Hanari

Meliawardha
Chapter #20

Cukup Tante Ririn

Hanna memandang ke luar jendela, yang kebetulan berada di depan mejanya. Jendela itu sangat lebar, hingga cukup membuat ruangan ini terang benderang, tanpa perlu menghidupkan lampu. Langit senja tampak merekah jingga. Sejenak suasana menjadi sunyi.

"Ngelamun mulu... Lo masih mimpiin mantan malam tadi? " tanya Dipta, sambil membereskan berkas-berkas, bersiap-siap untuk pulang.

Hanna cuma menghela napas berat. Lantas keduanya sama-sama terdiam.

"Ajarin gue dong, biar bisa pede kayak lo. Rasanya gue selalu minder dan merasa bego banget setiap inget sama kejadian dulu itu. Gue jadi sering menyalahkan keputusan Bapak yang nggak menyekolahkan gue."

"Hanna, menurut gue semua itu karena pikiran lo yang kurang tepat menyikapi sarannya Mas Jarot. Jadinya apa pun yang terjadi dalam hubungan kalian, atau semua yang lo alami, lo mengaitkannya dengan ucapan Mas Jarot itu."

"Terus gue harus gimana?"

"Hanna, dengerin gue! Walaupun kita nggak berpendidikan formal, bukan berarti kita harus pasrah. Justru itu kita harus bisa tunjukkan kalau kita bisa pinter, dan nggak kalah dengan mereka yang berpendidikan formal. Supaya kita punya nilai plus sebagai orang yang bisa pinter tanpa pendidikan formal." Dipta menggebu-gebu.

"Hmm... Gitu, ya... " Hanna mengangguk-angguk.

"Kita harus membuka mata semua orang. Bahwa difabel bukan berarti nggak bisa ngapa-ngapain dan boleh diremehkan! Dan orang yang nggak berpendidikan formal, bukan berarti nggak tahu apa-apa!"

Hanna mulai optimis mendengar yang Dipta katakan. Dalam hati dia sangat bersyukur mendapatkan seorang rekan kerja yang sangat menginspirasi dan membuatnya kembali percaya diri.

"Eh, kok gue jadi kepo deh!"

"Apaan?"

"Nama lo beneran Hanna? Sok Jejepangan deh."

"Heh, dasar Wibu. Hanna yang dimaksud Almarhum Ayahku itu berasal dari Bahasa Arab. Artinya, bunga yang paling dicintai," bela Hanna atas namanya sendiri, dengan nada bangga. Wibu adalah julukan untuk seseorang yang tergila-gila pada segala sesuatu mengenai Jepang.

"Hahaha... Iya deh, iya." Dipta sengaja bikin ulah, karena tak ingin melihat rekan kerjanya murung terus. "Gue rela dimarahin deh. Asalkan lo nggak murung terus."

"Nggak usah sok manis deh lo! Ntar pacar lo cemburu."

"Dih, siapa juga pacar gue coba?"

"Ava."

"Gue nggak pacaran kok sama Ava."

"Padahal kelihatannya lo suka?"

"Jujur Hanna, gue emang sayang sama Ava. Tapi gue sadar belum bisa bahagiain dia, jadi lebih baik diam-diam menyayanginya. Kalau gue nyatain, berarti sama aja gue ngasih janji palsu. Mengikat dia tanpa kepastian."

Hanna langsung bungkam. Tidak tahu lagi harus berkata apa. Kebanyakan lelaki yang dewasa dan bertanggungjawab memang selalu merasa punya kewajiban untuk membahagiakan pasangannya. Seperti halnya Kukuh dan Yuda.

Perlahan-lahan rasa bersalah menyusup. Bagaimana jika sebenarnya Ari juga demikian? Mungkinkah tidak berani mengikat karena belum mampu memberikan kepastian? Bukannya memahami dan menyemangati, aku malah meninggalkannya. Ternyata aku sejahat itu, Hanna membatin.

"Yah, nih bocah ngelamun lagi!"

Hanna tidak tahu bahwa sebenarnya Dipta selalu menghiburnya demi Ava. Karena gadis tersebut sering curhat padanya, dia begitu mengkhawatirkan kemurungan Hanna sejak Ari pergi, dan selalu merindukan keceriaan tetangganya itu seperti dulu lagi.

***

Hanna sedang menggerakkan kursi roda menuju ke dapur, berniat mengambil minum. Satu jam menjelajah dunia fiksi berhasil membuatnya kehausan. Hari minggu yang biasa-biasa. Dia hanya menghabiskan waktu dengan membaca novel seharian di dalam kamarnya.

Saat dia baru tiba di ruang tengah, yang kebetulan bersebelahan dengan ruang tamu, gerakannya memutar roda terhenti. Sayup-sayup dia mendengar suara Tante Ririn, dulu tetangga sekaligus teman masa kecil ibunya. Seperti biasa Tante Ririn memutuskan untuk menemui sahabatnya, saat sang suami sedang berdinas di Surabaya.

"Wulan, sampai sekarang aku masih terobsesi sama Mas Jarwo. Setiap aku sakit yang datang dalam mimpiku malah dia. Aku menyesal, kenapa dulu aku ndak berani mengungkapkan perasaanku padanya..."

Om Sudjarwo yang dimaksud adalah tetangga masa kecil mereka juga. Pria berwibawa yang sekarang menjabat sebagai Manager di sebuah perusahaan berskala internasional di Jakarta. Hanna hanya pernah bertemu dengan lelaki itu sekali, saat mudik lebaran dua tahun lalu. Karena kata ibunya, sejak sang bunda wafat, lelaki tersebut lebih sering menghabiskan waktu Idul Fitri di tanah kelahiran istrinya, di Palembang.

Hanna merasa tidak seharusnya menguping, jadi dia berusaha buru-buru menggerakkan kursi roda menuju dapur. Namun, dia tidak mampu mengenyahkan kalimat yang terdengar tanpa sengaja, bahkan walaupun kini sudah di dapur.

Terbayang di benaknya bagaimana sosok Om Rudi, suami Tante Ririn. Bagi Hanna sosok tersebut adalah pria yang gagah, ramah, dan terlihat dermawan. Bagaimana bisa pria sebaik beliau tidak mendapatkan cinta yang seutuhnya dari sang istri? Tiba-tiba timbul rasa iba dalam hati Hanna. Mendadak Hanna terbayang bagaimana jika beberapa tahun yang akan datang hal tersebut terjadi padanya.

Bagaimana bila suatu saat aku harus menikah dengan laki-laki lain sementara aku tidak pernah bisa melupakanmu? Aku tidak mau bernasib sama dengan Tante Ririn. Aku pun tak tega membuat seorang lelaki harus bernasib seperti suami Tante Ririn... Batin Hanna.

***

Setelah minum dan kembali ke kamarnya Hanna memutuskan untuk membuka Facebook, dan justru malah dibuat merasa agak kesal. Karena ternyata bukan hanya rekan kerja dan bos yang merupakan orang-orang di dunia nyata yang menjodoh-jodohkan Dipta dengannya. Bahkan Facebook pun sekarang ikut-ikutan, setiap akunnya dibuka selalu memberikan notif segala aktivitas Dipta di sana.

Wijaya Pradipta menyukai sebuah kiriman di Komunitas Difabel Muda dan Kreatif Surabaya

Wijaya Pradipta mengomentari sebuah kiriman di Forum Edukasi Bersama

Wijaya Pradipta mengomentari sebuah kiriman di Forum Diskusi Facebook

Hanna pun terdorong oleh rasa penasaran untuk membuka salah satu notifikasi tersebut. Ternyata Dipta sedang mengomentari sebuah status yang bernada melecehkan agama lain. Komentarnya sederhana, dan tepat menurut Hanna.

Wijaya Pradipta

Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Saling menghargai ajalah, Sob. Nggak baik debat kayak gini. Kita kan sama-sama anak bangsa Indonesia

Tidak hanya religius, dia juga ternyata menjunjung tinggi toleransi terhadap agama yang berbeda. Jika Dipta sebaik ini, tidak heran jika kata Kukuh banyak perempuan yang jatuh hati padanya.

Lihat selengkapnya