Hana, Sekolah Terakhir

lidhamaul
Chapter #14

KEMARAHAN BESAR

“Maafkanlah anak-anak, Bu.”

Dulu, Hana sempat mencemaskan pendapat Kepala Sekolah tentang dirinya sebagai guru baru. Nyatanya, beberapa kali Pak Ghozali meminta maaf kepada Hana atas perlakuan para murid.

“Anak-anak masih muda. Beberapa tahun lagi mereka akan lupa.”

Benar. Lima tahun lagi, mereka akan menertawakan kekonyolannya.

[ ]

Idul Adha datang bersambut bahagia. Pihak sekolah, juga Bu Fatimah yang hanya mewakili pribadi, membawakan masakan khas berdaging. Pihak sekolah membawa panci besar berisi bakso. Masakan itu dihangatkan di dapur mini ruang guru. Rencananya bakso akan dibagi-bagikan juga ke para murid. Sementara Bu Fatimah membawa rendang olahannya sendiri, untuk kalangan terbatas. Mangkuk, piring, yang tidak banyak jumlahnya, membuat para pemburu bakso terpaksa antre.

Hana berusaha memisahkan tetelan saat mengambil bakso.

“Nggak suka tetelan, Bu?” tanya seorang murid padanya.

“Nggak suka.”

“Ambil aja, nanti buatku,” katanya.

Memisahkan tetelan dan bakso di depan panci membuat antrean lama. Lebih baik ambil saja semuanya, lalu pisahkan nanti, begitu menurut anak muda itu.

Tiba-tiba, ada suara di dekatnya.

“Enaknya dia dikasih. Aku, mangkuk pun nggak ada.”

Hana tahu suara itu milik siapa, tetapi ia ingin fokus pada makanannya saja. Selesai makan, Hana segera mencuci, membersihkan mangkuk itu, lalu memberikan pada anak muda yang bersuara tadi.

“Belum makan? Ini mangkuknya,” sorong Hana ke Fendi.

“Mau diambilkan sekalian?” tanya Hana lagi.

Pemuda itu sedikit terkejut, malu, menahan senyum.

“Nggak. Makasih Ibu,” katanya segera beranjak.

Pemuda itu akhirnya bertegur sapa kembali dengan Hana.

Lebaran selalu istimewa. Ruang guru dipenuhi para murid. Mereka mengobrol tentang apa saja, berbagi cerita juga canda. Mungkin besok, adegannya tidak akan sama.

[ ]

Hana baru saja menengok mading pertama yang dibuat Gina dan rekan, ketika seorang anak laki-laki lari setelah Pak Rusli meneriakinya.

“Mau marah, tapi masak tiap hari marah,” ucap Pak Rusli. Hana menanyakan persoalannya ketika menuju ke loker.

“Pemain bola, tapi nggak siap ganti jam pelajaran lain. Tadi belum selesai saya bicara, dia sudah ngangguk-ngangguk terus lari,” bebernya.

Anak-anak yang mengikuti pelatihan dan pertandingan sepak bola sering kali mengambil jam pelajaran lain, karena itu mereka harus menggantinya di waktu lain berdasarkan kesepakatan bersama guru.

Bu Juni sering memprotes hal tersebut. Menurutnya, anak-anak kelas dua belas tidak perlu diajak serta, mengingat mereka harus bersiap untuk kelulusan. Namun, Pak Rusli tidak punya pilihan lain karena jumlah murid di sekolah itu terbatas. Setelah latihan, para murid juga memilih pulang dibanding kembali ke kelas. Hana juga merasakan hal yang sama. Dengan materi pelajaran yang terus meningkat, tetapi jumlah siswa di kelas menurun. Bukan hanya karena latihan untuk pertandingan. Memang ada pola kebiasaan buruk yang membuat mereka absen. Kadang lima orang menghilang, kadang sepertiga kelas tiada. Biasanya, momen itu terjadi di jam terakhir pelajaran. Untuk mengejar ketertinggalan itu, Hana-lah yang akan ‘mengincar’ para murid. Karena hanya sedikit dari mereka yang akan melapor.

Menurut guru lain, persoalan seperti ini bisa diatasi jika gerbang sekolah dikunci. Sayangnya, satu-satunya gerbang merupakan milik bersama SMP, dan sekuriti hanya ditugasi pagi dan malam. Kecuali, ada pihak SMA yang berkenan menjaganya.

“Sebenarnya persoalan kita ini apa? Uang atau orang?” gumam Pak Hamdan.

[ ]

“Teman-temanmu ke mana?” tanya Hana pada Halim yang hanya mengangkat tangan.

Empat orang di barisan Halim tiada. Memaksakan jawaban pada murid-murid tidak akan berguna.

Lagi-lagi, mereka juga akan berkata, “Ngajar yang ada aja, Bu. Yang nggak ada nggak usah dicari.”

Murid-murid itu belum mengerti beban yang ditanggung guru hanya dengan satu murid yang membolos. Apalagi kalau ada beberapa murid. Hana tidak rela kalau nanti dirinya harus menaikkan nilai murid secara otomatis, tanpa ada usaha dari si murid. Murid-murid itu juga tidak tahu, ada kesedihan yang dirasakan oleh guru jika kelas terasa kosong.

Hana membagikan lembaran berisi data laporan keuangan yang masih kosong. Dia akan mengecek satu per satu kemampuan murid. Entah mengapa duduk di dekat murid, menanyakan kesulitannya, membuat pemahaman lebih mudah diserap. Hana membiasakan berjalan di lorong. Kalau beruntung, ia akan menemukan benda-benda aneh di dalam laci, yang mungkin akan dibalas menyengir atau malah tarik-menarik antara Hana dengan murid.

“Ih, nonton. Ibu mau juga dong,” ucap Hana seraya menarik ponsel yang menyala di laci. Si murid gelagapan, dan Hana berjanji hanya akan memberikan jika pelajaran usai.

Ketika kembali ke meja guru, Hana tidak melihat pulpennya.

“Siapa yang ambil pulpen di sini? Dika?”

“Apa? Nggak, Bu. Bukan aku.”

Sosok yang ditanya sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Mata Hana menjelajahi isi kelas. Tampaknya semua fokus pada materinya.

Jadi, siapa yang mengambil pulpen?

[ ]

Hana bertafakur cukup lama setelah menyelesaikan shalat Ashar. Banyak hal yang ingin ia adukan ke Tuhannya. Bagaimana pun, dia manusia yang punya kelelahan, yang batinnya bisa mengering. Di luar, tampak Halim dan seorang murid sedang menunggunya.

“Dari tadi mereka nungguin, memang ada apa, Bu?” tanya seorang guru.

“Nggak apa. Saya ngambil hape-nya,” jawab Hana tersenyum.

Anak muda itu bernama Alif.

Akhirnya, guru itu menasihati Alif panjang lebar.

“Kok ada Halim?” tanya Hana.

Karena ponsel yang diambilnya adalah milik Alif.

“Aku numpang dia pulang. Ibu lama banget sholatnya. Kasihan Halim ikut nunggu,” ujar Alif.

“Hei. Aku nggak ada bilang apa-apa,” balas Halim ke Alif.

“Itu karena sebagian ‘nyawamu’ ada sama saya. Makanya, sholat saya jadi terasa lama buatmu. Tapi, makasih ya sudah nungguin orang tua ini sholat. Jarang-jarang setelah sholat, dapat dua penunggu,” balas Hana.

Mendapat jam mengajar sore hari yang bertabrakan dengan waktu shalat Ashar memang berat. Kalau ia izin di tengah jam mengajar, harus ada guru yang menjaga kelas sejenak, jika tidak mau murid menghilang. Solusinya, dia menunda shalat sampai pelajaran selesai. Sungguh tidak menyenangkan, karena waktu Ashar sangat pendek, tidak sepanjang Zuhur.

“Alif anak pertama?” tanya Hana, ketika mereka bertiga berjalan di koridor.

“Kok Ibu tahu?” Alif balik bertanya.

“Kan Alif. Kalau kedua berarti ‘Ba’,” kata Hana asal.

Kedua pemuda itu hanya tersenyum.

“Lagian, kenapa sih urusanmu hape melulu? Tadi, hapemu mau saya bawa pulang lho.”

“Jangan lah, Bu. Nanti kalau ada yang nelpon gimana?” tanya Alif.

Lihat selengkapnya