Setelah mengantarkan Hanna, Ava segera berpamitan. Hanna menyaksikan kepergiannya sambil melamun, teringat mimpinya tadi malam. Akhir-akhir ini bunga tidurnya justru selalu tentang Ari.
Belum sempat berbalik dan menggerakkan kursi roda, seorang wanita berpenampilan stylish menghampirinya, "Akhirnya datang juga penulis sok ini. Dasar! Kerja nggak becus!"
Ini bukan komplain yang pertama dalam minggu ini, tapi baru sekarang cara menyampaikannya sekasar ini. Dari dalam ruangan kantor Kukuh tampak terengah-engah menggerakkan kursi roda, berusaha mendekati keduanya. "Sabar, Bu. Kita bisa bicarakan baik-baik di dalam."
"Maaf, Mbak... ada apa ya?" Hanna bingung. Apalagi kesalahanku kali ini?
Dia mengenalnya, wanita ini adalah klien yang memesan seratus novelet untuk souvenir pernikahannya. Beberapa minggu yang lalu mereka sempat bertemu untuk membahas konsep novelet tersebut. Dia datang bersama calon suaminya, Zulkifli. Mereka menceritakan kisah cinta mereka, dan Hanna menuliskan kisah mereka. Namun, Hanna tidak mengerti apa yang telah membuatnya marah-marah di pagi yang cerah ini.
"Bagaimana bisa Sintya, jadi Sania? Kamu ini ngelantur atau gimana sih?" Sintya menyemburkan amarahnya.
"Maafkan tim saya, mungkin dia salah ketik. Kami pasti akan memperbaiki semuanya." Kukuh berusaha melindungi Hanna.
"Hah? Salah ketik? Salah ketik sampai delapan puluh halaman?" Sintya tetap tidak terima.
"Baik, baik, kami salah. Maafkan kami. Kami akan mengganti semuanya, tanpa perlu uang tambahan." Kukuh mencoba menawarkan solusi. "Bahkan, jika perlu uang DP akan kami kembalikan."
"Nggak perlu! Ambil saja. Kami tidak terlalu mempermasalahkan uang. Saya hanya tidak suka dengan ketidakprofesionalannya." Telunjuk wanita itu mengarah ke dahinya. Hanna sangat takut.
"Sekali lagi saya mohon maaf atas ketidaknyamanan ini." Kukuh menangkupkan kedua tangannya.
"Perjanjian kita batal! Lebih baik saya cari penyedia souvenir yang lain." Sintya berkata tegas, seolah tak ingin dibantah. Sebelum kemudian pergi meninggalkan Hanna dan Kukuh. Keduanya memandang kepergian mobil merah yang dikemudikannya sendiri dengan tatapan kosong.
"Maaf, Mas." Suara Hanna terdengar lirih.
"Nggak pa-pa, Hanna. Yuk, masuk."
Hanna pun mengikuti Kukuh menuju ke ruang kantor.
"Nggak usah dipikirin, Hanna. Mungkin memang bukan rezeki kita." Kukuh berusaha memecah kesunyian, saat keduanya sudah duduk bersebelahan. Menghadap meja masing-masing.
Hanna mulai menghidupkan komputer di mejanya. "Makasih banyak, Mas, atas pengertiannya. Nggak kebayang, kalo bos lain. Mungkin aku udah dibentak-bentak."
"Mungkin kamu terlalu banyak pikiran, Hanna. Makanya akhir-akhir ini jadi nggak fokus kerja."
Hanna terdiam dan melemparkan pandangan ke arah jendela. Seolah-olah bunga dan aneka tanaman hias di sana lebih menarik dari perbincangan dengan bosnya.
"Assalamu'alaikum... Maaf gue telat," sapa Dipta.
"Wa'alaikumsallam... Karena lo telat hari ini. Lo gue hukum," sahut Kukuh. Sedangkan Hanna memilih diam saja, dan mulai sok sibuk dengan komputer kerjanya.
"Hah? Apa, Bro?" Dipta terkejut. Dia pikir selama ini bosnya terlihat sabar dan tidak mungkin menghukum orang. Ya, walaupun dia memang baru kerja dua mingguan di kantor. Hanna pun heran, tidak biasanya Kukuh seperti ini. Bahkan Hanna yang baru saja bersalah besar, justru bebas hukuman. Bagaimana bisa Dipta malah dihukum untuk kesalahan ringan?
"Hukumannya... ajak Hanna jalan-jalan." Kukuh melipat kedua tangan di dada dan mengangkat dagu tinggi.
"Hah?" Serempak Hanna dan Dipta terkejut. Saling berpandangan, untuk pertama kalinya. Biasanya gadis itu selalu menghindari pertemuan mata mereka.
***