“Namaku, Hanna Widyawati. Biasanya dipanggil Hanna.” Bercerita dimulainya dengan memperkenalkan diri, di depan beberapa pasang mata, di hadapannya. Semua hadirin adalah anggota Difabel Smart Community.
“Aku nggak bisa memastikan sejak kapan mengalami Cerebral Palsy, yang aku tahu sejak punya kemampuan mengingat masa lalu, nggak pernah sekali pun sepasang kaki ini mampu kugunakan untuk berdiri sendiri, tanpa pegangan, tanpa sandaran.” Hanna menoleh ke bawah, melihat sepasang kakinya.
“Bukan hanya kedua kakiku yang kaku, dan kesulitan bergerak dengan lincah, seperti kebanyakan bocah seumuran dulu. Sepasang tangan ini juga kaku. Makanya agak menyulitkan untuk mengerjakan beberapa aktifitas yang umumnya gampang dikerjakan oleh kebanyakan orang.” Hanna mengangkat tangan, menunjukkan betapa kakunya keduanya.
“Walaupun demikian, aku bersyukur memiliki Bapak yang sangat peduli dengan pendidikan, meski tidak melalui jalur formal. Di sela-sela kesibukan beliau bekerja, sebagai sales pertanian di sebuah perusahaan pupuk organik, Bapak sering meluangkan waktunya mengajariku dengan sabar.” Tanpa terasa air matanya mulai menitik, dia segera menghapusnya dengan punggung tangan.
Tampak beberapa pasang mata memperhatikannya dengan serius. Dia pun melanjutkan, “Beliau membelikan buku-buku pelajaran untuk anak-anak SD, dan mengajariku dengan telaten. Hampir setiap subuh Bapak membangunkanku, mengajak shalat subuh berjamaah. Kemudian mengajariku membaca dan menulis di rumah, hingga jam tujuh. Sebab pada pukul tujuh, Bapak akan berangkat bekerja.”
“Bapak sering bilang, aku nggak perlu minder karena nggak bersekolah. Toh, kesuksesan nggak ditentukan oleh tingkat pendidikan. Sebagai anak kecil yang masih polos dan naif, aku menurut saja. Lagi pula waktu itu aku pikir, malah enak. Aku bisa main sepuasnya, belajar kapan saja, dan belajar apa saja. Pokoknya, semuanya sesuka hatiku. Nggak ada ujian dan nggak harus ngerjain PR, yang kata kakakku dulu, susah dan bikin capek. Hehehe... “
“Demi memotivasiku, Bapak selalu bilang, walau nggak sekolah aku pasti mampu jadi anak pintar. Beliau senantiasa percaya, aku merupakan anak yang cerdas. Aku bahkan selalu dianggap oleh beliau lebih pintar dari anak-anak seusiaku dulu. Karena usahanya aku pernah berhasil mengalahkan Ernest, saudara sepupuku, yang waktu itu bersekolah SD cukup bergengsi di Bandung. Aku menang dalam lomba membaca buku, yang iseng-iseng diadakan Om saat kami mudik lebaran di kampung Kakek dan Nenek. Aku tertawa penuh kemenangan saat melihat dia nangis guling-guling. Hehehe.... Maklum saja, waktu itu kami masih usia tujuh tahunan.”
“Bapak juga yang dulu meminta kakak, Mas Yuda, untuk selalu menyempatkan waktu mengajariku menggunakan ponsel dan membuat akun Facebook, yang kemudian bisa membuatku mengenal banyak orang dari daerah, profesi, dan hobi yang beragam. Hingga akhirnya mengenal dunia menulis, dan teman-teman yang aktif menulis. Aku belajar banyak hal, termasuk tentang kepenulisan, melalui Facebook.”
Hanna menghembuskan nafas, mulai merasa lelah. “Saat ini aku berprofesi sebagai penulis amatir, dan tinggal bersama ibu dan Kakak. Karena Bapak sudah wafat dua tahun lalu. Demikian kisahku. Terima kasih telah bersedia mendengarkan.”
Riuh tepuk tangan seketika terdengar begitu Hanna mengakhiri ceritanya. Minggu pagi ini tim pengurus komunitas menggagas acara berbagi pengalaman pribadi sebagai penyandang disabilitas. Tujuan acara adalah untuk saling memotivasi dan menyemangati. Kebetulan sekarang Haikal yang menjadi tuan rumah acara komunitas.
Usai berbicara di depan beberapa pasang mata, Intan membantunya untuk pindah, duduk bergabung menjadi pendengar kisah teman-teman lainnya. Kini giliran anggota Difabel Smart Community yang lain untuk berbagi kisah. Maka biar cepat dan bisa memberikan jalan bagi anggota berikutnya, dia menurut saja dibantu Intan, yang akhirnya mendorongkan kursi rodanya berdekatan dengan Ari. Hanna menduga, pasti ini sebuah kesengajaan. Bagian dari salah satu misi menjodohkan keduanya. Dia jadi menyesal pernah curhat pada Intan tentang perasaannya saat melihat Ari tersenyum. Karena dia merasa bingung, belum pernah sebelumnya terpesona senyuman seorang pria. Intan bilang itu adalah tanda-tanda jatuh cinta.
“Terus berkarya, Dek,” kata Ari, sekilas.
Hanna pun menoleh, “Insya Allah .... Thanks, Kak.”
Keduanya saling berbagi senyuman. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menelusup dalam hati masing-masing.
***
Hanna sedang berada di bangku bagian tengah mobil pribadi Jarot, salah satu anggota Difabel Smart Community. Semilir angin dari jendela yang dibiarkan terbuka, menyeretnya dalam lamunan panjang nan indah.
Ini bukan pertama kalinya dia menumpang, setelah mendapatkan kabar jika Yuda tidak dapat menjemput. Ada tugas mendadak dari bos-nya. Tadi dia dibantu Intan naik ke mobil, dan dia sudah WhatsApp sang Ibu supaya di rumah nanti membantunya sewaktu turun dari mobil.
“Dek, menurut Kakak kamu ndak cocok dengan Pak Bahari.” Suara Jarot seketika menghancurkan bayangan indah Hanna bersama Ari, di sebuah taman, duduk di atas rerumputan, di bawah naungan pohon sakura yang bunganya tengah berguguran.
Dia menoleh, “Emang kenapa?” Bukan Hanna namanya kalau langsung menurut, tanpa bertanya alasannya. Dia membatin, pantas saja sepanjang acara bersama komunitas tadi Jarot terus memperhatikan gerak-geriknya dan Ari.