Murid-murid perempuan membahas kepindahan Pak Sanusi. Kania merasa kecewa karena tidak ada lagi guru lelaki muda di sekolah. Sementara itu, hubungan Hana dengan Ibuk seperti ada yang menghilang. Ibuk tidak lagi membahas perjodohan, tidak dalam bentuk sindiran, tidak lewat celetukan, tidak dalam pengaminan yang biasanya dilontarkan orang-orang. Ibuk benar-benar meniadakan topik itu. Mereka masih mengobrol biasa tentang kegiatan sehari-hari, masih bercanda saat pergi ke rumah Nenek. Hana senang, sekaligus resah. Mereka terlihat baik-baik saja di permukaan, sebaliknya menyimpan pergolakan di dalam.
Pada akhirnya Hana mendiskusikan hal itu pada ustadzahnya. Bukan tentang Ibuk, melainkan tentang jodoh dari Tuhan. Dengan bijak, ustadzah menyampaikan pada Hana untuk memprioritaskan mendekatkan diri pada Allah, Sang Pencipta. Minta petunjuk dengan sebaik dan sebenar-benarnya, minta pengetahuan tentang kemantapan diri. Karena jodoh bukan hanya tentang mencari siapa, melainkan juga tentang waktu, dan kesiapan. Ustadzah juga merekomendasikan beberapa buku pada Hana.
“Legakan hatimu, Hana. Legakan sejak awal. Seberapa pun banyaknya bahan pengetahuan yang kamu dapat setelah ini, kamu tetap harus mendiskusikan pada Allah sedetail mungkin.”
[ ]
Marlan dan Kania mendiskusikan tempat-tempat kuliner favorit bersama Hana di ruang komputer. Obrolan itu beralih ke tempat wisata yang bisa menjadi tujuan saat perpisahan.
“Pernah bahas ini ke wali kelas kalian?”
“Belum. Tapi, kalau kelas kami mengadakan perpisahan ke tempat wisata, Ibu ikut ya,” pinta Kania.
“Kalau khusus kelas kalian, cukup kalian dan Bu Juni aja. Buat apa ada saya? Malah mengganggu sekali.”
“Kok bisa sih, Ibu mikir diri Ibu tu gangguan? Ibu kali yang merasa terganggu dengan kita,” kilah Marlan.
“Kami, bah,” protes Kania.
“Ya, kami.”
“Oke, ceritakan aja rencana jalan-jalannya. Siapa tahu saya bisa ikut. Tapi, bukan janji ya.”
“Sip. Gitu dong, Bu.”
“Semoga kalian semua lulus,” ujar Hana.
[ ]
Jamal mendatangi Hana dengan berdendang. Murid yang satu itu jarang sekali memperlihatkan kesedihan, kecuali saat persoalannya dengan pacar berakhir. Dia ingin mengajukan seseorang pada Hana, untuk bisa mengajar TIK. Bukan sebagai guru tetap, hanya sebagai guru tamu. Orang yang diajukan tersebut bekerja pada divisi IT, perusahaan asing. Saat ini, ia bersama komunitasnya menjadi pengajar relawan, dan mencari sekolah yang mau bekerja sama. Hana merasa itu ide yang baik, dan akan menyampaikan ke Kepala Sekolah.
Sebelum pamit, Jamal berkata, “Bu, keluargaku yang mau kukenalkan ke Ibu, itu nggak mau nelepon, karena katanya malu sama Ibu. Ibu kan guru, dia orang biasa,” beber Jamal sumringah.
“Emang saya orang luar biasa?” Hana balik bertanya.
“Dalam pandangannya begitu. Guru itu sosok yang luar biasa.” Jamal tertawa.
‘Tapi, Ibu luar biasa. Bisa apa aja, bisa sabar sama kita, mau dengerin kita, peduli sama ulang tahun kita. Aku aja suka. Sebagai murid ya, Bu. Aku udah tobat, ndak mau ganggu Ibu lagi,” akunya.
“Emang kapan Jamal ganggu ya? Kayaknya baik-baik aja.”
Jamal tertawa keras. “Sudahlah, Bu. Kita sama-sama tahu kelakuanku.”
[ ]
Para guru sedang membahas kompetensi guru, ketika Hana keluar dari ruang komputer. Berlanjut dengan topik sertifikasi dan kesejahteraan untuk para guru.
“Mau dikasih tunjangan, honor ini itu, tetap aja kerja rodi dulu baru bisa dapat,” sebut Pak Rusli.
“Itulah. Belum lagi perangkat pembelajaran yang ngabisin kertas. Waktu itu, saya minta punya saya diprint di kertas bekas aja, ndak boleh katanya. Begh, sudah kayak ngerjain skripsi kita. Kalau salah, cetak ulang. Kan duit juga itu. Katanya zaman digitalisasi,” sambung Pak Anwar.
Selanjutnya, para guru lelaki saling menyambut topik tersebut.
Bu Juni mendekati Hana untuk mendiskusikan muridnya. Dia meminta nama-nama murid yang selama sepekan mengikuti jam tambahan khusus dari Hana.
“Terus, gimana perkembangannya?” tanya Bu Juni.
“Bagus. Dari sepuluh anak, cuma Januar yang nggak aktif.”
“Teguh?”
“Masih seperti Teguh, tapi sudah bisa buka mata, dan bertanya.”
“Bu Hana nggak teruskan itu?”
“Nggak bisa. Kita punya jam tambahan khusus persiapan UN. Bisa capek mereka.”
“Iya, juga ya,” balas Bu Juni cemas.
“Emang kenapa, Bu?”
“Cemas aja. Bahasa Inggris, geografi, mereka juga kesulitan. Takut kalau ada yang nggak lulus tahun ini.”
[ ]
Hana menaruh permen di beberapa meja murid. Mengizinkan mereka yang khawatir mengantuk untuk mengambilnya. Dipandangi para muridnya yang sudah berbulan-bulan bersamanya. Para murid itu datang dari berbagai latar. Ada yang sebelumnya jurusan IPA, atau SMK dengan jurusan yang tidak bersentuhan dengan mata pelajaran IPS. Mereka duduk di kelas ini, bersama-sama menaruh harapan agar berhasil, dengan standar keberhasilan yang bukan di tangan mereka.
“Kalian serius lulus dari sekolah ini, kan?” Hana memulai percakapan.
Satu jawaban pasti itu dilontarkan dengan candaan.
“Ketika kalian menginginkan kelulusan, berarti kalian juga sudah siap dengan konsekuensinya. Di kelas ini, ada yang baru memulai lagi belajar ekonomi, ada yang pernah belajar geografi tapi beberapa tahun lalu, ada yang baru kenal sosiologi. Kalian nggak suka belajar ini, karena bukan pelajaran ini yang kalian inginkan. Tapi, yang kalian tidak sukai inilah yang bisa jadi jalan keluar kalian dari sini. Jadi tolong, sukai saja dulu. Jangan lari, jangan pergi. Pelajaran-pelajaran ini datang ke kalian, minta didekati, dikenali, diakrabi. Berapa kali kalian bolos ketika kalian nggak suka? Januar, pelajaran apa yang kamu sering bolos?”
“Geografi, Bu,” jawabnya jujur.
“Dan pelajaran itu hilang karena kamu tinggalkan?”
“Nggaklah, Bu. Datang terus pelajarannya, gurunya aja datangin aku, nempeleng.”
Sebagian murid tertawa samar.