetapi juga tetap ingin mempertahankan maksud baiknya.

“Kalau begitu bagus, dong. Kedatangan kita membuat dia menjadi sehat,” balas Hana tersenyum ramah.

“Haish!” serempak kelas memprotes.

“Kok bisa dia jawab begitu,” ucap Fendi seraya memukul meja.

[ ]

Ruang TIK yang memanjang dengan tujuh dan delapan komputer menghadap dinding itu dihubungkan dengan ruang guru, tanpa pintu, hanya tirai. Pak Sanusi memperkenalkan komputer satu demi satu, menjelaskan kemampuan dan kekurangan, keadaan ruang itu, kecakapan anak, serta situasi yang sering ia hadapi. Semua itu dilakukan, karena Pak Sanusi sudah menyampaikan permintaannya agar Hana bisa mengajar kelas X pada bulan depan. Lelaki itu berencana mengurangi jadwal mengajarnya sedikit demi sedikit. Hana mengetes beberapa komputer yang merupakan perangkat lama. Terdapat satu komputer yang terhubung dengan pencetak. Sebenarnya Hana agak cemas. Dia tidak merasa berpotensi mengajar TIK, sehingga sangat berharap sekolah dapat menemukan guru TIK yang sesungguhnya. Ketika kedua guru itu keluar melewati tirai, beberapa rekan kerja mereka terdengar berdehem. Entah siapa.

Pak Hamdan tampak sibuk bersama anak-anak yang berminat pada pembuatan mading. Bu Fatimah mendengarkan anak perempuan kelas X yang bersedih, sama seperti Bu Juni yang bertukar cerita dengan murid perempuan lain. Suara Pak Rusli yang menasihati dua murid tentang kesehatan paru-paru terdengar lebih nyaring dari posisi Hana. Bu Siswati berbisik-bisik dengan tiga anak, yang sepertinya memiliki permasalahan sangat pribadi. Hana seakan baru menyadari, di sekolah itu tidak terdapat guru BK.

 “Ada yang ingin didiskusikan, Bu Hana?” tanya Pak Ghozali keluar dari ruangannya.

 “Ya, Pak.”

 [ ]

Momen setelah razia adalah masa menyenangkan. Setidaknya para guru bisa melihat murid-murid mereka berpenampilan rapi, serius saat di kelas. Sayangnya, momen itu tidak bisa berlangsung selamanya. Seperti kata Pak Ghozali, masa itu naik dan turun. Guru dan murid menghadapi kerumitan masing-masing. Jika guru bisa membawa persoalan lain ke sekolah, murid juga demikian. Kemudian benturan pun terjadi. Guru menganggap murid tidak becus belajar, murid merasa guru tidak bisa mengajar, di saat semestinya mereka bisa saling menghargai.

 “Karena itu sebisa mungkin, anak-anak diajak untuk nyaman bercerita tentang persoalan yang mereka hadapi pada guru mana pun yang membuat mereka nyaman,” kata Pak Ghozali ketika mereka membahas tentang bimbingan konseling sekolah.

 “Suasana hati anak-anak sangat mudah mempengaruhi cara belajar mereka,” katanya lagi.

Seperti saat itu, Kelas XI dipenuhi campuran aroma tidak nyaman. Anak laki-laki mengibaskan buku-buku dengan kencang. Salah satu murid terlihat mengoper udara ke luar jendela. Buat apa coba, kalau bukan karena— Hana memutus pikirannya. Bersama mereka, tidak selamanya wajah-wajah persahabatan terpampang, ada kalanya mereka menatap Hana bak lawan. Hari itu, wajah-wajah penentang yang sedang terpasang.

Seusai mengucapkan salam, dengan cepat Hana membagikan hasil tugas pada masing-masing anak. Seorang anak bernama Topan kemudian berteriak, “Bu! Ibu tahu dari mana? Kok bisa Ibu tahu sih?!”

Maka, yang lain ikut terkejut, buru-buru melihat hasil tugas Topan, yang di bawahnya terdapat tulisan ucapan selamat ulang tahun.

 “Bu. Ibu adalah orang pertama yang mengucapkan ulang tahun ke aku. Anak-anak sini aja nggak ada yang tahu, Bu,” ucapnya senang.

Itu terdengar tidak mungkin. Masak kan ucapan yang ditulisnya kemarin tetap membuat Hana menjadi orang pertama.

“Semoga usia Topan makin berkah ya,” kata Hana ikut senang.

Wajah-wajah penentang pun berubah menjadi senyuman.

“Cie-cie Topan,” kata mereka.

Hana terpaksa menutup kesenangan itu sesegera mungkin.

“Oke. Tema kita hari ini tentang pengangguran.”

Pengangguran dapat terbagi berdasarkan lama waktunya, juga penyebabnya yang bisa berdasarkan faktor siklikal, friksional, struktural, teknologi hingga musiman. Demikian Hana menjelaskan dalam rincian.

Kelas XI pun berubah menjadi santai. Seorang guru bisa merasakan suasana belajar yang nyaman atau menganggu. Hana mencatat bahwa itu adalah momen terbaiknya saat mengajar di kelas. Tidak ada yang saling hina, berpindah-pindah, repot meminjam alat tulis, bahkan tidak ada yang menguap. Mereka mendengarkan, menyimak, mencatat, dengan wajah damai sekaligus antusias. Indah sekali.

Tibalah tahap kesimpulan dan tanya jawab.

Lihat selengkapnya