"Hanna banyak berubah sejak kepergian kamu, Nak. Ibu tidak mau dia terluka lebih dalam lagi. Jadi sebelum kamu menemuinya kembali, sudahkah kamu meminta restu orang tuamu?" tanya Bu Wulan, begitu mereka duduk berhadapan di sofa ruang tamu.
"Bapak saya sudah lama berpulang ke Rahmatullah, Bu. Kebetulan di tahun yang sama dengan kepergian bapaknya Hanna. Tinggal ibu saya yang alhamdulillah masih sehat hingga saat ini. Awalnya ibu saya sangat terkejut dan tidak menginginkan ini terjadi. Tapi saya sudah menghabiskan waktu lima tahun terakhir ini untuk memberikan pengertian dan membujuk beliau supaya merestui saya meminang Hanna. Saya sering menunjukkan aktivitas dan prestasi Hanna yang sering dipostingnya ke Facebook."
"Oh iyakah? Kok Ibu malah nggak tahu?"
Ari lantas membukakan akun Facebook Hanna melalui ponselnya, dan mengangsurkan ponsel tersebut pada Bu Wulan. Di akun tersebut Hanna menggunakan gaya layaknya menulis buku diary dalam menceritakan kegiatan-kegiatannya di Kuma-Kuma. Sesekali Hanna juga memposting mengenai cerpen-cerpen anak yang berhasil dimuat media cetak. Di sosial media Hanna terlihat baik-baik saja, hanya orang-orang di sekelilingnya, dan yang paling dekat, yang bisa membaca perubahannya.
"Walaupun kami sudah lama tidak bertemu dan berkomunikasi, saya masih memperhatikan dia lewat media sosialnya."
"Lalu bagaimana hasilnya? Apakah ibumu sudah merestui?"
"Alhamdulillah sudah. Ibu bahkan meminta saya menelepon jika telah bertemu dengan Hanna. Ibu ingin bicara langsung dengannya."
"Tunggu... Ibu kamu benar-benar sudah mengerti bagaimana keadaan Hanna? Jangan sampai Nak Ari hanya menceritakan yang baik-baik saja..."
"Yang saya cermati, dari beberapa kasus teman-teman disabilitas yang cintanya tak direstui, kebanyakan orang tua tidak mengizinkan putranya menikah dengan wanita difabel karena mereka masih berpikir bahwa seorang istri harus meringankan beban suami. Seperti membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sementara para orang tua masih mengira kalau wanita difabel justru akan menyusahkan buah hatinya. Itu sebabnya saya memutuskan untuk bekerja keras, supaya dapat membeli berbagai fasilitas yang memudahkan aktivitas rumah tangga. Sehingga alasan Hanna akan merepotkan saya, bisa terbantahkan. Setidaknya Hanna bisa melakukan apapun yang dia inginkan, tanpa perlu menunggu bantuan saya."
Ari kembali meminta ponselnya, dan kali ini membuka aplikasi galeri foto. Dia menunjukkan sebuah album yang diberi nama "Rumah Impian Hanna". Dari luar tampak seperti rumah sederhana, layaknya sebuah rumah yang umum dimiliki keluarga kelas menengah. Namun, begitu masuk ruang-ruang yang terpotret di dalamnya tampak istimewa. Ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur, toilet, dan kamar tidur di dalamnya sangat sesuai dengan kondisi fisik Hanna. Rak-rak dan meja memiliki tinggi yang sesuai dengan jangkauan pengguna kursi roda. Kompor induksi yang mudah dioperasikan dan minim resiko. Kamar mandi dilengkapi dengan pegangan di berbagai sisi tembok dan lantai yang dibuat bergaris-garis agar tidak licin.
Seketika Bu Wulan tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Bahkan matanya mendadak berkaca-kaca.
***
"Hanna, ada yang mau ketemu kamu." Bu Wulan tiba-tiba memanggil Hanna saat sedang asyik mengetik novel yang sedang direncanakan di kamarnya.
"Siapa?"
"Calon mantu kesayangan Ibu." Bu Wulan tersenyum misterius.
Hanna terbayang kembali saat laptop ibunya mendadak rusak, padahal harus segera mengumpulkan RPP, Prota, dan Promes. Karena besok sekolah tempat Bu Wulan mengajar akan didatangi pengawas. Jika pekerjaannya tidak beres, Pak Kepala Sekolah pasti akan marah-marah. Teringat Dipta pernah membantu memperbaiki komputer di kantor, Hanna lantas meneleponnya.
Awalnya Hanna dan Bu Wulan menemaninya memperbaiki laptop di ruang tamu. Namun, tiba-tiba Hanna ingin ke kamar kecil. Begitu datang lagi. Dipta terlihat sedang mengobrol dengan akrab bersama sang ibu.
Sayup-sayup dia mendengar sisa perbincangan...
"Mana ada sih, Bu, yang mau punya mantu kayak saya gini..."
"Ibu mau kok. Udah ganteng, pinter, bertanggungjawab lagi."
Akhirnya Hanna memutuskan untuk tidak kembali ke ruang tamu, dan mengurung diri hingga pekerjaan Dipta selesai, lantas lelaki itu pulang. Saat Bu Wulan bertanya kenapa dia tidak kembali ke ruang tamu, dan menemani pekerjaan rekan kerjanya, Hanna bilang sedang sakit perut.
"Dipta?"
"Eh, kamu sudah berubah suka sama dia?" Bu Wulan malah menatap Hanna cemas dan sedikit kecewa.
Hanna menggeleng.
Ibunya memandangi dengan heran, "Terus kenapa nebaknya Dipta?" Lantas duduk di sebelahnya, di atas kasur, membelai punggung sang putri, "Walau kamu nggak pernah cerita, ibu tahu kok dari dulu kamu cintanya sama siapa."
"Tapi kemarin malam, aku nggak sengaja dengar Ibu bilang, 'Ibu mau punya mantu kayak Dipta'?"
"Ibu memang pengen punya menantu kayak Dipta. Tapi bukan untuk kamu."
"Terus buat siapa?"
"Ibu kan punya satu anak lagi, walaupun bukan lahir dari rahim ibu."
"Siapa?"
"Ava. Ibu sudah menganggap dia seperti adikmu, Hanna. Tanpa bantuannya kamu pasti kesulitan berangkat kerja ke Kuma-Kuma."
"Jika bukan Dipta, lalu siapa, Bu?"
"Bahari..." Suara Ibu terdengar lembut, dan senyumnya mengembang dengan indah.
Hanna segera meraih sweater hitam dan jilbab langsung pakai berbahan kaus dengan warna senada. Setelah mengenakan semuanya dengan rapi, dia pun keluar dari kamarnya. Sambil menguatkan hatinya, bersiap-siap menerima kenyataan, jika mimpi buruknya menjelma nyata.
***
Lima tahun berlalu tidak memudarkan pesonanya di mataku. Dia masih pria yang sama, pemilik senyum manis yang berhasil mendegupkan jantungku lebih cepat, pemilik suara baritone yang membuatku gugup, dan pemilik tawa renyah yang berhasil menceriakan hidupku.
Begitu keduanya duduk berhadapan, suasana justru mendadak senyap. Hanna terus menunduk. Sementara Ari hanya diam memperhatikan.
Sekian menit kemudian Ari mencoba memulai, "Dek Hanna ingat nggak waktu di halaman kantor Kuma-Kuma, lima tahun yang lalu, Dek Hanna pernah bilang kalau pengen punya rumah sendiri, yang keadaannya dan seluruh pelaratan rumah sesuai dengan kondisi tubuh, sehingga Dek Hanna bisa melakukan berbagai kegiatan sendiri?
"Ingat dong, Aa. " Dalam hati Hanna membatin, semua yang pernah kita lewati berdua, selalu terekam jelas di ruang memori.
"Saya sudah menyiapkan rumah seperti itu, di Jakarta. Dekat dengan kampus tempat mengajar saya." Ari mengangsurkan ponselnya dan menunjukkan album foto yang sebelumnya dia tunjukkan pada Bu Wulan.
"Subhanallah... Bagus banget!"