Cahaya di angkasa masih samar. Namun, tak ada istilah terlalu pagi bagi instansi negara yang sejatinya bekerja dua puluh empat jam penuh tanpa hari libur. Di subuh hari, ketika mata-mata manusia lain masih mencerna kehidupan usai semalam terbuai mimpi, gerbang Polresta Depok sudah gaduh dimasuki sebuah mobil patroli dan beberapa motor besar. Bunyi sirine dan nyala lampu merah-biru mengoyak segala kesunyian. Terlebih, ketika mobil itu berhenti di lahan parkir, lantas pintunya dibuka.
"Cepat!"
Titah pasukan berseragam bertampang garang disasarkan pada lima pemuda kurus kering dengan tangan terborgol. Di mata mereka masih ada belek menggantung. Di sekitar mulut, ada sisa bekas air liur yang belum dilap. Petugas kepolisian dari Sabhara Polresta Depok nyatanya tak cukup baik hati memberi mereka waktu untuk sekadar mencuci muka, usai pagi-pagi sekali merobek keasyikan mereka dalam dunia ilusi sehabis pesta miras dan sabu-sabu sepanjang malam. Walhasil, dengan tampang planga-plongo dan kesadaran yang belum pulih, mereka rela saja digeret masuk melalui pintu kaca ke lobi. Beberapa kamera milik jurnalis mitra polisi turut mengintili mereka.
Sebagian staf yang menginap karena jaga malam di dalam ruangan petugas tepat di sebelah kanan lobi langsung bersiaga. Salah satunya bahkan meletakkan kembali gelas berisi teh celup yang tadinya mau menadah air panas dari dispenser. Pekerjaan menghadang. Menyeduh teh bisa nanti-nanti.
"Kasus apa, Vin?" tanyanya pada salah satu petugas yang meringkus seorang tersangka, begitu kembali ke balik meja kerja. Komputernya sudah menyala, bersiap menyusun laporan berita acara.
"Pesta miras," jawab sosok yang ditanya. Pada seragamnya tersulam nama Gavindra Wijaya. Tanda kepangkatannya menyatakan ia seorang brigadir satu. Ia melirik salah satu rekannya yang kini tengah sibuk menderetkan kelima tersangka di depan dinding.
"Astaga!" Sahutan Rafi, laki-laki berparas belia, terdengar, sebelum ia mengalihkan atensinya lagi pada salah satu tersangka yang malah berjongkok. "Hoi, Bung! Kami suruh kamu berdiri. Berdiri!"
Petugas di balik meja, Tora, mengangguk mafhum. Ditanggalkannya jemari dari keyboard. Belum saatnya jari-jari itu senam pagi. "Bripka Kaspar di mana?"
Tangan Gavindra yang dibalut sarung tangan menjejerkan beberapa barang bukti dari dalam kantung kresek, ke atas sebuah meja yang sigap dibersihkan sang rekan di balik meja.
Ia mengedik ke lobi. "Laporan lisan ke Kombes Yusuf." Ia menyebut nama Wakapolres. Usai memotret barang bukti dengan kamera ponsel, diiringi kamera para jurnalis pula, ia melirik keterangan waktu di sudut atas layar. Sudah pukul enam, pertanda masa jaganya sudah kelar, dan ia bisa istirahat karena lepas dinas. "Raf. Ayo."
"Siap!"
Ia hendak beranjak, membawa gagasan untuk cuci muka, lalu tidur sejenak di musala kantor selepas serah terima waktu jaga. Setelah ini, ia akan bebas selama dua belas jam ke depan. Mungkin ia bisa pulang sebentar, menyantap sarapan buatan ibunya.
Di lobi, Wakapolres mereka yang belum lama menjabat, beserta ketua tim Gavindra dan beberapa anggota timnya tengah berbincang. Gavindra ikut berbaris, disusuli Rafi. Wakapolres mereka, Komisaris Besar Polisi Yusuf Abdullah, melayangkan puja-puji, sebelum kemudian ketua timnya memberi komando bahwa mereka telah selesai melaksanakan tugas. Untuk beberapa jam ke depan, mereka bebas. Malam yang berangkat menjadi masa di mana mereka akan rehat.
Gavindra baru mau memberi hormat lalu hengkang, tetapi ditahan oleh panggilan ketua timnya, Kaspar.
"Vin, Vin."
Gavindra mendesah. Tubuhnya sigap balik kanan. "Siap, Ndan!"
"Mau ke mana kau? Lima kunyuk itu kau kemanakan?" Dialek Batak yang kental dengan suara menggelegar menyapa.
"Siap. Ke kamar mandi, Ndan. Mereka diambil alih Tora dan Hanung."
"Oh, begitu." Sejenak Kaspar melarikan perhatiannya pada beberapa orang asing di sisinya.
Gavindra baru sadar, mereka bukan polisi. Keempat orang itu mengenakan seragam kru televisi. Sebuah logo stasiun televisi terajut di dada. Namun, wajah mereka yang tak lusuh sama sekali menandakan mereka bukan mitra polisi dari jurnalis yang ikutan begadang.
"Sini, sini dulu ...." kata Kaspar begitu matanya kembali menjumpai Gavindra.
Mau tak mau, sang bintara mendekat. Kendati matanya yang merah sudah meronta minta dikatupkan.
"Kau tak ke mana-mana habis ini, 'kan? Pukul sepuluh kau ikut rapat, ya. Ada yang perlu dibicarakan."
Gavindra tidak tahu apa yang harus dibicarakan, dan mengapa dirinya yang bebas wajib jaga malah diajak serta. Namun, berhubung ini perintah, ia harus sigap menerimanya. Apalagi, tatap mata sang Wakapolres kini mengarah pada dirinya. "Siap, Ndan."
"Ya sudah. Kau boleh pergi."
Gavindra menghormat pamit, sebelum membawa dirinya ke belakang. Menyusuri koridor demi koridor, demi menemui air untuk membasahi wajahnya yang kuyu.
***
Gavindra terbangun tiba-tiba. Megap-megap ia mencari udara dan menghela kesadaran. Diliriknya arloji. Pukul setengah sebelas. Sialan. Ia terlambat menghadiri rapat yang harus ia datangi, karena ketiduran tanpa ditakar-takar. Tidak akan ada sanksi, memang, toh ini bukan waktunya ia bersiaga. Namun, mangkir dari perintah bukan hal yang terpuji bagi abdi negara.
Usai mengenakan sepatu, ia mematut kerapian di depan cermin lebar di dekat tempat wudu. Kemudian terburu menyusuri lorong ke ruang rapat.
Dari ekor mata, bisa ditangkapnya ruang pelayanan masyarakat dan lobi mulai dijejali manusia. Geliat pagi Polresta setiap hari kerja. Suara obrolan samar-samar mengudara, berbaur dengan denting pengumuman. Ia belokkan kakinya dan menghadang pintu ruang rapat. Dua petugas Brimob yang merupakan ajudan Wakapolres berjaga di sana.
Gavindra menghela napas, lalu mengembuskannya lagi. Barulah tangannya memutar knop pintu dan membawa dirinya masuk.
Beberapa pasang mata menjurus ke arahnya. Hanya sekilas. Mereka sudah diberi tahu, jika salah satu Briptu datang terlambat, tidak akan dihitung pelanggaran, karena ini bukan masanya untuk bersiaga.
Kaspar langsung memberi isyarat bagi Gavindra untuk duduk di kursi kosong sebelahnya.
Begitu tubuhnya terduduk tegak di kursi putar, barulah ia terfokus pada paparan slide presentasi di layar dan topik yang sementara berputar. Tulisan Patroler menjadi tajuk pembahasan setiap slide. Gavindra menyimak. Berusaha mencerna. Lama ia terdiam, sebelum kemudian ekspresinya berubah kaku. Keningnya berkerut, alisnya bertaut. Gurat-gurat bingung dan ketidaksetujuan terpancar dari sana, tetapi Gavindra tidak menyadari itu. Untungnya, orang lain dalam ruangan itu pun tak ada yang sadar.
Gavindra baru buka suara ketika akhirnya presentasi berganti jadi dialog interaktif lantaran sesi tanya-jawab diperkenankan. Ia mengangkat tangan segera, usai Wakapolres manggut-manggut setuju akan jawaban dari pertanyaan terkait sistematika pelaksanaan. Kini, sang Wakil Kepala Kepolisian Resort Kota yang baru menjabat dua bulan, menumpahkan atensi penuh pada bawahan dari Sabhara, yang hendak mengajukan pertanyaan.
"Silakan."
"Maaf sebelumnya. Karena saya melewatkan sekitar tiga puluh menit, saya berusaha keras untuk memburu ketertinggalan," kata Gavindra. "Ini ..., kegiatan Patroli kita mau diliput televisi?"
"Benar." Senyum pemberi materi yang adalah pihak dari NNTV, tertarik semakin lebar.
Berkebalikan dari itu, ekspresi Gavindra justru tambah mengerut. "Saya kira, kita tidak perlu eksposur dalam kerja melayani masyarakat. Ternyata perlu, ya?"
Krik.
Krik.
Krik.
Pihak NNTV saling lirik dengan kikuk. Beberapa personil kepolisian memandang Gavindra dengan beragam ekspresi. Kaspar melarikan matanya dengan cepat, pada Gavindra serta atasannya, sang Wakapolres berpangkat Kombes yang kini mengerutkan kening. Petinggi kantor itu baru dua bulan ditugaskan di sini, sehingga mereka belum bisa menebak dan mengenal kepribadiannya dengan baik.
Sekonyong-konyong, keheningan itu terpecah oleh derai tawa sang Komisaris Besar.
"HAHAHAHA!"
Beberapa tawa samar yang tak jelas apakah itu tawa atau cuma gumaman lega, mengekor di belakang dari mulut lain. Separuh ikut terbahak karena tawa itu dimulai dari Wakil Kepolisian Resort, separuhnya lagi lega karena pertanyaan seorang bintara yang masa kerjanya belum ada satu dekade, rupanya tidak menyinggung otoritas paling tinggi di kantor itu selama Kapolres mereka dirawat di rumah sakit sejak lima hari yang lalu.
"Lucu sekali bawahanmu, Kaspar," Kombes Yusuf berkata usai derai tawanya reda. "Di masa tugas saya yang masih baru ini, saya akhirnya bertemu tipe yang lucu."
Kaspar dan Gavindra sama-sama bingung. Masing-masing tidak tahu, apa yang dimaksud atasan mereka dengan 'lucu'. Dan dalam artian positif, atau negatif.
Sementara itu, Kombes Yusuf dengan santai membuka botol minumnya dan menenggak isinya. Tidak berniat memperjelas satu kata yang membuat jantung seisi ruang rapat berdegup sekencang lesatan peluru yang keluar dari magasin.
Ketika akhirnya ia bersuara lagi, ia malah bertanya, "Tidak ada yang berminat menjawab kah, ini? Pihak NNTV? Bripka Kaspar?"
Bagi lelaki bongsor bernama Kaspar, itu adalah sebuah perintah. Maka ia mengangguk, melirihkan "Siap" yang samar, dan lekas menepuk pundak anak buahnya.
"Gavindra, kau tahu itu ada Youtuber nge-prank orang sana-sini? Kalau mereka yang melakukan kejahatan dan perlakuan tidak baik seperti itu bisa begitu bangga mengekspos dirinya, mengapa orang yang melakukan kebaikan tak boleh?" tuturnya dengan dialek Batak yang kental.
Di kursinya, Kombes Yusuf mengangguk samar. "Betul itu kata komandanmu. Sadar tidak, keengganan manusia untuk mempublikasikan kebaikan dengan alasan tidak perlu eksposur, keikhlasan, menghindari pencitraan, justru menjadikan tindak kebaikan sebagai sesuatu yang kolot, tabu, dan jarang ada. Sementara kejahatan? Malah bebas berputar di sekeliling kita."