Pak Sanusi mendekati Bu Siska yang datang membawa alat peraga struktur bakteri. Keduanya pun terlibat pembicaraan seru tentang hal itu. Bu Tri yang berada di dekat Hana, berbisik.
“Dulu, guru-guru di sini mau menjodohkan mereka loh, Mbak,” ucapnya.
“Tapi?” Hana menunggu.
“Tapi gimana ya. Yang satu Batak, yang satu Sunda.” Bu Tri terlihat bingung sendiri.
“Tapi sepertinya cocok-cocok aja, Bu,” balas Hana, sambil memerhatikan keduanya.
“Kalau lagi sharing ilmu cocok, tapi mosok berumah tangga isinya bahas sains melulu.”
“Tapi, nggak apa-apa kalau mereka bahagia,” sahut Hana lagi.
Bu Tri seperti ingin mengucapkan sesuatu, lalu membatalkannya.
“Lha iya ya. Kita ngapain ngurusi rumah tangga orang,” katanya mendadak geli dengan omongan sendiri.
Saat itu mereka bersiap mengadakan rapat besar bersama Pak Ghozali. Disebut demikian, karena semua guru diminta hadir di dalam rapat tersebut. Bu Lintang yang jarang bisa berkumpul dengan sesama guru SMA Pattimura, juga hadir di rapat tersebut. Perempuan berbadan dua itu memang hanya datang untuk mengajar, untuk bisa pergi mengajar lagi di tempat-tempat lain. Menurut Hana, Bu Lintang adalah guru paling kalem, yang bersuara pelan, yang juga tidak banyak bicara. Kemudian ada Pak Erik, seorang guru kimia, yang jam mengajarnya tidak banyak di sekolah itu, sehingga benar-benar jarang terlihat. Sebelum rapat, Pak Ghozali juga mengenalkan Pak Osman Pratama, guru matematika yang akan mengajar di SMA Pattimura. Pak Osman adalah guru senior dari sebuah sekolah unggulan. Konon, Pak Osman terkenal sebagai guru killer. Tampang dan karakternya serupa dengan kebanyakan cerita tentang guru matematika. Penampilan paling unik dalam rapat itu tidak lain dan sudah tentu adalah Bu Fatimah, yang dari atas hingga bawah berwarna biru. Guru-guru perempuan langsung bertanya mengenai koleksi fesyennya. Tak lupa, beliau juga yang membawa nasi bekepor serta bingka kentang.
Rapat hari itu membahas kondisi yang sangat mungkin terjadi jika perubahan jadwal di semester selanjutnya dilaksanakan. Rencananya sekolah akan masuk pagi.
“Kebanyakan anak kita ini kerja, Pak. Maka, kemungkinan yang kita hadapi adalah banyak siswa telat, ngantuk juga di sekolah,” papar Bu Tri.
Menurut Pak Hamdan serta Pak Anwar, persoalan-persoalan seperti itu semestinya urusan pribadi murid. Sekali sekolah mengeluarkan aturan, harus ditaati. Persoalan besarnya adalah jadwal guru yang mengajar di sekolah lain yang jelas akan ikut berubah. Juga adaptasi SMA dan SMP yang akan bertemu di waktu yang sama. Pak Ghozali memilih menyebutkan semua nama murid yang menyambi bekerja, agar para wali kelas bisa mendiskusikan hal tersebut pada masing-masing murid. Menurutnya kondisi yang mengharuskan anak-anak akan beradaptasi itu wajib untuk disampaikan jauh hari sebelumnya.
Satu per satu para guru juga diminta menceritakan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi di kelas. Ada yang menyampaikan tentang minimnya fasilitas, tetapi lebih banyak yang curhat tentang kelakukan para murid. Semua guru sepakat betapa berat mengajar di kelas XII IPS, dibanding kelas-kelas lain.
“Waktu serasa habis buat ceramah saja, Pak,” ungkap Bu Marni, setelah menceritakan kelakuan Ricky Febri yang dengan santai menelepon pacarnya saat kegiatan belajar.
Pak Ghozali meminta pendapat semua guru tentang Ricky, serta beberapa murid yang kerap bermasalah.
“Menurut saya, Ricky sepertinya anak yang butuh didengar. Sayangnya, sulit membuka obrolan dengan dia. Anak ini malah bersikap menyebalkan setiap kali saya ajak bicara. Sepertinya ia ingin lebih terlihat, mungkin sama seperti Fendi, tapi jatuhnya malah nggak asyik. Kalau Mas Fendi, walau kita sama-sama tahu ada bandel-bandelnya, tapi masih bisa saya ajak ngobrol. Tugas-tugasnya juga masih beres,” papar Bu Tri.
Hana merasakan pengalaman yang sama dengan guru PKn itu. Ricky terasa sekali berlebihan dalam mencari perhatian. Entah ada apa dengan anak muda itu? Dia ganteng, kaya, lebih kaya dibanding anak-anak lain, banyak cewek menyukainya, jadi apa kebutuhannya jika dengan diam saja, ia sudah bisa mendapatkan semua.
“Memujinya,” kata Hana tiba-tiba.
“Apa Ricky punya bakat tertentu? Olahraga? Musik? Atau apa pun itu?” tanya Hana.
Pak Rusli, Pak Abui, dan Bu Juni menggeleng.
“Dia nggak bisa masuk tim sepakbola, kurang bagus permainannya. Olahraga yang lain juga biasa saja,” jelas Pak Rusli.
“Anak ini bisa menggunakan alat musik, tetapi tidak bisa disebut menonjol di bidang musik dan suara, Bu.” Pak Abui ikut berpendapat.
“Ayolah Bapak-Ibu, pasti ada yang menonjol dari Ricky. Saya paham maksud Mbak Hana. Anak kita ini, ingin juga dihargai, tapi sayangnya dia juga ndak tahu bagian dari mana dirinya yang layak. Mungkin, dia sudah biasa dapat yang dia mau, dan nggak ada penghargaan bagi dirinya di situ. Jadi, secara nurani, dia terus-menerus mencari. Bagi kita, dia kelewatan cari perhatian, cari masalah, cari ribut. Tapi, kalau kita tahu nilai positif yang dia punya, dari situ bisa kita angkat,” terang Bu Tri.
Sementara Bu Fatimah bergumam, “Itulah. Positifnya dia tu punya uang banyak. Ndik kawa etam18 puji soal itu.”
“Mungkin kita bisa melibatkan dia untuk urusan guru, bukan di kelas saja, tapi di ruangan ini. Cara ini pernah kita pakai dulu kan, Bu Tri. Anak-anak jadi asisten guru. Sertakan ucapan terima kasih, dan memuji mereka. Kedengerannya sederhana, tetapi berguna. Ada yang mau menyampaikan lagi, sebelum kita beralih?”
“Ricky yang mau jadi polisi itu, kan?” tanya Pak Anwar mengingat-ingat.
“Tepatnya orang tuanya, Pak. Kalau anaknya nggak ada bilang apa-apa,” sahut Bu Juni.
“Yang orang tuanya pengusaha, kan? Wah.” Pak Anwar menggelengkan kepala.
“Oh ya. Fendi gimana, Bu Hana?” tanya Pak Ghozali.
“Sesuai yang Bapak minta, sedang menjaga jarak,” jawab Hana.
Pak Ghozali mulai mengupas perihal yang dihadapi para murid yang bisa memengaruhi kegiatan belajar mereka. Satu per satu persoalan murid dibahas oleh Kepala Sekolah tanpa menyebutkan nama murid.
“Banyak hal yang sangat normal sebenarnya, ketika menyentuh urusan sekolah, bisa menjadi problematika bagi anak-anak ini. Sayangnya kalau mereka keliru menempatkan hal prioritas, maka masalah muncul dan guru juga harus bersiap di situ,” papar Pak Ghozali.
Tentang nilai. Memang berat rasanya setelah mengalami masa mengajar, setelah berusaha agar anak didik paham, ternyata masih banyak nilai murid yang tidak memuaskan. Faktor penyebab pun menjadi pertanyaan. Sebagian guru melimpahkan penyebab itu pada murid. Karena murid tidak mau menyimak, murid malas, dan memang tidak cerdas. Sementara Hana yakin, penyebabnya juga ada pada dirinya. Kalau murid tidak mau menyimak, mungkin cara penyampaiannya membosankan. Kalau murid tidak mendengar, mungkin suaranya kurang lantang. Kalau murid tidak cerdas, karena itulah mereka sekolah.
“Bapak-Ibu, kalau semua murid kita pintar-pintar, maka mereka saja yang jadi guru, kita yang jadi murid,” ucap Pak Ghozali disertai tawa.
“Murid itu tidak bisa disebut bodoh. Mereka menonjol di bagian lain. Di bagian yang justru bukan menjadi target kita. Karena sekolah selalu punya target dan dikejar waktu. Nah, itulah hal yang kita hadapi. Tergantung, apa kita menganggapnya sebagai ancaman, peluang, atau tantangan,” tambahnya.
Pak Ghozali memberikan beberapa ide dan pengalaman dalam mengatasi hambatan mengajar. Beliau juga menyarankan untuk memberi waktu tambahan mengajar bagi para murid yang nilainya di bawah target. Secara khusus, Pak Ghozali berterima kasih pada semua wali kelas yang meluangkan waktu untuk melakukan pendekatan-pendekatan kepada murid. Juga pada semua guru yang bersedia menjadi telinga untuk muridnya.
“Murid-murid kita senang didengarkan. Lah kita saja pengen didengerin kan. Maka, perlakukan mereka juga begitu. Memang tidak semua murid mau terbuka, dan tentu itu bukan masalah.”
Pak Irham turut melaporkan dalam rapat, bahwa tidak ditemukan indikasi penggunaan narkoba di sekolah setelah razia beberapa bulan lalu. Pak Irham juga menekankan betapa penting penerapan etika dan adab pada murid. Sementara Bu Tri menyebutkan fakta bahwa kebanyakan anak-anak takut kalau ada Pak Ghozali, dan lebih santun jika ada Pak Irham. Takut dalam arti positif. Sehingga, sangat diharapkan dua orang tersebut dapat lebih sering berada di sekolah.
Secara khusus, rapat juga membahas kelas dua belas yang akan menghadapi ujian. Secara pribadi, Pak Ghozali salut kepada Bu Juni yang rela menjemput murid. Tindakan Bu Juni itu bukan pertama kali. Bu Juni juga menyempatkan singgah ke rumah orang tua muridnya.