Menyaksikan wanita yang dicintainya terkulai, Ari buru-buru mendekat, "Mas Kukuh, Dek Hanna sepertinya kecapean. Mohon izin pulang cepat... Biar saya antar pulang."
"Oohh iya, Mas Ari. Silakan... Sebenarnya hari ini nggak ada orderan kok. " sahut Kukuh. Dia juga tampak khawatir, tetapi ragu-ragu untuk mendekat.
"Bro, pulang sendiri ya? Diingat-ingat jalannya. Jangan nyasar." Ari pun pamit pada Rizal.
"Siap, Bro."
"Apa nggak sebaiknya dibawa ke dokter?" saran Marsya.
Ari menurut saja saat Marsya mendorongkan kursi roda Hanna. Mereka langsung menuju jalan raya yang tepat di depan kantor ini. Ari mencegatkan taksi, dan menggendong tubuh Hanna masuk ke dalam. Di mobil Ari duduk di samping Hanna, sedangkan Marsya di depan bersama sopir.
"Ke rumah sakit, Pak." Marsya memerintah.
Ari yang memangku kepala Hanna menatapnya begitu khawatir. Sebenarnya Ari sudah mengagumi karya Hanna sejak dulu. Dia sering mengumpulkan kliping cerpen-cerpennya, dan membawa pulang untuk diceritakan pada ponakan-ponakan saat mudik. Mereka semua suka cerita Hanna, selain menarik, juga mengajarkan tentang kebaikan. Dia sama sekali tak pernah menduga kalau perempuan yang dikaguminya adalah tetangga sebelah indekos, bahkan satu komunitas dengan Kumari.
***
Ari sangat mengagumi dan menghormatinya. Walau tak seakrab hubungannya dengan Giselle, tetapi dia lumayan mengetahui kisah hidupnya. Karena Kumari orang yang terbuka dan mudah untuk diajak berbagi cerita. Konon, dia terlahir dari sebuah keluarga yang sederhana dan dia memiliki banyak saudara. Makanya dia tumbuh menjadi wanita yang mandiri. Meski agak tomboy, tapi dia mempunyai kecantikan yang alami. Tidak jarang orang-orang bilang, sekilas dia mirip seperti artis jaman dulu, Ayu Azhari.
"Saya kagum sama Mbak Kumari. Pantang menyerah dan selalu percaya diri." Ari pernah mengungkapkan dengan jujur.
"Ah, kamu belum tau, Dek. Di komunitas yang Mbak ikuti, masih banyak yang lebih hebat lagi."
Karena merasa tidak butuh bantuan laki-laki, Kumari memang berkomitmen untuk tidak menikah. Sehingga tak heran di usianya yang sudah menginjak 35 tahun, dia masih single. Dia pernah mengalami kecelakaan sewaktu SMA, sehingga harus merelakan tangan kanannya diamputasi. Profesinya kini adalah seorang guru les di sebuah lembaga bimbingan belajar. Tempat yang sama dengan Ari mengais rezeki, untuk meringankan beban orang tuanya menguliahkan di perantauan.
"Makanya, kenalin saya dong sama komunitas Mbak."
"Beneran kamu mau? Kebetulan banget lagi ada lowongan mengajar kelas hukum. Tapi nggak ada gajinya, Ri. Jadi kita prioritaskan yang sesama difabel. Biar bisa menguatkan dan saling membantu."
"Saya mau! Saya mau!" Ari menyahut dengan kelewat antusias. Kumari dibuat bingung dan tak menyangka bakal seperti ini reaksi rekan kerjanya.
Kira-kira apakah Hanna, yang saya temui di teras kosan beberapa hari yang lalu, juga satu komunitas dengan Mbak Kumari? Batin Ari.
Saking serius melamun, Ari sampai tidak sadar bahwa Kumari sudah keluar dari ruang guru. Ari yang tadinya sudah berjanji akan pulang bersama Kumari cepat-cepat memasukkan buku-buku dan berkas-berkas mengajarnya ke dalam ransel. Lantas segera mencangklong di punggung dan berlari ke teras.
Baru sampai di lorong, dia menghentikan langkah. Bapak pemilik lembaga les tersebut rupanya sedang bersama Kumari.
"Mari, Bu Kumari, bareng saya saja. Sudah larut malam, bahaya kalau naik kendaraan umum."
"Terima kasih sebelumnya, Pak Broto. Tapi saya sudah janji membonceng Dek Ari."
Ari merasa tidak perlu ikut campur, sehingga memilih kembali ke ruang guru. Kemudian membuka sosial media, chatting dengan kakaknya, menanyakan kabar ponakan, selfie, dan... Tiba-tiba Kumari sudah berdiri di sampingnya dengan wajah ditekuk.
"Ditungguin juga. Malah selfie!"
"Kenapa sih, Mbak menghindar terus dari Pak Broto? Padahal Mbak juga suka kan?"
"Mbak nggak pantes buat beliau, Ri. Mbak cuma wanita difabel yang akan merepotkannya."
"Kalau saya pribadi sih nggak keberatan punya pasangan difabel. Saya yakin tidak akan repot. Toh jaman sudah modern. Banyak inovasi terbaru yang diciptakan untuk mempermudah pekerjaan rumah tangga."
"Tapi tetap saja kan? Orang-orang di luar sana akan menganggap bahwa wanita difabel itu merepotkan? Jadi dari pada ribet-ribet Mbak mendingan kerja keras, nabung, dan belajar untuk menjadi wanita yang mandiri."