Bagi Hanna minggu adalah hari yang istimewa. Sebab pada hari tersebut dia bisa bertemu teman-teman senasib sepenanggungan. Seperti biasa, kakaknya, Yuda mengantarnya menuju lokasi pertemuan. Pemuda itu tidak akan mengikuti sepanjang acara, sebab katanya sudah ada janji dengan teman-temannya untuk main futsal. Dia bakal menjemput Hanna seusai acara nanti. Dengan sabar Yuda pun membantu Hanna turun dari mobil, dan duduk di kursi rodanya. Lantas mendorongkannya sampai ke teras rumah Intan, yang lantainya beralaskan keramik bunga-bunga. Tampak sangat mewah.
“Hai, Hanna! Semangat banget hari ini!” sambut Intan, di depan pintu rumahnya.
Hanna hanya membalasnya dengan senyuman. Intan menawarkan bantuan untuk mendorongkan kursi roda, walaupun dia sendiri juga tidak dapat berjalan dengan lancar. Namun, Hanna menolak dengan halus. Almarhum ayahnya selalu berpesan, “Kalau kita masih mampu, sebaiknya melakukan sesuatu sendiri. Baru apabila sudah mentok, boleh minta tolong.”
Begitu tiba di depan pintu ruang tamu, tempat pertemuan akan diadakan, Hanna melihat sesosok pria yang berhasil membuat napasnya berhenti sejenak. Minggu pagi yang biasanya istimewa, berubah menjadi minggu pagi yang membuatnya sedikit keheranan. Dia tidak menduga akan bertemu dengannya lagi.
Melihat tamunya mematung di depan pintu, Intan memandang Hanna sambil mengerutkan kening, “Kok bengong? Ayo, dong, masuk.” Ajakan tersebut berhasil membuat napas Hanna kembali teratur.
Hanna pun mengikutinya masuk ke dalam. “Kenalin, ini Pak Bahari, rekan kerja Mbak Kumari di tempat ngajar les. Mulai hari ini kami — para pengurus Difabel Smart Community — menjadikannya pengajar kelas hukum. Supaya kita semua bisa melek hukum dan mendapatkan hak kesetaraan.” Akhirnya tanda tanya Hanna terjawab. "Biar masih muda gini, Pak Bahari sedang menempuh pendidikan S2 di bidang hukum. Hebat kan, Han?"
“Ah, berlebihan nih, Mbak Intan. Saya biasa aja kok,” respon Ari, sembari menggaruk rambutnya yang berpotongan unik. Cepak di samping, dan agak panjang di tengah, terutama bagian depan. “Dan, saya sudah kenal kok, sama Dek Hanna.”
“Ehm, Dek Hanna,” goda Intan, ke arah Hanna. Sejak Hanna dan dirinya akrab, sampai bahkan sering saling curhat, Intan ini memang hobi banget menjodoh-jodohkan dengan beberapa lelaki. Jadi bagi Hanna sudah tidak mengherankan lagi sikapnya hari ini. “Bagus dong, kalau gitu, kalian ngobrol dulu ya? Aku mau ambil suguhan di dapur, sekalian bantu-bantu yang sedang menyiapkan hidangan untuk teman-teman nanti.”
Seketika Hanna seakan membeku di tempat. Bingung harus berbuat apa. Namun untungnya tidak ada interaksi apapun dengan pria berkemeja batik biru laut tersebut. Ari memilih menyiapkan materi mengajarnya tanpa bicara. Seperti mengeluarkan laptop dari ransel, dan langsung mengutak-atiknya. Hanna pun bernapas lega, dan mulai merasa nyaman.
“Cie... Tumben Hanna mau duduk paling depan di kelas,” goda Intan, yang baru datang lagi, sambil membawakan senampan kue.
“Biar bisa fokus dong! Kan gurunya ganteng. Hahahaha...” Entah Ari memang suka becanda atau terlewat narsis, batin Hanna sambil berdecak pelan.
Sementara Ari dan Intan tertawa, Hanna dengan spontan mengatakan apa yang dipikirkannya, walau suaranya terdengar agak gugup. "Dih, Pak Bahari narsis. Yaudah, saya ke belakang aja."
“Hahaha... Jangan panggil ‘pak’ dong, Dek Hanna. Kesannya saya tua banget.” Ari cemberut, pura-pura mengambek. Padahal Hanna tidak memperhatikan, karena terlalu fokus menggerakkan kursi rodanya.
“Panggil ‘mas’ dong, Han. Biar mesra,” goda Intan lagi.
"Kenapa nggak mau dipanggil 'Pak'? Padahal kan calon bapak anak-anak kita. Hehehe..." Terbawa oleh suasana, Hanna mulai berusaha untuk melontarkan candaan. Dia merasa sedikit aman karena jarak antara dirinya dan Ari kini terpisah beberapa kursi yang dipersiapkan Intan untuk pertemuan ini.
"Ehm... Calon bapaknya anak-anak Hanna." Intan pun menyahut dengan antusias.
Hanna mengernyit, geli sendiri. Lantas segera berusaha mengakhiri godaan Intan, “Udah deh, Kak. Nanti kalau ada yang marah bahaya lho!”
Namun Ari malah membuka kesempatan untuk digoda lagi, “Nggak bakal ada yang marah kok, Dek Hanna. Saya kan masih single.”
Intan pun menyambutnya, “Kode keras! Uhuk...”