Hana menutupi wajah dengan lembaran-lembaran rangkuman yang berantakan. Hari yang berat. Dia merasa tidak enak dengan Pak Rusli dan guru lain. Ucapan anak-anak masih terngiang di telinganya. Malamnya, Ibuk menggedor-gedor pintu kamar, berharap Hana tidak mengurung diri.
“Hana kenapa, kok di kamar terus?”
“Nggak apa-apa. Capek aja.”
Hana menuju dapur untuk membersihkan meja dan peralatan makan yang masih kotor.
“Kayaknya Hana belum makan juga?” selidik Ibuk.
“Belum lapar.”
“Nanti aja bersihin dapurnya. Bantu Ibuk lipat pakaian aja.”
Hana beranjak menuju kamar tengah untuk melipat satu demi satu pakaian yang menumpuk. Mereka duduk dalam diam. Ibuk memulai obrolan, ketika lima menit berlalu tanpa ada yang saling bicara.
“Formulirnya udah Ibuk kasih ke ustadz. Katanya ada yang mau kenalan. Tapi, orangnya masih sibuk kerja,” ujar Ibuk.
Hana mengangguk pelan.
“Sebelumnya, ada juga yang mau kenalan. Orangnya masih muda, dua puluh delapan tahun. Waktu dia lihat Hana, sepertinya suka. Menurut Pak Ustadz, orangnya baik, agamanya bagus. Cuma dia sopir, Hana nanti keberatan. Jadi, Ibuk minta yang lain aja.”
“Memangnya kenapa kalau supir?” Hana tidak bisa mencegah dirinya untuk bertanya.
Dia tidak mengerti sejak kapan Ibuk menilainya sebagai orang yang pilih-pilih profesi calon pasangan. Bukankah supir juga pekerjaan yang halal?
“Orang itu sopir antar kota. Di rumah mungkin sehari, di jalan berhari-hari.”
Oh, maksudnya begitu. Ibuk khawatir Hana sering ditinggal.
“Jadi, Ibuk minta carikan suami yang lain,” lanjutnya.
Hana terdiam kembali.
“Sebenarnya ada dua lagi. Dia sudah lihat Hana, tapi Ibuk masih nggak enak sama yang dikenalin kemarin.”
Maksud Ibuk, si manajer itu. Kalau pun tidak enak, memangnya bisa apa. Perkenalan tidak lantas membuat kedua pihak saling suka dan berhasil. Kalau pun tidak cocok, mestinya semua harus siap. Hana meneruskan melipat saja, membiarkan Ibuk bicara.
“Nah, yang satu lagi ada ngasih foto.”
Ibuk segera mengambil foto itu untuk diperlihatkan pada Hana. Seorang pemuda dengan senyum menawan, wajah ceria, dan cukup tampan. Hana penasaran. Sebenarnya, ada berapa calon yang Ibuk simpan.
“Menurut Hana gimana?”
“Fotonya bagus.”
“Orangnya?”
“Hana nggak tahu.”
Ibuk mendesah.
“Kalau karakternya, mana kita tahu. Makanya kenalan. Ibuk ndak minta Hana langsung menikah. Ibuk pengen, kalau orang itu Ibuk undang kemari, Hana bisa antusias, bisa ngobrol lebih banyak. Bahas yang memang perlu.”
Gantian Hana mendesah.
“Hana nggak mau, Buk. Nggak sekarang. Hana masih kerja.”
“Memangnya nggak bisa sambil kerja? Lagian, nunggu kamu nggak kerja itu maksudnya gimana? Masak berhenti kerja? Ibuk juga nggak mau Hana berhenti kerja,” jelas Ibuk.
“Maksudnya, nggak sekarang. Nggak disodorin terus begini! Nanti ada waktunya. Biar Hana belajar dulu, biar siap dulu. Siapa pun yang Ibuk sodorin, tolong stop dulu,” pinta Hana.
“Hana lagi suka sama seseorang? Kenapa nggak dibawa ke rumah? Ya udahlah, kalau Hana mau pakai cara Hana sendiri. Sebentar lagi Hana dua puluh enam tahun. Jangan lama-lama, Na. Nanti apa kata orang-orang?”
Waktu Hana kuliah, Ibuk juga ngomong begitu. Waktu itu ada pemuda kampus yang ia suka, tapi masak tiba-tiba ia datangi pemuda itu, lalu bilang, “Ayo, ke rumah!”
Hana hanya suka, kenal juga tidak sempat, apalagi sampai akrab.
“Nggak ada yang Hana suka. Hana lagi fokus urusan sekolah aja.”
“Tapi, Hana sudah tua, Na. Ibuk nggak mungkin ngurusin Hana terus-terusan. Ibuk juga repot-repot begini, karena Ibuk punya kewajiban sama anak-anak Ibuk. Pak Ustadz, kenalan-kenalan Ibuk sudah nanya terus.”
“Ibuk, kenapa sih?! Bukannya Ibuk yang harusnya paling paham sama Hana? Hana pikir, waktu Ibuk minta Hana keluar dari perusahaan, tinggal lagi di sini, karena Ibuk mengerti situasi Hana. Ini Hana baru mulai kerja, belum juga setahun! Ibuk sudah ribet urusan kowan-kawin gini.”
Hana menekan perasaannya. Ketika perusahaan toksik itu sudah sangat meresahkan, saat itulah Ibuk makin sering meneleponnya, mengkhawatirkannya. Hana pikir, panggilan Ibuk untuk pulang adalah doa-doa yang diijabah. Sekarang, Hana merasa seakan ingin diusir.
“Kowan-kawin apaan! Menikah itu suci, Na. Jangan sampai karena prioritas kerja, pemikiran Hana jadi berubah.”
“Hana nggak menghina pernikahan. Tapi, Ibuk maksa gini buat apa? Buat kebahagiaan Hana? Atau buat dilihat kenalan-kenalan Ibuk, kalau usaha Ibuk berhasil? Ibuk ngenalin orang-orang itu ke Hana, karena Hana mau? Atau karena Ibuk nggak enak sama ustadz atau ustadzahnya? Ibuk pengen Hana nikah, itu betul-betul untuk kebahagiaan Hana? Atau kebahagiaan Ibuk aja?”
Ibuk terdiam karena kaget.
“Kalau teman-teman Ibuk, atau ustadz, atau siapa pun tanya, ya tinggal jawab aja. Anakku perempuan punya hak menentukan, sabar-sabar aja kalian, nanti diundang, kok.”
Kalimat tambahan itu diucapkan dengan nada kesal.
Ibuk terdiam cukup lama. Wajahnya memerah karena panas.
“Tega ya Hana ngucap begitu. Ibuk memang ndak pintar kayak Hana. Ndak sekolah tinggi. Buat Ibuk pernikahan itu masih kehormatan buat perempuan. Mungkin cara berpikir itu salah zaman sekarang. Ibuk ndak ngerti. Waktu Ibuk dijodohin sama Nenek, Ibuk juga ndak ada rasa. Tapi, Ibuk merasa terhormat. Ibuk ndak merasa orang tua Ibuk salah atau menikahkan anak karena malu, karena anaknya ini ndak pernah pacaran, ndak kerja juga. Ibuk merasa orang tua melakukan itu karena mereka peduli sama anaknya. Sekarang, Ibuk sepertinya salah besar. Hana, Ibuk sekolahkan sampai tinggi, biar pintar ngomong ndak kayak Ibuk, ternyata bisa balik ke Ibuk begini.”
Suara Ibuk turun naik, menahan kecewa yang amat berat.
Hana ingin memperbaiki ucapannya, tetapi ia tidak bisa lagi menilai bagian mana yang keliru. Dia merasa bahwa semua kalimat yang harus ia ucap sebelumnya, memang benar harus dikeluarkan.
“Ibuk.”
Satu kata yang tidak bisa dilanjutkan, dikeluarkan dengan berat. Dada Hana sesak. Ibuk tidak mau menatapnya. Perempuan yang rambutnya sudah dipenuhi uban, kulit mengeriput, dengan getir berdiri membawa pakaian ke kamar. Kepedihannya tak dapat diungkap dalam kata. Hana laksana daun muda yang tertunduk, memandangi kekuatan pohon besar yang selama ini menaunginya. Ibuk baru saja membuat batas dengan putrinya, dengan melindungi diri di balik diam.