Hanari

Meliawardha
Chapter #1

Pria Bernama Singkat

Dari balkon indekosnya sesosok pemuda tengah memperhatikan seorang gadis yang sedang duduk di teras sendirian, di atas kursi roda. Jam di ponsel yang digenggamnya menunjukkan pukul empat sore lebih lima menit.

"Kak Hanna!" Seketika seorang gadis berambut hitam kemerah-merahan muncul dari dalam rumah di sampingnya, dan menyapa dengan penuh semangat.

"Hai, Ava!"

Sang pemuda mengenal gadis berambut sepunggung itu, namanya Ava. Anak dari bapak dan ibu pemilik indekos, Pak Suryana dan Bu Rani. Sebenarnya dia bukan bule. Hanya saja kelakuannya yang sedikit tomboy, membuat rambutnya sering terpapar sinar matahari dan jadi kemerahan.

Dia tiba-tiba berlari mendekati si gadis, "Kebetulan Kak Hanna di sini ajarin aku bikin puisi, ya?"

Oh... Namanya Hanna. Akan dicatat baik-baik di dalam benak si pemuda.

Bisa dibilang rumah gadis berambut sepundak itu dan Ava memang terhubung dengan satu teras luas yang sama, yang juga memanjang hingga indekos putra, tempat sang pemuda tinggal selama menempuh pendidikan di Surabaya. Intinya rumah Ava diapit oleh rumah si gadis yang bertubuh mungil dan indekosnya. Terlihat hanya satu tembok yang memisahkan rumah kedua gadis yang sedang diperhatikannya diam-diam. Si pemuda mulai iseng menduga, mungkin jika Bu Rani dan Pak Suryana bertengkar, atau mereka sedang memarahi Ava, keluarga tetangganya tersebut dapat mendengar dengan jelas. Sebab dia juga sering mengalaminya.

"Kok aku sih?" Gadis itu bertanya dengan nada heran, "lagian buat apaan sih?"

"Karena kata Bulik Wulan, Kak Hanna sering menang lomba puisi," jelas Ava, sembari memandang penuh harap. "Please ya? Buat acara pentas seni sekolah dua minggu lagi."

"Ah, ibuku itu memang suka melebih-lebihkan. Itu cuma lomba kecil-kecilan di Facebook, yang biasa dibuat penerbit indie," sanggah si gadis, yang sore itu tampak imut dengan mengenakan daster bermotif boneka.

"Aku nggak peduli, pokoknya ajarin." Ava tetap mendesak.

Setelah tampak berpikir lama, dia mengangguk. Melihat anggukannya Ava tampak girang. Lantas mengajaknya ke teras rumah Ava, membantu mendorong kursi rodanya, dan kemudian memeganginya saat Hanna mencoba turun ke atas tikar. Kemudian keduanya duduk lesehan.

Ava menunjukkan selembar kertas kosong dan sebuah pena, "Aku udah sejam di sini, tapi tetap nggak ngerti mau nulis apa." Dia menghembuskan nafas dengan frustrasi.

"Oke, pelan-pelan... Jadi temanya tentang apa?"

"Masa-masa indah di SMP."

"Sekarang coba pejamkan mata." Ava menurut arahan dari Hanna. "Pelan-pelan ingat kejadian yang paling berkesan. Bayangkan... rasakan ... bayangkan ... rasakan ... bila semua berbalik kepadamu. bayangkan ...rasakan ... bila kelak kau yang jadi diriku."

Merasa dikerjain Hanna, seketika gadis berhidung pesek itu membuka matanya, dan mengembungkan pipi. Tampak menggemaskan. Sang pemuda sampai harus berusaha keras untuk menahan tawa. "Itu kan lagunya Maudy Ayunda!"

"Emang. Hahaha...."

Ava memandang sebal. Hanna pun membujuknya, memperbaiki keusilannya dengan mengajari sungguh-sungguh. Sampai akhirnya kurang lebih satu jam kemudian, dia tampak berhasil mengajarinya.

Sore pun berganti menjadi senja. Terdengar Ava meminta Hanna menginap, untuk menemani dia yang malam ini ditinggal ayah dan ibunya ke Malang. Menengok cucu pertama mereka yang baru lahir. Hanna terlihat mengangguk, lalu mengetik di ponsel. Dia pamit pada ibunya.

"Tumben kos-kosan sepi?" tanya Hanna. Di paviliun rumah keluarganya Ava ada indekos kecil-kecilan dan berpenghuni para laki-laki. Biasanya adalah mahasiswa perantauan, tapi ada juga yang sudah bekerja.

Lihat selengkapnya