“Dika yang ambil pulpen saya?”
“Nggak, Bu. Demi Allah! Nggak ada,” jawabnya.
Dika si berisik, si iseng, tetapi jika ia sudah berkata demi Tuhannya, maka itu benar demikian adanya.
Pulpen memang tidak selalu hilang di kelas itu, tetapi sudah beberapa kali hilang hanya di kelas itu. Hana pernah memancing pencurinya dengan keluar sejenak. Namun, saat itu pulpennya tetap aman-aman saja. Tidak ada waktu yang bisa diketahui pasti kapan pulpen akan hilang.
Kali ini, Hana memiliki dua pulpen yang sama, yang satu macet yang akan ditinggal di kelas, yang normal akan tetap dipegangnya. Ketika pandangan teralihkan, pulpen macet itu hilang dari meja. Tak lama pulpen macet itu ada lagi di meja. Hana tidak membahas itu, dia meneruskan aktivitas seperti biasa di mejanya.
“Kok bisa?” Fendi sudah berada di depan mejanya.
“Ada apa?” tanya Hana tidak mengerti.
“Tadi nggak bisa itu?”
Matanya melihat ke tangan Hana.
“Pulpen?” Hana tersenyum.
“Iya, tadi macet,” jelasnya santai.
“Nggak kok. Lancar aja. Nih, bagus-bagus aja,” terang Hana, mencoret sesuatu di kertas.
Anak muda itu tersenyum kecut.
Hana meninggalkan pulpen lagi, untuk menengok murid di bagian belakang.
“Macet ini, Bu!” teriak Fendi dari arah depan.
“Ah, masak sih?” Hana menuju depan untuk mencoba pulpennya sendiri.
“Tuh, lancar banget, kan! Pulpen ini tahu, mana pemiliknya, mana bukan. Kalau sama orang yang suka ambil pulpen, ‘dia’ nggak mau.”
Fendi menahan malu. “Bukan aku aja yang ambil, yang lain juga pernah. Marlan juga pernah,” ujarnya tidak mau salah sendiri.
“Nanti kuganti, Bu. Maaf ya, Bu,” ucap Marlan buru-buru, kemudian sibuk dengan tugasnya.
“Tapi, tadi beneran macet. Kok bisa lancar sama Ibu?” Fendi masih penasaran.
Hana hanya tersenyum, memikirkan urusan pulpen begini apa perlu hukuman, atau cukup dimaafkan.
Di depannya, Dika terlihat mengerjakan soal.
“Dari tadi nggak sama lho. Kenapa ya?” ucapnya bingung sendiri.
“Aku udah selesai. Sini, kubantu hitung,” tawar Marlan.
Ternyata setelah dibantu pun, hasil perhitungan Dika dan Marlan tetap tidak sama. Idang, dan anak lain sampai ikut membantu Dika.
“Angkanya sama, hasilmu kok beda?!” Anak-anak yang membantu Dika mulai protes.
Hana ikut menghitung neraca dan laporan keuangan Dika.
“Harusnya segini hasilnya,” ucap Hana, menyodorkan angka.
“Nggak tahu, Bu. Aku bego banget ya, Bu?” Dika seakan sudah lelah.
“Memang! Baru tahu!” balas teman-temannya ramai.
“Hush! Nggak boleh gitu! Coba, mana coret-coretanmu,” pinta Hana pada Dika.
Kertas yang dibanjiri angka-angka itu, membuat raut wajah Hana berubah drastis. “Ahh! DIKA! Kenapa cara menghitungmu begini?!”
Sejenak Hana ingin tertawa, sejenak ingin bersedih.
Sudah kepastian, menghitung bersusun ke bawah itu wajib rata kanan. Beda dengan Dika, dia menyusun angka-angkanya rata kiri.
Anak-anak yang melihat itu menertawakan Dika.
“Mau hitung sampai kiamat, juga nggak bakal sama!” ucap mereka.
Hana memohon pada Dika agar bisa mengikuti pelajaran tambahan seusai sekolah. Syukurlah, pemuda itu mau.
[ ]
“Ini beneran aku aja, Bu?”
“Ada beberapa, belum saya panggil aja.”
Hana belum mengabarkan pada beberapa murid sekelas Dika, yang telah didatanya untuk segera mengikuti pelajaran tambahan hari itu juga. Rencananya, mereka akan mempelajari hal-hal dasar. Jadi, bukan terkait jam tambahan yang akan diberlakukan sekolah. Menurut Hana, akan sulit mengerjakan soal pada level tertentu, jika pemahaman dasar saja tidak dikuasai. Dika bukan hanya kesulitan melakukan perhitungan dasar, kecepatan membacanya juga masih rendah.
Apa yang terjadi pada anak-anak ini dulunya? Hana sering memikirkan itu. Namun, mengorek hal tersebut cukup mengkhawatirkan. Mungkin ada hal-hal yang sangat pribadi yang ingin disimpan. Dulu adalah dulu. Hanya mereka yang ingin terbuka, Hana bisa berdiskusi.
Disela-sela pengajaran itu, Dika membuat pertanyaan. “Capek-capek belajar gini, nanti kerja nggak dipake juga kan, Bu?”
“Emang Dika mau kerja apa?”
“Nggak tahu. Orang seperti aku bisa kerja apa, Bu?”
“Kalau kamu punya usaha, hal begini sangat berguna,”
“Tapi, belajar sin cos tan, peta, apa itu— rumus-rumus, emang kepake?”
“Semua yang kita pelajari itu berguna, Dika. Kalau pekerjaan kita tidak menerapkan yang kita pelajari, itu karena tidak semua bisa masuk dalam pekerjaan kita. Tapi, semua tetap berguna, meski nggak secara langsung berkaitan dengan bekerja. Tapi, kalau pekerjaan cuma Dika asumsikan sebagai tempat cari uang, maka yang kamu pelajari ini nggak berguna, karena pola pikirmu akan bilang, ini nggak menghasilkan uang.”
“Aku agak paham. Tapi, kalau Ibu ngomong dikit-dikit aja dulu, pelan-pelan.”
“Gitu ya? Maaf ya.”
Secara mengagetkan, Halim masuk ke kelas.
“Dika, helm— kok ada Ibu di sini?”
“Halim! Jangan pulang dulu, Lim. Tunggu aku!” teriak Dika dari kursinya.
“Pulang aja, Lim. Dika bisa pulang sendiri, kok,” pinta Hana.
“Ibu, jangan gitu! Nggak ada motorku!” balas Dika cemas.
“Pulang aja, Lim. Dika bisa pulang sendiri kok! Rumahmu kan dekat.”
“Biar dekat, kalau jalan kaki capek juga,” Dika memelas.
“Tapi, bisa sehat, kan,” balas Hana tersenyum, membuat Dika berubah kesal.
“Kalau Ibu ribut terus, duduk sana sama Halim!”
[ ]
Pak Ghozali semakin sering terlihat di sekolah. Untuk urusan di luar sekolah, beliau mengamanahkan pada pihak lain. Beliau juga semakin rutin menunggui para murid, tanpa mengkerdilkan tugas guru piket. Ide untuk mengaktifkan OSIS tercetus. Pertandingan sepak bola masih terus berlangsung, entah piala apa yang kembali diperebutkan. Jika sempat, Hana ikut menonton pertandingan bersama para guru.
Karena ada pemukulan pada para murid beberapa waktu lalu, Pak Ghozali mewanti-wanti pada para guru untuk tidak bersentuhan dengan murid. Berita tentang kekerasan guru di sekolah, sangat mengganggu. Zaman berubah. Di sekolah, hanya bisa menerapkan hukuman fisik lari, push up, dan squat jump, dengan tetap mempertimbangan kondisi murid. Selama ini, tidak ada protes dari murid dan wali murid. Para guru juga harus mempertimbangkan aktivitas sentuhan lain, terutama dari guru laki ke murid perempuan. Seandainya, ada murid perempuan yang sakit, sebisa mungkin dibantu oleh guru perempuan. Lagi-lagi, berita tentang pelecehan sangat menganggu.
“Nah, kalau yang melecehkan murid laki ke guru perempuan gimana? Tiba-tiba merangkul guru perempuan?” tanya Bu Juni, dalam obrolan suatu waktu.
“Ibu pernah?” tanya Pak Hamdan.