Hanari

Meliawardha
Chapter #16

Makhluk yang Harus Dijauhi

Sudah memasuki bulan desember, tetapi entah mengapa hujan masih enggan menyapa. Hujan lokal justru menderas di pipi Hanna. Gemerlap gemintang yang ditengoknya dari jendela kamar tidak mampu menghibur hati yang retak.

Tahun sudah berganti lima kali. Banyak yang telah berubah di sekeliling lingkungan hidup Hanna. Intan dan Joni sudah memiliki dua anak, kembar putra dan putri. Yuda telah menikah, dengan salah satu rekan kerjanya. Jarot juga tidak sendiri lagi, berumah tangga dengan keponakan dari salah satu karyawannya. Kumari tetap memilih untuk sendiri, tapi berhasil memperoleh beasiswa di Jakarta. Ava sudah kuliah, pandai menyetir, dan sekarang menolong antar jemput Hanna ke kantor.

Namun, ada satu hal yang tidak pernah berubah, perasaanku untuk Bahari...

Bahkan perlahan-lahan Hanna mulai menyesalkan tindakannya dulu. Sekarang dia merasa kelakuannya terlalu kekanakan. Tidak seharusnya marah dan memutuskan segala bentuk komunikasi. Tak ada janji apa-apa di antara mereka. Ari berhak melakukan apa saja.

Seandainya aku tidak merajuk, mungkin setidaknya kita bisa berpisah baik-baik. Atau, mungkin bahkan masih bisa saling berbagi kabar.

***

Puisimu bagus, Hanna. Menyentuh sampai ke lubuk hati terdalam.

Sebaris kalimat pujian yang justru terasa mengiris dada. Apalagi bila disertai dengan kalimat, "Aku kangen tulisanmu. Kapan kamu akan menulis puisi-puisi lagi, Hanna?"

Pesan-pesan di Whatsapp, dan komentar-komentar di Facebook, yang akhirnya cuma bisa dibalas seadanya, "Insya Allah secepatnya..."

Gadis yang rambut hitamnya kini tertutup jilbab putih tersebut sering merasa bersalah, belum bisa mewujudkan keinginan mereka. Namun, harus bagaimana lagi? Dia hanya bisa menatap nanar layar laptopnya, setiap kali akan menulis. Tanpa bisa mengetik sepatah kata pun.

"Coba jelaskan apa alasannya?" tanya Ava, menarik kesadaran tetangganya dari dunia lamunan.

"Entah... Aku merasa kesulitan merangkai kata-kata. Aku nggak tau kenapa."

Hanna benci mengecewakan orang lain. Jika di dunia ini hanya ada dua pilihan, dia lebih memilih dikecewakan, dari pada harus mengecewakan. Lebih baik dirinya yang terluka, orang lain jangan. Kejadian ini telah berlangsung sejak Hanna memutuskan mengakhiri hubungan dan segala bentuk komunikasi dengan kekasihnya, Ari.

"Ya sudahlah... Nggak usah dipaksain. Seenggaknya kan Kak Hanna masih menulis. Walau cuma nulis sesuai pesanan klien di Kuma-Kuma." Ava menyentuh pundaknya, sambil tetap berkonsentrasi menyetir. Hanna jadi tersentak dari lamunan.

Hanna mengalihkan pandangan ke luar jendela kaca mobil. Dalam perjalanan menuju kantornya, banyak berjajar pohon-pohon di sepanjang pinggir jalan, ditemani beberapa tanaman hias, dan ada pula yang berbunga indah. Bu Risma berhasil menyulap Surabaya tidak lagi terasa panas menyengat seperti dulu kala dirinya masih kecil. Sayang sekali sejuknya pemandangan kota yang indah tak mampu menyejukkan hatinya. Warna-warni bunga yang mekar seakan kontras dengan perasaannya yang kelabu.

"Yee! Malah ngelamun. Udah sampai, Kak."

Mobil yang dikendarai Ava berhenti di sebuah bangunan di pinggir jalan raya. Bangunan yang bagian depannya didominasi oleh dinding kaca, dan pintu lebar yang juga berbahan dasar kaca tembus pandang. Kadang-kadang Hanna merasa seperti bekerja di dalam akuarium saja.

Ava memarkirkan mobil di sebuah halaman yang berlantai semen. Halaman yang bisa muat hingga sekitar lima mobil. Tanpa pagar di bagian depan, hanya diapit dinding bangunan bercat putih dan dihiasi dengan tanaman merambat. Tampak minimalis dan menyejukkan, sangat mencerminkan sepasang pemiliknya. Dengan teras yang juga sederhana, hanya berlantai keramik putih.

Matahari masih bersinar hangat saat Ava membantu Hanna turun dari mobil, dan duduk di atas kursi roda, di teras kantor yang bertuliskan, "Percetakan Undangan Spesial: Kuma-Kuma".

"Kak Hanna, aku ke kampus dulu ya? Nanti sore aku jemput."

"Oke. Makasih, Ava."

Ava kemudian masuk lagi ke mobil, dan melajukannya menuju kampus.

"Hanna, besok kita bakalan kedatangan anggota baru." kata Kukuh, tidak lama setelah anak buahnya sampai di meja kerja. Sudah merapikan meja, dan bersiap untuk menghidupkan komputer.

"Oh iyakah?" Hanna pura-pura antusias, sekadar untuk menghargai Bos.

Kukuh terlihat bangga, "Dia itu adalah kamu versi cowok."

"Maksudnya?" Oke, sekarang Hanna sedikit membelakkan mata dan mempertajam pendengaran.

Namun, bukannya menerangkan si bos hanya menjawab sok misterius, "Lihat saja besok."

Hanna pun kembali fokus ke komputernya, dan membatin, memangnya siapa yang peduli?

Lihat selengkapnya