Hana, Sekolah Terakhir

lidhamaul
Chapter #15

TANTANGAN LAIN

Ammar benar, lelaki yang satu itu membawa kue, lelaki yang sebelumnya tidak. Hana juga ingin membawakan kue untuk murid kelas XI, tepat ketika ada yang berulang tahun. Sekali lagi, Hana mencentang notes yang tertancap di kamarnya.

Di sekolah, murid kelas XII menyebut Hana pilih kasih, karena kelas mereka tidak pernah dibawakan kue. Hana tidak marah, memang belum waktunya saja.

Selesai jam istirahat terakhir, Bu Tri, Bu Juni, dan Pak Hamdan, masuk ngos-ngosan membawa helm. Ketiganya bolak-balik dari parkiran yang jauh ke ruang guru SMA, untuk mengumpulkan helm murid.

“Dengan begini, nggak ada lagi yang pulang sebelum waktunya,” ucap Bu Tri terengah-engah.

Benar saja, terbukti tidak ada yang pulang sebelum waktunya. Pun murid-murid jadi pamit lebih dulu pada para guru, yang sebelumnya tidak banyak yang melakukan. Ide mengumpulkan ponsel sebelumnya dirasa tidak efektif, karena para murid sudah menyembunyikan ponsel lebih dulu. Ada pula yang membawa ponsel rusak ke sekolah untuk dikumpulkan, sementara ponsel sehari-hari tersimpan rapi.

Ada-ada saja ide para guru ini.

[ ]

Ujian semester awal berjalan lancar, dengan hanya beberapa masalah kecil lazim yang dialami sekolah. Hana mengawas dengan rasa kantuk yang harus ditahan. Tidak ada partner untuk sekadar bercakap-cakap. Seorang murid yang duduk paling depan tampak gelisah, memaju-mundurkan tubuh, dan berulang kali mencuri pandang ke Hana. Gelagat ingin menyontek yang sudah Hana hafal. Di lacinya, terlihat buku cetak terbuka lebar, dengan tangan yang meraba lembar demi lembar. Semuanya terlihat jelas, berkat laci yang bolong pada bagian depan. Hana mengurungkan niat untuk menegur. Dia berubah iba. Murid itu belum benar-benar berhasil menyontek. Peluh menguasai dirinya. Satu tangan naik menutupi wajah, mencoba tidak terlihat atau tidak melihat.

Apa yang anak itu pikirkan? Kalau ia tidak ingin melihat guru di depan, itu benar. Namun, kalau ia ingin menutupi dari Hana, jelas salah. Tangannya yang kecil tidak bisa menutupi wajahnya yang besar, yang sedang berkeringat, dan lacinya yang bolong tidak bisa menutupi bukunya yang ditarik maju-mundur.

Kantuk Hana berubah menjadi senyuman. Entah murid itu lupa, pelajaran yang diujikan hari itu adalah ekonomi, dengan Hana sebagai gurunya. Hana menatap anak lelaki itu, agar setidaknya paham bahwa guru di depan sudah tahu kelakuannya. Namun, bocah itu makin mengerucutkan diri, seolah tubuhnya bisa mengecil dengan mudah. Dia mengintip Hana lewat celah-celah jarinya, yang sebentar direnggangkan, sebentar rapat. Kedua mata yang tersembunyi dibalik satu tangan, sebentar-sebentar melirik Hana ke atas dan ke samping. Hana sungguh tidak tahan, hingga benar-benar tertawa. Kenapa malah bermain cilukba begitu?

Si murid pun sadar setelah Hana mendekatinya.

”Pelajaran apa ini?” tanya Hana, masih sambil tertawa.

“Ekonomi,” jawabnya.

“Gurunya siapa?”

“Ibu,” jawabnya lagi.

“Terus, saya nilainya gimana, kalau lihat kamu menyontek begini? Ayolah, Nak. Kamu pasti bisa. Isi dengan kosakata yang kamu mampu aja. Insya Allah, saya paham,” ucap Hana, dengan terpaksa mengambil buku cetak dari lacinya.

Setelah terbebas dari menyontek, gesturnya terlihat lebih damai. Toh, setelah hasil ujian diperiksa, nilainya tidak buruk-buruk amat.

[ ]

Memasuki semester kedua dengan adanya perubahan jadwal membuat semua orang masih beradaptasi, khususnya di minggu perdana. Para guru dan murid terdengar membahas adapatasi ini di ruang guru.

“Awas ya, kalau kalian sampai pacarin anak SMP!” hardik Bu Juni pada anak didiknya, yang disambut dengan suara terkekeh.

Ada murid yang membahas parkiran yang sesak, ada yang curhat tentang kemacetan pagi hari yang biasanya tidak ia lihat. Ada guru yang bercerita tentang guru-guru SMP yang kaget karena melihat SMA masuk pagi, atau jadwal mereka yang masih bertabrakan dengan tempat ajar lain. Hana pun demikian. Ketika awal mengajar, ia berharap SMA bisa masuk pagi dengan atmosfer mengajar yang lebih segar. Sekarang, rasanya sekolah siang tidak buruk-buruk amat. Pagi hari pun ia bisa mengajar anak-anak kampung, yang sekarang sudah tidak bisa. Begitulah, jika masih adaptasi.

Marlan, Kania, dan beberapa kawan sekelasnya datang mendiskusikan nilai, setelah curhat kalau mereka hampir lupa, sekolah sudah masuk pagi. Secara keseluruhan, nilai mereka membaik. Tidak teramat tinggi, tapi jelas meningkat. Hana terbiasa membuat soal yang berbeda-beda saat ulangan atau ujian. Jikalau ada tiga puluh anak di kelas, Hana bisa membuat sepuluh atau lima belas sub tes (lembar soal) yang berbeda untuk masing-masing tiga atau dua anak yang akan diacak. Pernah pula dia membuat tiga puluh lembar soal yang berbeda untuk tiap anak. Tidak ada anak yang bisa menyontek kawannya. Tidak lupa, semua nama tokoh di soal cerita harus memakai nama murid sendiri. Entah si Fendi pemilik bengkel, Marlan pemilik toko bangunan, atau Dika si pembeli udang. Setidaknya, anak-anak jadi memelototi soal-soal itu. Kalau dipikir, ada sisi positif mengajar di sekolah dengan total murid yang tidak besar. Kalau saja jumlah murid yang Hana ajar sangat banyak, mungkin ia juga akan membuat soal dengan pola salin tempel semata.

Hana masih mencerna hasil evaluasi Dika. Aneh sekali, dia terlihat sudah baik dalam menjurnal, bisa mengidentifikasi akun debit dan kredit, sampai pada menyusun laporan keuangan, dan perhitungan laba rugi. Namun, angkanya selalu keliru.

“Jadi gimana, Bu? Kenapa jawabanku masih banyak yang salah?”

“Justu saya mau nanya, kenapa bisa salah? Kenapa totalnya nggak seimbang terus? Waktu kamu jawab, ada yang bantu?”

Mungkin saja ada teman yang membantu Dika.

“Nggak, Bu. Aku hitung sendiri,” bantah Dika.

“Aneh banget. Atau mungkin, ada angka yang nyelip waktu kamu hitung, jadi nggak seimbang.” Setelah itu, Hana meminta Dika untuk berlatih dengan kalkulator.

Lain Dika, lain pula Alif, yang malah mengkonsultasikan percomblangannya. Dia menanyakan apakah Hana sudah bertemu dengan Narendra. Sungguh, rasanya malu sekali membahas hal tersebut dengan murid. Syukurlah, tidak ada yang perlu dibahas, karena Hana dan Narendra tidak pernah bertemu. Namun, Hana akan mengingatnya sebagai sosok yang ramah serta bersikap sopan.

[ ]

Situasi di sekolah memang terasa lebih aman saat Pak Ghozali berada di sekolah. Sekali melihat wajahnya saja dari kejauhan, para murid bisa menjadi penurut seketika. Sayangnya, sebagai Kepala Sekolah juga memiliki kepentingan di luar sekolah.

Bu Tri akhirnya pamit dari SMA. Sedih sekali harus kehilangan sosok guru teladan. Bu Tri yang biasa menyambut murid, tak peduli memiliki jadwal piket atau tidak. Bu Tri yang menguatkan guru-guru lain, yang dengan kemampuan komunikasinya yang baik terdengar menyenangkan saat menasihati murid, sosok yang murah senyum juga mampu bersikap tegas itu harus pindah ke kota lain mengikuti suami. Posisinya sebagai wali kelas digantikan oleh Bu Marni.

Hana menatap kepergian perempuan itu dengan masygul. Dulu, dia pernah bekerja di perusahaan. Kalau pun ada yang pergi, rasanya biasa saja. Kali ini, dia merasa tidak biasa.

[ ]

Sebenarnya, itu hanya trip singkat saja ke Penajam bersama keluarga. Luar biasanya, ada efek senang berlipat hingga tiba di Balikpapan. Ibuk juga tidak sedang membahas perjodohan Hana. Sehingga saat berjalan di sepanjang koridor sekolah, siapa pun di dekatnya disapa, diberi senyuman, pun dengan guru-guru SMP saat berpapasan. Mereka tak sejutek yang dceritakan..

Di koridor SMA, Hana melihat sosok Pak Burhan, lelaki yang pernah menyambutnya ketika pertama kali datang. Baru kali itu Hana melihatnya lagi, mungkin ada keperluan dengan pihak SMA.

Belum masuk ke ruang guru, Marlan sudah meneriakinya.

“Ibu! Ibu! Ibu! Orang itu siapa sih?!” tanya Marlan bersungut.

Hana yang tidak mengerti, hanya masuk menuju mejanya.

“Dia itu siapa?! Bisa-bisanya dia mukulin anak-anak pakai tongkat. Aku aja kena!”

Marlan mengelus tangannya yang kena pukul.

Hana tidak paham maksud Marlan, sampai ikut menengok keluar.

Pak Erik, Pak Sanusi, Bu Marni, dan Bu Juni masuk dengan menjelaskan situasi.

Rupanya, Pak Burhan-lah sosok yang dimaksud. Beliau datang dengan membawa tongkat, memukuli anak-anak SMA. Beberapa hari sebelumnya, ada murid SMA yang menderu motor dengan kencang, sehingga mengganggu kenyamanan murid SMP. Beliau juga mendapati murid SMA yang terlambat. Kesimpulannya, ketidakdisiplinan murid SMA mengkhawatirkan bagi murid SMP, sehingga Pak Burhan mengambil alih.

“Tapi, dia nggak bisa tiba-tiba datang mukuli hampir semua anak-anak,” ujar Bu Juni.

“Mana sakit lagi, Bu,” sahut Marlan ikut melaporkan.

“Ya iya tongkat,” kata Pak Erik mendesah.

“Tapi, kenapa dia dikasih izin?” Hana sungguh tidak mengerti. Jika ada murid SMA bermasalah, kenapa semua murid jadi kena.

Di luar, ada murid yang mengumpat, “Heh, bangs— ! Siapa sih orang itu?! Sakit banget eh!” teriaknya sambil mengelus bokong.

“Nggak ada yang kasih izin. Nggak bilang juga mau ke sini. Beliau tu orang yayasan.”

Jadi, bisa semena-mena? Hana tidak mengerti. Sosok yang dimaksud tampak memasuki ruangan.

“Mana Pak Ghozali?” tanyanya gerah.

“Ke Diknas,” sahut Bu Siswati.

“Tolong dibenahi murid-muridnya, kalau nggak mau diambil alih,” ujarnya singkat, jelas, mengultimatum. Kemudian berbalik badan ingin keluar.

“Ini guru yang saya masukkan waktu itu, kan?” tanyanya pada Hana.

Hana yang tidak mengerti, jadi balik bertanya, “Saya, Pak?”

“Iya, Anda. Anda akhirnya jadi guru di sini, karena saya yang masukkan ya kan. Kalau bisa bertahan bagus. Mungkin nanti kita bisa rombak semua ini,” ucapnya pasti.

Hana ingin menyanggah, tetapi lelaki itu langsung keluar.

Guru-guru lain menatap Hana heran.

“Katanya Bu Hana nggak punya orang dalam? Itu ternyata orang dalamnya Pak Burhan, orang yayasan.”

Hana langsung menyangkal, “Nggak. Bukan begitu. Saya nggak kenal beliau. Saya nggak tahu beliau itu siapa, pihak yayasan atau apa. Waktu itu— cuma ada beliau— beliau cuma— ada — di dalam. Lagi— duduk — di dalam. Jadi— dia emang orang— yang—  di dalam.”

Ya ampun, apa sih definisi orang dalam ini bagi orang-orang.

[ ]

Lihat selengkapnya