Hanari

Meliawardha
Chapter #14

Tuntutlah Ilmu Hingga ke Negeri Tetangga

Hanna muak dengan kata-kata Jarot yang akhir-akhir ini kembali menghantuinya, terus menerus. "Dia itu bukan lelaki sembarangan, dia pasti akan memilih wanita yang sederajat. Wanita yang non difabel. Wanita yang berpendidikan."

Kata-kata itu seolah-olah menjelma nyata, dan menamparnya. Hanna merasa bagaikan dilemparkan menuju bebatuan cadas, setelah dibuat melayang jauh hingga menyentuh bintang-bintang di angkasa.

Untuk apa dia mengajakku bertemu teman-temannya? Untuk apa mereka menyambutku dengan hangat? Untuk apa Kak Giselle memberikan saran-saran agar aku tetap kuat bertahan di sisinya? Untuk apa dia memberikan perhatian? Membelikan barang-barang?

Apa artinya semua itu? Bila kenyataannya Ari tidak pernah menganggap aku kekasihnya? Itu sebabnya dia tidak mau repot-repot untuk minta pendapat atau sekedar bercerita mengenai rencana beasiswanya. Kalimat ini terus-menerus berputar di kepalanya.

Hanna pun akhirnya enggan keluar rumah dan tidak lagi menanggapi pesan-pesan Ari. Dia berusaha keras untuk tidak peduli lagi dengan pria itu. Sudah memutuskan segala bentuk komunikasi. Blokir Facebook dan WhatsApp.

Hatiku terasa sakit sekali. Begini ternyata rasanya dibohongi. Baiklah, kalau Ari tega mengambil keputusan diam-diam, aku pun berhak untuk meninggalkannya tanpa penjelasan. Lebih baik fokus untuk bekerja saja, batin Hanna.

Hanna selalu minta Yuda mengantarnya jam enam pagi. Karena secara kebetulan Ari sering tertidur lagi setelah shalat subuh berjamaah di masjid komplek. Jadi dia punya celah untuk terus menghindarinya. Walau sesampainya di kantor, pintu masih tertutup rapat.

"Kamu yakin, Dek, nggak kepagian datangnya?"

"Lebih baik kepagian, dari pada telat. Udah, Mas Yuda ke kantor gih! Aku mau nungguin sambil nonton anime dari hape."

Yuda akhirnya meninggalkannya sambil geleng-geleng kepala.

Hanna juga mulai suka nonton film anak-anak dan anime, sejak saat itu dia ingin memberontak dari saran-saran Giselle, "Makanya dia butuh wanita yang... dewasa, dan..." Dia merasa ingin bebas. Termasuk dalam bersikap dan berselera. Menjadi kekanakan rasanya lebih menyenangkan. Seandainya bisa Hanna bahkan ingin kembali jadi anak-anak saja, yang selalu ceria, dan tidak akan merasakan patah hati

***

Bu Wulan baru saja pamit pergi ke arisan, dan Yuda tentu belum pulang dari kantor jam empat sore. Namun, Hanna mendengar suara pintu diketuk. Saat dibuka, Ava tampak tersenyum di depan pintu, "Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan, tentang Kak Ari."

Hanna menyandarkan punggung ke sandaran kursi roda, dan mengibaskan tangan dengan malas, "Pulanglah, Ava. Kamu dikasih uang jajan berapa sih, sama Kak Ari? Besok kalau udah gajian, aku kasih yang lebih besar."

"Ini bukan soal uang jajan. Uang bulanan dari Bapakku cukup kok," sangkalnya, dengan tatapan tersinggung. Ava benar-benar kecewa, tetangga sebelah yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri tiba-tiba berubah menjadi sok jumawa.

Hanna terdiam. Ava tetap berdiri di depan pintu. Perlahan-lahan rupa mukanya berubah menjadi tatapan memohon.

Hanna pun akhirnya luluh, "Baiklah... Sebentar saja. Aku sangat sibuk."

Hanna memundurkan kursi roda, untuk memberikan jalan. Ava pun masuk dan duduk di sofa ruang tamu.

"Tadi malam, Kak Ari nggak bisa tidur sampai jam dua belasan. Waktu aku mau ke kamar kecil, Kak Ari lagi ngobrol sama Bapak di dapur. Jadi aku berhenti dulu deh, dan diam-diam menguping obrolan mereka. Kak Ari ditawari kopi, terus ditanya kenapa bisa sulit tidur, karena udah lama nggak kayak gini."

Hanna mendengarkan dengan malas, sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi roda.

"Intinya, maksud Kak Ari menyembunyikan rencananya bukan karena nggak menghargai Kak Hanna. Kak Ari cuma nggak percaya diri bakalan berhasil meraih beasiswa. Dia takut nanti membuat Kak Hanna ikut kecewa dan sedih kalau dia nggak berhasil nantinya."

Hanna pura-pura menguap. Namun Ava kekeuh melanjutkan cerita.

"Kak Ari masih ingat, dulu pernah mengeluh pusing. Tiba-tiba Kak Hanna ikutan ngerasain pusing."

Lihat selengkapnya