Hanari

Meliawardha
Chapter #7

Makan Malam yang Istimewa

Karena telat bangun pagi, Hanna terpaksa sarapan sendirian. Tiba-tiba dia memelankan kunyahan saat mendengar suara ketukan pintu. Suara itu menyerbu dengan keras, dan irama yang cepat. Pengetuknya terdengar terlalu bersemangat untuk bertemu dengan sang pemilik rumah

Hanna pun mengangsurkan piring menjauh dari hadapannya, lantas menggerakkan roda kursinya menuju ruang tamu.

"Hanna..." Seketika Intan menghambur memeluk Hanna, dan di belakangnya Joni dengan gagah tersenyum walau pandangan yang tidak fokus.

"Kak Intan..." Hanna membalas pelukannya. Rindunya membuncah, meski mereka hanya berpisah sebulan. Joni dan kedua orangtuanya mengajak Intan ke Bogor, untuk berkenalan dan meminta restu pada keluarga besarnya.

Hanna lantas mempersilakan mereka masuk. Keduanya pun mengikutinya menuju sofa ruang tamu, dan kemudian duduk bersebelahan. Sementara Hanna tetap berada di atas kursi rodanya.

"Di rumah sendiri?" tanya Intan, setelah duduk.

"Iya. Ibu sudah berangkat ke sekolah, dan Mas Yuda ke kantor," jawabnya, sembari meraih air mineral gelasan yang berada di kotak. Ibunya memang punya persediaan sekotak air mineral di dekat sofa, untuk jaga-jaga jika ada tamu mendadak. Seperti sekarang. "Kok nggak ngabarin sih kalau mau datang?"

"Sengaja dong. Biar surprise!" Kali ini giliran Joni yang menjawab.

Hanna pun hanya bisa tertawa dan menggeleng-gelengakan kepala.

"Karena kami ke sini berniat memberikan kabar gembira!" Intan tampak sangat bersemangat.

"Oh iya? Kabar apa sih?"

Intan kemudian mengambil sesuatu dari dalam tas. Sebuah undangan diberikannya pada Hanna.

Intan dan Joni. 14 - 04 - 2014.

Sebulan lagi." Hanna langsung membacanya dengan suara sedang. "Alhamdulillah... Aku ikut seneng."

Mendadak Hanna jadi teringat Jarot, sosok yang berjasa mengenalkan Hanna pada Difabel Smart Community. Sebuah komunitas difabel yang awalnya terbentuk dari sosial media. Pembentukan ini konon dikarenakan ketidakpuasan terhadap komunitas lama yang sudah ada, sebab katanya hanya mensejahterakan elit pengurus semata. Hanna sendiri tidak begitu mengerti tentang kebenarannya, karena dia belum pernah bergabung dalam sebuah komunitas difabel, dan tidak berniat ikut komunitas yang lain. Difabel Smart Community sudah membuatnya sangat nyaman.

"Kamu pasti datangnya bareng Pak Bahari ya? Cie-cie..." goda Intan.

"Ish, ya enggak lah. Kak Ari mungkin datang sama pacarnya."

Intan langsung bungkam, dan memandang dengan iba.

***

Udara Surabaya yang akhir-akhir ini panas memaksa Hanna untuk menyalakan kipas angin bahkan di malam hari. Hingga dia nyaris tidak mendengar sang ibu yang tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya. Dia sedang asyik membaca novel. Ditambah suara kipas angin tua itu sudah sangat bising. Ibunya pernah bilang sudah membelinya sejak dia masih dalam kandungan.

Terlebih lagi, tidak biasanya wanita berusia lima puluh tahun tersebut melakukan hal demikian. Wulan sudah paham biasanya sang anak bungsu pasti sedang sibuk membaca novel atau menulis. Hanna segera bangkit dari tiduran di kasur, lantas naik ke kursi roda. Kemudian membuka pintu.

"Ada apa, Bu?"

"Ditunggu Ari di ruang tamu."

"Hah?! Ngapain?"

Lihat selengkapnya