Esok paginya Ari berniat mengantar Hanna ke kantor Kuma-Kuma. "Yaudah, terserah... Jagain adekku. Macam-macam, awas lho!" ancam Yuda, saat sedang bersiap-siap berangkat ke kantornya.
"Siap, Komandan!"
"Kalau sampai terjadi apa-apa sama Hanna. Aku gantung kamu di pohon cabe kebun belakang rumah." Bu Wulan memang senang menanam di belakang rumah mereka.
"Mas Yuda..."
"Jangan mentang-mentang kamu suka, belain dia terus, Hanna."
"Bukan gitu, Mas. Pohon cabe terlalu pendek. Kenapa nggak pohon mangga sekalian yang lebih besar?"
"Dek Hanna kok tega banget sih, sama saya?" Ari tampak cemberut, pura-pura ketakutan.
Serempak Hanna dan Yuda tertawa karena berhasil mengerjai Ari. Tentu saja kedua kakak beradik itu hanya bercanda.
Ari mengajak Hanna naik taksi. Sepanjang jalan mereka tidak banyak bicara walau duduk bersebelahan di kursi penumpang.
Tadi Ari sudah menyiapkan bekal di dapur indekos, seusai shalat subuh. Dengan mengabaikan tatapan penasaran dari para penghuni yang lain, karena memasak sampai dua porsi dan menata kotak bekal secantik mungkin. Padahal biasanya sepulang dari masjid komplek memilih tidur lagi. Baru berangkat ke kampus sekitar pukul tujuh pagi. Bahkan Rizal yang terus bersiul menggodanya dia anggap bagai sosok tak kasat mata.
Sesampainya di kantor Kuma-Kuma, Ari menggendong Hanna turun. Begitu Hanna sudah duduk nyaman di kursi roda, Ari menyerahkan sekotak bekal. Ketika Hanna iseng-iseng mengintip, kotak bekal itu ternyata berisi sandwich yang telah dipotong kecil-kecil, "Biar Dek Hanna gampang. Tinggal tusuk pake garpu dan melahapnya. Nggak perlu repot potong-potong atau pegang pakai tangan."
"Wah, makasih banyak ya!"
"Padahal biasanya ngingetin saya biar nggak telat makan gara-gara sibuk kerja. Eh, malah Dek Hanna sendiri yang lupa sarapan."
"Aku nggak lupa. Cuma emang nggak bisa masak Aa... Dapurnya kan nggak akses. Tapi tadi Mas Yuda udah usaha bikin telur ceplok. Jadi aku udah sarapan."
"Yaudah, ini buat makan siang," ucapnya lembut, tapi kemudian seolah memancing perdebatan, "Kalau gitu kenapa dulu janjiin saya mau masakin rujak kangkung?"
"Karena Ava bilang dia bersedia bantuin aku masak. Di rumah beda, ibu benar-benar nggak ngebolehin aku pegang-pegang pisau, apalagi main-main dekat kompor."
"Duh, anak mama, " ejek Ari, usil.
"Besok kalau udah nikah, aku pengen banget punya dapur yang bisa aku jangkau. Aku nggak mau tergantung terus sama orang lain, membuatku merasa tidak berdaya, nggak bisa apa-apa, nggak berguna!"
"Hus! Nggak ada yang nggak berguna... Iya, nanti insya Allah. Semoga bisa terwujud ya, Dek?"
"Aamiin..."
Tanpa Hanna sadari, diam-diam Ari mulai menyusun rencana untuk mewujudkannya.
Tiba-tiba Ari menyampirkan sweeter warna biru tua di pundak Hanna.
"Aa, ini apa?"
"Biar nggak dingin," jawabnya lembut, sambil tersenyum. Hanna mematung seketika. "Saya ke kampus dulu ya?"
Seusai mobil taksi meninggalkan halaman kantor Kuma-Kuma, Hanna melajukan kursi rodanya masuk.
"Cie... Baju baru nie..." sambut Kukuh, begitu Hanna tiba.
"Cuma dibeliin. Lagian yang baru cuma sweaternya. Baju kerjanya sama dengan yang kemarin."
"Siapa nih yang beliin?"
"Ada deh."
"Tapi baju yang kamu pakai sejak gabung di Kuma-Kuma, keren deh. Kelihatan jadi lebih dewasa."
"Aku emang udah dewasa."
"Bukannya masih seumuran anak SMA?"