Hari demi hari berlalu, dan Hanna tetap bertahan dengan usahanya menghindari Ari. Dia bahkan pura-pura tidak peduli ketika Ari sudah diwisuda untuk kelulusan S2-nya.
Ibunya dengan diantar sang kakak datang jauh-jauh dari kota kelahirannya untuk menghadiri acara tersebut. Sejak kecil Ari bukan orang yang mudah bercerita dan pandai mengekspresikan perasaan. Sehingga dia sering memendam sendiri masalahnya. Termasuk yang dialami saat ini.
"Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari Ibu?" Sang Ibu menghampiri saat dia sedang termenung di balkon, memandang lampu-lampu rumah-rumah warga yang terlihat gemerlapan. Sudah larut malam, mungkin sekitar pukul sepuluh. Namun bagi Ari jam berapa pun sama saja tanpa kehadiran Hanna. Hampa.
"Mboten, Bu."
"Sejak tadi Ibu datang, kamu sering melamun. Bukan hanya Ibu yang khawatir. Masmu yang sekarang sudah terlelap dari tadi juga heran melihat kamu saat ini."
"Nggak ada apa-apa kok, Bu."
Andai Hanna tidak marah padanya, dia ingin sekali memperkenalkan dua wanita yang dicintainya. Melihat mereka berbincang akrab dan kompak mendampinginya saat wisuda besok.
Namun, Hanna terlanjur dibutakan oleh kemarahannya. Membuat Ari kecewa, karena sang kekasih tak mendukungnya seperti yang dia harapkan. Padahal Ari memang sengaja tidak memberi tahu Hanna sebelumnya. Dia berniat memberikan kejutan.
Ari tidak ingin menjadi pria yang biasa-biasa. Dia ingin menjadi pasangan yang hebat, yang bisa dibanggakan. Dalam pandangan Ari pendidikan memang tidak bisa menjamin kesuksesan, tetapi dia selalu percaya dengan adanya pendidikan hidupnya akan lebih mudah. Dengan kemudahan hidup yang dapat diperolehnya, dia ingin punya kemampuan untuk bermanfaat bagi semua orang. Dengan kemudahan yang diharapkannya pula, dia ingin membahagiakan Hanna. Bertanggungjawab penuh atas kebutuhan wanita yang dicintainya tersebut.
Ari masih teringat ucapan Hanna, dan berkeinginan untuk dapat mewujudkannya, "Besok kalau udah nikah, aku pengen banget punya dapur yang bisa aku jangkau. Aku nggak mau tergantung terus sama orang lain, membuatku merasa tidak berdaya, nggak bisa apa-apa, nggak berguna!"
Tidak bisakah Dek Hanna memahami niat saya? Tak bersediakah menunggu sejenak saja?
***
Seminggu setelah wisuda, Ibu dan kakaknya sudah pulang tiga hari yang lalu. Ari lagi-lagi datang ke rumah Hanna, tetapi gadis itu tidak mau menemui. Akhirnya Ari hanya bisa duduk di ruang tamu ditemui Bu Wulan.
Bu Wulan berdecak, "Hanna itu memang keras kepala. Persis Almarhum ayahnya."
Ari mengetam bibirnya. Tak tahu harus berkomentar apa.
"Saran Ibu, biarkan Hanna sendiri dulu. Nak Ari fokus saja pada kuliah. Ibu bisa melihat bagaimana Nak Ari menyayangi Hanna dan bersedia menerima apa adanya. Namun belum tentu kan dengan orang tua Nak Ari? Berikan Hanna kesempatan meraih kesuksesan dulu. Supaya tidak ada yang bisa meremehkannya. Terlebih calon mertuanya nanti. Siapa pun itu."
Dengan tatapan yang sedih, Ari tampak memaksakan senyum, "Saya doakan yang terbaik untuk Dek Hanna." Kemudian pamit pulang.
Di luar Pak Suryana sekeluarga dan Rizal sudah bersiap di teras, untuk mengantar kepergian Ari ke stasiun kereta api.
Tuntutlah ilmu sampai ke Australia, Nak Ari. Ibu akan selalu mendukung dan menerimamu seperti anak Ibu sendiri, batin Bu Wulan setelah menutup pintu dan bersandar di baliknya. Sebelum kemudian menghampiri Hanna di kamarnya.
"Rencananya Ari akan pulang dulu ke daerah asalnya. Sebelum kemudian terbang ke Australia." Bu Wulan berusaha untuk menceritakan rencana Ari. Hanna hanya menatap nanar jendela kamarnya. Pura-pura tidak mendengar cerita ibunya. "Nak, kamu dengar ibu kan?"