Yuda menjemput Hanna tepat pukul tiga sore. Hari ini Ava mengatakan bahwa dia mendapatkan kelas tambahan, hingga jam tujuh malam. Setelah mengajak Yuda berkenalan dengan Dipta, berbasa-basi dan pamit pada Mas Kukuh, mereka pun pulang.
Sesampainya di rumah, Hanna langsung menuju kamarnya. Dia selalu menghindari waktu berlama-lama di teras, karena akan mengingatkan segala sesuatu tentang kenangan indah bersama Bahari. Sementara Yuda langsung pulang ke rumahnya sendiri. Setelah menikah, Yuda akhirnya memutuskan membeli sebuah rumah yang sederhana, untuk dirinya dan sang istri.
Rencananya pukul delapan malam, Hanna ada janji menginap untuk menemani Ava. Karena Bu Rani dan Pak Suryana akan mengunjungi Ana di Malang.
***
Baru saja Hanna keluar dari rumah dan menutup pintu, langsung berpapasan dengan sesosok lelaki.
"Dipta?"
"Hanna..."
Keduanya saling berpandangan. Lama... Hingga akhirnya Ava datang dari pintu rumahnya.
"Kalian udah saling kenal?"
"Aku ini karyawan baru di kantor Mas Kukuh, Kuma-Kuma. Tempat dia bekerja juga." Dipta akhirnya buka suara. "Sekaligus adalah penghuni baru kamar kos nomor satu dari sebelah rumah Ava." Tanpa diminta dia seakan mencoba menjelaskan pada Hanna, sambil menunjukkan pintu kamarnya dengan dagu.
"Oh iyakah? Berarti kalian satu kantor dan bertetangga?"
"Sejak kapan?" Akhirnya Hanna buka suara, walaupun singkat saja.
"Tadi malam." Dipta pun menyahut singkat.
Lelaki itu terlihat sudah berganti pakaian. Walaupun masih sama-sama mengenakan kaus hitam, tapi tulisan dan gambar di bagian depannya berbeda. Jika tadi kaos bergambar "Komunitas Difabel Muda dan Kreatif Surabaya", kali ini bergambar sesosok tokoh anime.
"Bagus dong! Berarti aku nggak perlu mengenalkan?"
"Buat apaan?" tanya Hanna. Terdengar seperti penolakan.
"Ya, biar kita bertiga bisa kompak dong. Kan mau nonton bareng." Ava menjawab santai. Hanna sedikit menghela napas. Sepertinya sudah salah dugaan. Dikiranya Ava akan usil menjodoh-jodohkan, seperti sang bos.
***
Dari awal bertemu Dipta sudah heran dengan tingkah laku rekan kerjanya ini. Dia tampak cuek, bahkan mengarah ke jutek terhadapnya. Dia tidak bisa melupakan perkenalan di pagi itu.
"Oh iya! Kenalin, ini Hanna." Kalau bukan berkat jasa Kukuh, Dipta yakin seumur hidup mungkin dia tidak akan tahu namanya.
Dengan tampak ogah-ogahan Hanna pun mengayuh kursi roda dengan tangannya untuk mendekat, dan mengulurkan tangan, "Hanna Widyawati."
Padahal suaranya juga tidak semerdu penyanyi, tapi kenapa dijual mahal? Batin Dipta mengejek.
"Pradipta Wijaya." Dipta membalas uluran tangannya, sambil tersenyum canggung. Seumur hidup baru kali ini dia berjumpa gadis yang jutek padanya. Kebanyakan gadis-gadis sesama difabel tampak seakan memujanya, atau paling buruk gadis-gadis non difabel menatapnya dengan pandangan iba.
Dijutekin? Memangnya tampang gue kayak fackboy apa?
"Selamat datang di tim kami. Semoga kerasan." Kukuh berbasa-basi. Mencoba mencairkan suasana.
***
Rencananya selepas shalat magrib ini Dipta ada janji menonton film untuk menemani anak pemilik indekos yang baru dikenalnya. Gadis itu bilang kedua orang tuanya akan mengunjungi kakaknya di Malang. Dia tidak menyangka bertemu rekan kerjanya yang aneh itu lagi.