Hanna menoleh pada Ari. Ari kebetulan juga sedang memandangnya.
Ari tertawa sejenak, "Hahaha..." sebelum kemudian menjawab dengan mantap, "Iya."
"Tunggu... Tunggu... Jadi waktu nggak jadi makan malam dengan Ava dan aku, ternyata Aa ketemuan dengan Kak Giselle dan Kak Glenn?" Hanna tiba-tiba menyela.
"Iya, Dek..." jawab Ari dengan lembut.
Hanna menghela napas lega. Ternyata tidak ada wanita lain yang diajak berkencan oleh Ari. Tidak seperti yang dicurigainya sejak malam itu. Awas ya, Mas Yuda!
"Cie-cie... Manggilnya Aa."
"Soalnya yang dipanggil mas atau kakak udah banyak. Jadi biar beda aja," kilah Hanna, asal saja.
"Iya, dong! Biar spesial..." Ari menambahkan. Mereka berempat semakin heboh menggoda keduanya.
Ryan kemudian memanggil pelayan restoran. Mereka bergantian mengucapkan pesanan. Kecuali Hanna yang harus menurut dipilihkan oleh Ari. Agar skenario yang secara spontan dikarang Anita tidak terbongkar. Untungnya pilihan Ari tidak terlalu buruk, sepiring spageti dan es sirup strawberry.
"Besok jadi berangkat balik ke Singapura kalian?" tanya Anita, pada Glenn dan Giselle.
"Iya dong. Kita kan cuma ada jatah liburan seminggu."
"Kita pulangnya tiga hari lagi aja ya, Sayang? Aku masih pengen ke danau angsa." Anita menatap Ryan penuh harap.
Hanna cuma diam. Bingung mau menanggapi apa, karena sama sekali tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan.
Tiba-tiba Ari berbisik, "Kak Giselle dan Kak Glenn kuliah S3 di Singapura. Kalau Kak Anita dan Kak Ryan bekerja di perusahaan multimedia di Jakarta."
Mereka bukan orang sembarangan, batin Hanna. Meminjam istilah Jarot.
"Eh, pada ngapain nih, bisik-bisik berduaan?" goda Giselle, diiringi sorakan Glenn, Anita, dan Ryan.
Mereka langsung berhenti bercanda setelah pelayan menyuguhkan pesanan masing-masing. Hanya suara dentingan piring dan sendok yang kemudian terdengar.
Malam semakin larut, mereka pun akhirnya berpisah di teras restoran. Pengunjung sudah mulai berkurang. Jam di ponsel Hanna sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Karena dia dan Ari masih menunggu taksi yang dipesan langsung dengan cara menghubungi nomor telepon kantornya. Mereka berdampingan sembari memandang langit yang bertaburan gemintang.
"Cantik," ucap Ari, memecah kesenyapan.
"Apanya?"
"Langitnya."
"Kirain aku."
"Hahaha... Narsis."
"Kan Aa yang ngajarin."
Ari masih ingin menimpali, tapi taksi sudah datang, dan Hanna mengajaknya cepat-cepat pulang. Gadis itu memejamkan mata, dan merapal doa. Memohon pada Tuhan supaya tidak pingsan saat nanti digendong Ari naik ke taksi.
"Gendong saya atau Pak Sopir?"
Saat dia membuka mata, di balik punggung Ari, sopir taksi yang ternyata sudah turun dari mobil tampak tersenyum ramah, penuh pengertian. Hanna bersyukur karena kebetulan mendapatkan sopir yang baik.
Dia jadi teringat teman-temannya sesama difabel terkadang tak seberuntung dirinya. Tidak sedikit yang mendapatkan sopir berkelakuan kasar dan menghina, kemudian difabel tersebut biasanya memposting kejadian yang dialaminya di sosial media. Setiap mendapati hal demikian Hanna merasa ikut marah dan menganggap sopir yang tidak bisa menghargai pelanggan difabel layak mendapatkan hukuman dari pihak perusahaan taksi yang menaungi sopir kurang ajar tersebut.