Hana menyibukkan Ammar dengan berkali-kali mengajaknya ke rumah Nenek. Mendekatkan Ammar dengan Paman, agar lelaki tua itu tak merasa kesepian. Di sudut lain, Nenek dan Hana bercakap-cakap.
“Ibumu cerita, sudah beberapa kali kenalkan laki-laki ke Hana, tapi belum ada yang cocok. Nenek bilang sabar aja, mungkin Hana bukan belum mau nikah, tapi belum mau meninggalkan Ibunya.”
Hana mendengarkan Nenek yang di Minggu pagi itu mengenakan pakaian terbaiknya. Nenek bilang, ia sudah tidak bisa mengikuti pesta, dan pakaian tidak semestinya hanya tersimpan di lemari.
“Si Ulfi itu berperan ganda. Kelihatannya aja keras, tapi sebetulnya lembut.”
Ulfi adalah Ibuk, dan Nenek sering menceritakan Ibuk pada orang lain dengan menyebut nama aslinya.
Sebulan pun berlalu, libur singkat digunakan Hana untuk menepati janji Ibuk. Seorang lelaki berusia tiga puluh, datang bersama pasangan suami istri yang lebih tua. Lelaki itu dengan santun mengenalkan diri dengan nama Zaki. Dia tidak banyak bicara selayaknya pemilik toko kue, atau banyak diam tertunduk seperti si lelaki manajer. Lelaki itu mencukupkan perkenalan pada pokoknya, tidak berbasa-basi pada bagian yang sangat basi, tidak membuat lelucon pada bagian yang tidak layak. Lelaki itu tidak menatap Hana untuk memberikan penilaian, pun tidak mengenyahkan pandangan karena merendahkan. Sebagai perkenalan, mereka tidak membuat percakapan yang mengarah pernikahan. Zaki merespons baik ketika diceritakan tentang pekerjaan Hana, tidak berlebihan memuji, juga tidak membuat persepsi tentang kelakuan anak sekolah zaman sekarang, sebagaimana yang sering Hana terima. Sepasang suami isti itu adalah kawan Ibuk. Mereka mendampingi Zaki, untuk menghargai proses silaturahmi, karena mereka pun belum pernah ke rumah Ibuk. Zaki sendiri adalah perantau dari Jogja yang mendapat pekerjaan di Kalimantan. Ketika pekerjaannya selesai, ia memilih membuka usahanya sendiri.
Hana membuka percakapan cukup banyak dibanding yang pernah ia lakukan. Jika ia tidak berkenan bercakap dengan lelaki itu, maka ia bercakap dengan pasangan suami istri itu. Bergantian saja. Setidaknya, tidak banyak diam.
Ibuk juga tidak memuji tamunya secara berlebihan seperti yang pernah ia lakukan. Setelah tamu mereka pulang, Ibuk tidak membahas apa pun, hanya mengucap hamdalah, karena sudah menunaikan janji terakhirnya itu.
[ ]
Kamsir dan Gina secara bergantian menemui Hana. Mereka bercerita tentang perubahan kelas setelah pergantian wali kelas, dan sambut menyambut dengan cerita lain. Tak lama, Marlan datang meminta Bang Kasim memutar lagu. Ruangan guru masih sama seperti ketika Hana datang untuk pertama kali mengajar. Masih mengizinkan anak-anak masuk dan mengobrol santai dengan guru, dalam batas toleransi yang disepakati. Hari itu, anak-anak diminta untuk kerja bakti bersama, dan malamnya ada ruangan yang bisa digunakan untuk malam keakraban khusus kelas XII yang akan melaksanakan ujian. Mereka tidak akan menginap di sekolah. Esok adalah momen terakhir bagi para pemain sepak bola dari kelas XII diizinkan untuk bertanding, karena setelah itu mereka harus bersiap untuk UN.
Di ruangan lain, Hana melihat Pak Ghozali sedang bermain catur dengan Halim. Kadang diselingi obrolan dan tawa yang samar. Ketika anak-anak yang mendatanginya sudah pergi, Hana mendiskusikan beberapa soal ekonomi matematika dengan Pak Osman, yang ia dapat dari Ekonomi UN terdahulu. Beberapa anak dari kelas X, XI dan XII masuk ke ruangan untuk mengadakan rapat singkat bersama Pak Anwar, terkait malam acara. Fendi menanyakan apakah Hana memiliki permen yang biasa ia bagikan, dan Halim pun tergesa-gesa menyertai teman-temannya untuk ikut rapat.
Selesai rapat, murid kelas XII masih ada dalam ruang guru bersama Pak Ghozali dan wali kelas. Lagi, mereka membahas tantangan UN. Entah sampai pada pokok permasalahan apa, tiba-tiba Hana hanya mendengar dirinya disebut.
“Atau gimana kalau Bu Hana nanti kita masukkan jadi murid kelas kalian. Masih mirip anak sekolah kan, ibunya?” sebut Pak Anwar tergelak.
Hana yang tengah khusuk menghitung, langsung mendongak.
“Hah? Apaan?” tanyanya melongo.
Di samping, ada Marlan yang tengah menahan tawa.
“Pak Anwar, Bu! Bercandanya nggak sopan. Marahin aja dia, Bu!” tunjuk Marlan ke Pak Anwar.
“Hah! Kalian ngomong apa sih?” tanya Hana dengan wajah bingung.
[ ]
“Ibu sibuk banget dari tadi?” tanya Halim yang tengah bersiap pulang.
“Nggak juga. Cuma ini seru banget,” jawab Hana, mengamati angka-angka pada kertasnya.
“Terlihat rumit.”
“Lebih rumit perempuan, Lim,” jawab Hana datar, masih fokus dengan kertasnya.
“Eh. Halim kok nggak pulang, ada yang ditunggu?” Hana mulai membereskan barangnya, sambil menengok koridor yang hampir sepi. Anak-anak pulang lebih cepat agar sore bisa kembali ke sekolah.
“Nggak. Yang lain udah pada pulang,” jawabnya datar.
“Kenapa di depan kantor? Oh, masih ada perlu sama Pak Ghozali?” tanya Hana.
Pak Ghozali, Bu Siswati, dan Bu Juni masih nampak sibuk di ruangan itu. Bahkan ketika Hana pamit pun mereka hanya sepintas melihat.
“Sudah selesai.”
Biasanya Halim pulang bersama Dika, Alif, atau Idang, dengan saling menumpang. Jika tidak, berarti masing-masing sedang membawa kendaraan. Pemuda itu berjalan dalam diam beberapa menit.
“Lagi mikirin apa?” tanya Hana ragu.
“Menurut Ibu, kalau aku kuliah, baiknya ambil keahlian apa?”