Bu Wulan, ibunya Hanna dan Bu Rani, ibunya Ava, bersama beberapa ibu-ibu satu komplek sedang pergi ke rumah sakit, menjenguk Pak Darjo, tetangga sebelah yang mengalami kecelakaan. Sementara Yuda belum pulang dari kantor. Maka Hanna memilih menemani Ava belajar di teras kosan, sambil membaca novel yang dibawanya dari rumah. Pikirnya, dari pada harus di rumah sendirian, kan?
Tidak lama setelah dia duduk berhadapan dengan Ava di lantai yang sudah dialasi dengan karpet hijau, Ari tiba-tiba duduk di sampingnya. Tanpa minta izin, atau bahkan sekadar menyapa. Pandangannya terfokus pada layar ponsel dalam genggaman.
"Punya temen rese enaknya diapain ya?" tanya Ari, tiba-tiba.
"Emang mereka kenapa sih, Kak?" Hanna menanggapi dengan panggilan normal. Takut di-cie-cie Ava.
"Nih, teman-teman di Facebook. Dikit-dikit nanyain nikah. Upload apa, komentarnya apa. Nggak nyambung.” Ari menggeleng-gelengkan kepala.
"Jawab aja Januari." Ava mengusulkan.
"Bulan depan dong?" tanya Ari.
"Ish, bukan. Artinya tuh, 'jangan tanya mulu kecuali ngasih hadiah ferrari."
"Dih, garing. Panjang amat pula."
"Udah dibantuin, protes." Ava mencebik.
“Makanya Ri, buruan nikah.” Pak Suryana, tiba-tiba bergabung bersama mereka. “Apalagi yang kamu tunggu? Pekerjaan udah mapan, umur udah dewasa, dan kurang dari setahun lagi, kamu udah lulus S2.”
Seperti biasa Bapak dua anak ini tidak datang dengan tangan hampa, beliau membawakan senampan kopi dan teh. “Hidup itu nggak lengkap tanpa ngopi. Tapi ngopi sendirian nggak seru,” alasannya dulu. Sekarang semuanya sudah tidak heran dengan kebiasaan beliau sejak pensiun dan lebih banyak menganggur ini. Lagi pula yang beliau lakukan membuat mereka semua bahagia. Siapa yang tidak senang mendapatkan teh atau kopi gratis?
Digoda Pak Suryana seperti itu, pria yang malam ini berkaus hitam tersebut terlihat senyum salah tingkah, dan menggaruk kepalanya. Pak Suryana duduk di samping anaknya dan mulai membuka-buka lembaran koran. Ava segera meletakkan buku tulis dan pensilnya, lalu meraih teh manis hangat di nampan. Ari yang kebetulan haus pun cepat-cepat meletakkan ponselnya dan menyesap kopi hitam pekat buatan Pak Suryana. Sementara Hanna tetap melanjutkan baca novel.
"Dek Hanna, nggak minum juga?" tawar Ari.
"Nunggu dingin, Kak."
"Bukannya teh dan kopi lebih enak pas hangat?"
Ava tiba-tiba menyahut, "Apalagi saat udaranya dingin begini. Sambil lihat purnama dan bintang-bintang di langit. Oohh... Romantisnya."