Ulangan kelas X telah selesai, dan Hana bersiap untuk pulang. Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu kelas XII. Kelas itu kosong. Dengan pelan, Hana mendorong pintu yang tertutup. Berjalan pelan di depan meja murid. Menatap dalam kursi-kursi yang tak lagi berpenghuni. Udara ruangan itu terasa jernih, tidak berkabut seperti saat pertama ia memasukinya. Tidak ada keributan, hanya keheningan yang menyelimuti. Tidak ada suara umpatan, yang ada hanya ketenangan, kesunyian. Hana tahu ruangan itu kosong, tapi perlahan kekosongan itu menyelusup juga ke hatinya. Jemarinya menyusuri guratan-guratan pada meja. Tidak menyangka, kalau ia akan merasakan kehampaan semacam itu.
Pintu kelas sedikit terbuka, yang membuat Hana ikut menoleh.
“Hai, lagi apa?” tanya Siska.
“Nggak apa-apa,” balas Hana tersenyum.
“Kangen ya?” Siska melangkah mendekati Hana.
“Aku juga dulu gitu. Setiap hari ingin mengamuk, tapi pas mereka hilang, aku kesepian,” katanya, ikut menatap meja dan kursi yang kosong.
“Hidup ini unik sekali. Kalau ada masalah, ingin lari. Kalau tidak ada masalah tidak berarti,” sambut Hana menatap kelas, seolah anak-anak itu masih ada.
“Ya,” angguk Siska pelan.
Lama keduanya menatap kelas kosong, sampai tersadar waktu bisa menghabiskan mereka dalam kenangan.
“Yuk, ah,” ajak Siska.
Hana segera menutup pintu, menutup satu bagian penting dari hidupnya.
Dari kelas yang kosong, suara dua guru itu terdengar samar-samar.