Hanari

Meliawardha
Chapter #19

Bayang-bayang Mantan

Pria di hadapan Hanna memang lahir pada tahun yang sama, tapi ternyata sepuluh bulan di bawahnya.

"Kedewasaan seseorang nggak bisa diukur dari usianya, Hanna."

"Harusnya lo manggil gue kakak!"

"Dih, dewasaan gue dari pada lo!" Dipta mulai berani main ejek.

"KTP lo pasti palsu!"

"Hahaha... Karangan fiksi yang menarik juga."

"Kok bisa sih lo sedewasa ini?" Hanna masih ingat, Dipta tampak tenang saat menghadapi beberapa klien yang akhir-akhir sering komplain gara-gara hasil kerjanya.

"Ayah gue udah dipanggil Tuhan waktu gue masih dalam kandungan. Gue punya kakak cowok, tapi nggak bisa diharapkan. Kerjaannya keluyuran. Dia nggak bisa terima kenyataan punya keluarga miskin dan malu punya adek yang sejak kecil nggak pernah bisa jalan sama sekali. Gue satu-satunya teman curhat ibu. Gue terpaksa dewasa demi keadaan."

"Dipta, lo..." Hanna tercekat, tidak bisa berkata apa-apa.

"Saking dewasanya, gue sampai sering merasa nggak nyambung ngobrol sama yang seumuran."

"Gue?"

"Lo kan teman kerja gue. Jadi gue akan berusaha menyambungkan. Tenang aja!"

"Makasih banyak, Dipta. Seenggaknya gue lega bisa curhat sama lo." Hanna mulai bisa tersenyum lebar.

"Justru kita harusnya bersyukur, bisa belajar ilmu yang kita minati atau butuhkan saja. Beda dengan orang-orang yang sekolah formal, harus pandai dalam seluruh mata pelajaran. Misalnya gue nih, tertarik sama ilmu pengetahuan alam dan teknologi, yaudah gue belajar itu doang. Nggak perlu repot-repot belajar sejarah yang hapalannya bikin puyeng."

"Bagiku semua ilmu itu bermanfaat, Dipta... Termasuk ilmu sejarah. Contohnya kita bisa belajar dari sejarah penjajahan Jepang. Dulu waktu indonesia dijajah Belanda, Jepang datang bak pahlawan. Sampai dianggap saudara. Tapi ternyata Jepang punya niat buruk di balik kebaikannya. Dari kasus ini, kita bisa belajar untuk lebih hati-hati. Kadang orang-orang yang terlalu baik, justru punya maksud tertentu di balik sikap manisnya."

"Ah, lo kedengarannya kayak cewek yang keseringan di-PHP."

"Sembarangan! Gue bukan cewek yang mudah dirayu tahu!" sembur Hanna dengan volume suara yang menyebabkan beberapa pasang mata menoleh kepadanya.

"Hahaha... Udah, dih... Santai aja. Nggak usah pake ngegas." Seandainya tidak tertutup jilbab, Dipta ingin sekali mengacak-acak rambut Hanna, gemas. Tiba-tiba dia merasa seperti mendapatkan sesosok adik baru. "Tapi Hanna, manusia nggak ada yang sempurna. Beberapa orang memiliki batas kemampuan. Beberapa lainnya memiliki keahlian yang berbeda-beda. Nggak bisa semua orang kita paksa untuk pandai dalam seluruh mata pelajaran. Jadi kan lebih baik fokus pada kemampuan dan minat, dari pada membuang-buang energi dan membaginya dengan seabrek mata pelajaran yang entah kapan akan dibutuhkan."

Hanna membuka mulut, masih ingin membantah. Namun ponsel di saku celana Dipta mendadak berdering nyaring.

Ternyata telepon dari bos. Dipta mengaktifkan loadspeaker, "Kalian pacarannya jangan lama-lama. Makan siang sudah disiapkan nih sama Marsya."

"Dih, kita nggak pacaran!" teriak keduanya, kompak.

***

Di taksi Hanna tidak tahan untuk berlama-lama dalam kesunyian, apalagi mereka sebangku, walaupun lumayan berjauhan jaraknya. Dia juga jenuh memandangi kepadatan lalu lintas melalui jendela. Jadi dia menoleh ke arah lelaki berkaus biru dongker di sampingnya.

"Kalau lo pergi ke sini, ibu lo di desa gimana?"

"Kan kita masih bisa komunikasi lewat telepon. Lagi pula gue kerja juga demi ibu. Rencananya gue mau nabung untuk beli lahan dan bisa menggaji orang buat ngurusin. Biar ibu nggak usah capek-capek jualan di pasar lagi." Dalam hati Hanna memohon agar cita-cita mulia yang dituturkan Dipta, kelak menjelma nyata.

"Kok lo dibolehkan tinggal di Surabaya sendirian? Ibu lo nggak khawatir?" Hanna tak bisa membayangkan jika dia nekat merantau, di tempat yang asing, ibu pasti tidak akan memberikan izin. Dia teringat waktu liburan ke rumah orang tua Lintang selama sebulan, nyaris setiap hari ibu menelepon, menanyakan kabarnya.

"Awalnya, ibu emang nggak setuju, tapi gue berusaha meyakinkan. Gue bacain semua artikel tentang difabel yang bisa mandiri dan sukses. Setiap hari gue lakuin, tanpa pernah mikir bakal berhasil atau enggak. Kalo gue berhasil, berarti kerjaan ini emang rezeki. Kalo gagal, ya, berarti bukan takdirnya."

Lihat selengkapnya