Zul datang ke rumah Hana dengan tiga bungkusan plastik sangat besar yang berisi pakaian. Pengumuman kegiatan penggalangan dana dan pengumpulan barang layak pakai yang telah Hana pasang di sekolah tidak terbilang sukses besar, pun tidak gagal. Beberapa guru ikut berdonasi, tetapi hanya seorang Zul yang tergerak untuk menyumbang pakaian.
“Waw. Ini banyak sekali Zul.” Hana tak percaya pada apa yang ada di depan matanya.
Meski seorang saja, baju-baju itu sudah bisa mewakili sumbangan dari lima orang.
“Ini belum semuanya kubawa Bu,” jawab Zul ceria. Pemuda berkulit pucat, berkawat gigi itu memang selalu ceria, dalam cara yang polos.
“Kita sortir ini ya Zul. Karena cuma yang layak yang bisa dibawa. Nggak pa-pa, kan.”
Hana khawatir kalau pemuda itu kecewa, karena itu ia meminta izin lebih dulu. Kata Zul, pakaian-pakaian bekas itu bukan hanya miliknya semata. Selain milik keluarga, pakaian-pakaian itu tadinya juga milik bosnya. Berkat Zul, Hana jadi tahu kalau kebanyakan murid-muridnya menyambi bekerja.
“Habis lulus SMP, aku diajakin kerja sama orang, buat ngisi libur aja, Bu. Pas dapat gaji pertama, Mamakku bilang lanjutin aja kerja, uangnya lumayan buat adekku sekolah. Akhirnya aku kerja, sampai telat SMA,” tuturnya.
“Zul nggak sedih telat SMA?” tanya Hana.
“Sedih. Tapi, nggak kesal. Bersyukur aja. Sekarang aku juga masih kerja, tapi nggak di tempat yang sama lagi.”
Suara yang mengandung spirit itu dengan mudah masuk ke dalam hati Hana.
“Zul akrab dengan Kamsir?” tanya Hana.
“Kamsir? Biasa aja, Bu. Nggak akrab-akrab banget. Emang kenapa? Dia jarang gabung ama anak-anak lain. Tapi, baik aja anaknya,” balas Zul seraya mengabaikan pakaian yang berlubang.
“Nggak apa-apa. Habis ngobrol dengan dia beberapa hari lalu. Kayaknya dia suka bahas hal-hal unik.” Hana pun teringat obrolannya dengan Kamsir tentang monster loch ness.
“Oh. Aku baru ingat. Dia ngomongin Bu Siska, kan? Kayaknya dia pengen gaul itu, Bu. Tapi salah target.”
“Zul tahu? Gaul gimana maksudnya?” Hana menjadi tertarik.
“Wah, banyak anak-anak waktu itu, Bu. Biasalah kalau ada guru-guru lewat gitu, ada yang manggil, ada yang sapa, ada yang cie, ada yang ngajak ngomong. Kalau Bu Fatimah, biasanya diomongin bajunya. ‘Cie. Bu Fatimah bajunya baru lagi ya’, Ibu juga sering, kan?” paparnya mencontohkan.
Zul tidak pernah melakukan itu pada gurunya, rasanya janggal mendengar ia bercerita.
“Waktu itu yang lewat Bu Tri sama Bu Siska. Padahal anak-anak lain biasa aja manggilnya. Eh, tiba-tiba Kamsir yang nggak pernah ikut celoteh, ngomong begitu,” lanjut Zul.
Hana mengangguk. Bisa jadi Kamsir memang ingin ikut-ikutan kawannya saja. Bisa jadi.
Selama menyortir, bercabang obrolan mereka buat, dari membahas merek pakaian yang mereka temukan, cerita sekolah, pergosipan para guru dan murid, masa kecil mereka, harga tanah, situasi politk, dan bisa balik lagi perihal sekolah.
“Oh iya. Kamu nggak masalah dipanggil Asam Zulfat?” tanya Hana hati-hati.
“Wah, itu dari kelas sepuluh. Tapi, nggak apa-apa. Teman-teman itu baik aslinya. Banyak bacot aja mereka. Itu juga alasan kenapa aku suka di Pattimura,” ujar Zul.
“Karena?”
“Dulu aku masuk di sekolah unggulan, Bu. Tapi cuma empat bulan bertahan. Di sana, kalau ada yang ngolok berasa banget. Bisa nusuk banget. Mereka pintar-pintar, ndak sama denganku yang kayak saringan nyamuk ini. Kalau ngobrol juga nggak nyambung, mereka bahas bimbel di sana-sini, aku ikut bimbingan ke jalan yang benar aja udah bagus. Rasanya sudah hina hidupku ini, masih terhina lagi aku. Tapi, kalau di Pattimura, aman, karena semuanya orang-orang hina.”
Hana mengelus dahi. Padahal tadi ia sudah tersedot ke dalam cerita sedih Zul, sampai ditutup dengan kelakarnya yang gelap.
[ ]
“Nilaiku berapa, Bu?!”
Hana terkesiap. Tidak disapa, tiba-tiba ditanya dari arah belakangnya. Pemuda jangkung itu menyengir, mengambil kursi di samping Hana, memutar topinya yang terbalik.
“Masih buruk.” Suara Hana datar, tidak menunjukkan keterkejutan yang sebelumnya terjadi. Dia menatap Wira yang mengambil sanggar dan menuang sambal di sekitarnya.
“Nanti kubaikin. Ibu ngajar komputer juga ya?” tanyanya dengan fokus ke makanan.
“Wira tahu dari mana?”
Wira terkekeh. Dia berujar, “Gini-gini aku mengikuti perkembangan sekolah. Jadi, nanti Ibu ngajar komputer kelasku juga?” Entah Wira menaruh minat pada hal itu, atau hanya basa-basinya saja.
“Entah ya. Enaknya gimana?” pancing Hana.
“Ibu ngajar aja di kelasku. Pak Sanusi mau keluar, kan? Cari guru TIK itu susah. Dari dulu susah.” Wira mengucapkan kalimatnya sepotong demi sepotong, seperti sanggar yang ia pisahkan.
“Masih ada guru lain yang bisa,” tukas Hana.
“Bisa apa? Bisa ngomel ? Ngomel, nasehati. Itu-itu aja. Memangnya kita di rumah nggak dapat omelan, nggak dapat nasehat. Siapa guru muda perempuan satunya, Mbak Ramlah? Oh iya. Bu Siska. Jangan dia deh yang ngajar.” Tidak ada emosi dari pemuda itu, suaranya santai, sesantai gayanya menikmati gorengan.
“Untung dia nggak ngajar di IPS,” tambahnya.
“Saya juga bisa ngomeli kalian.” Hana berusaha meyakinkan Wira.
Wira menyengir lagi. “Waktu Ibu disebut pengangguran sama Jamal, Ibu bahas itu baik-baik aja. Nggak ada Ibu nasehati Jamal soal pertanyaannya. Jadi— ” Wira memutus kalimatnya demi mengeluarkan uang dari saku.
“Berapa Mbak? Sama Ibu ini ya,” pintanya pada Ramlah agar menghitungkan total jajan Hana.
“Ibunya udah bayar,” sahut Ramlah.
Wira tidak menyampaikan apa pun. Uang yang sempat dikeluarkannya dimasukkan kembali. Dia membalikkan topinya kembali, siap meninggalkan Hana. Namun, Wira berbalik menatap Hana,
“Mungkin bisa, tapi ngomel-ngomel bukan bakat Ibu,” katanya sebelum benar-benar pergi.
Hana menanti hingga anak muda itu tidak mungkin mendengar pertanyaannya. “Menurut Mbak Ramlah, anak itu gimana?”
“Yah, kelihatan cool. Tapi, kayak punya rahasia,” jawab Ramlah.
Hana mengangguk. Pikirannya sama dengan jawaban Ramlah.
[ ]
Hana menusuk kembali sawo matang dingin yang telah terpotong-potong di atas piringnya. Manis sekali. Sembari mengunyah, perempuan mungil itu penasaran, apakah sawo benar-benar bisa matang di pohon? Pemeraman buah sawo adalah satu-satunya cara yang dia tahu agar sawo bisa matang sempurna. Bertahun-tahun mereka memiliki pohon sawo, belum pernah Hana melihat sawo-sawo itu matang dengan sendirinya. Atau mungkin ada teknik khusus pematangan sawo di pohon yang tidak ia ketahui. Atau mungkin itu cara Tuhan untuk membuat Hana lebih berguna dengan memikirkan teknik pematangan sawo. Sawo harus berpindah tempat agar matang. Hana mematut diri di depan kaca. Dia pernah melakukan ini, menumpahkan emosi-emosi di depan orang banyak. Marah, berteriak, kecewa, menangis, tertawa puas. Setelah itu, wajahnya yang tenang di depan cermin menatapnya.
Hana duduk lagi menghadapi sisa sawo. Tersenyum kecil dengan sangat aneh.
“Apa-apaan sih tadi?” cibirnya pada diri sendiri.
Dulu ia berlatih peran dengan memandangi cermin. Baru saja ia mencoba lagi, hingga terasa konyol. Sudah cukup sering beberapa rekan guru menyarankannya agar bisa lebih keras pada anak-anak. Akibatnya, Hana mulai terpengaruh. Dia yakin tidak melulu lembut pada anak-anak itu. Apalagi sampai memanjakan mereka. Ada pola-pola bersikap yang ia tanamkan saat bersama para murid. Hana bisa serius, tertawa, tegas. Selama ini, definisi tegas baginya memang berbeda dengan beberapa rekannya. Ada orang-orang yang meyakini bahwa tegas berarti bisa bersuara lantang, tak sedikit yang menyetarakan dengan galak. Namun bagi Hana, tegas adalah sikap yang memperjelas kepastian, tidak berarti tidak, iya akan selalu iya. Tidak harus memaki, bak orang berorasi. Kalau pun ada yang mengatakan Hana tidak tegas, menurutnya itu cara pandang. Hana bisa menerimanya sebagai masukan, tanpa perlu memaksakan definisi.
Strategi komunikasi di kelas acapkali tidak bisa menitikberatkan pada satu jenis. Komunikasi mata tanpa banyak bicara, membuat para murid segan padanya. Meski tidak selamanya berhasil pada semua murid. Hana akan ikut menganggukkan kepala ketika menasihati, juga memotong kalimat dengan rapi, agar nasihat itu mampu dilumat perlahan. Memang, tidak selamanya berhasil pada semua murid. Mengirimkan pesan lewat intonasi yang tepat, gestur, posisi tubuh juga dipelajari Hana, yang memang tidak tertarik hanya datang, duduk di kursi, mengoceh panjang di tempat. Bagaimana pun situasi di kelas, ia ingin dirinya tetap terkendali, tetap tenang, tetap berpikir kreatif, tanpa terburu-buru marah.
Namun, Hana jelas punya kekurangan. Tidak mudah menumbuhkan beragam ide terus-menerus tanpa henti. Sekarang, ia pun bertanya-tanya, bagaimana jika marah bisa menjadi strategi yang baik untuk mengendalikan murid? Situasi kelas sering kali kacau, khususnya kelas XII IPS. Satu murid mengambil buku kawannya, dua orang mengejar, empat mengumpat, tujuh menjadi riuh, delapan saling mengumpan, tiga orang akhirnya bisa mengeluarkan camilan, satu orang memilih tidur, seseorang mungkin menyelinap ke toilet dan tidak kembali lagi.
[ ]