"Lho, Mbak Nara sakit?"
Pertanyaan Malik ketika Shaynara menyodorkan dua bungkus nasi dalam kemasan mika, membuat gadis itu sontak meraba wajah.
"Hah? Nggak, kok, Mas Malik. Aku sehat-sehat aja."
"Oh, apa jangan-jangan karena nggak make up-an, ya? Mbak Nara datangnya kepagian, pula. Mana tumbenan pakai kacamata."
Shaynara tertawa. Dirinya memang memutuskan untuk memulaskan riasan di kantor saja, lantaran membawa banyak pesanan. Dia tahu, Malik, salah satu security kantornya, tentu berjaga sejak semalam dan butuh sarapan.
"Iya, nih. Lagi rajin. Sebelah lensa kontakku jatuh, nggak tahu di mana. Jadi, terpaksa pakai kacamata lagi," jelasnya. "Bayarnya satu aja, Mas Malik. Yang satunya buat sarapan Mas Malik saja."
Senyum lelaki tiga puluh empat tahun merekah. "Alhamdulillah .... Makasih, Mbak Nara. Semoga nasinya laku dan rejekinya lancar-car-car."
"Aamiin," timpal Shaynara. "Saya masuk dulu, ya," pamitnya.
"Iya, Mbak," Malik membalas dengan perhatian separuh. Perutnya sudah kadung meronta minta dijejalkan sarapan. Aroma nasi kuning yang dikenalnya nikmat, sudah menyapu sensor di hidung.
Masih jam setengah tujuh. Waktu yang terlalu dini bagi sebuah bank untuk mulai beroperasi. Usai menerima konfirmasi penerimaan dari mesin presensi, Shaynara memikul kantung plastik merah berisi beberapa belas bungkus nasi, yang kemudian ia letakkan di atas lantai, di depan loker. Lantas ia tanggalkan jaket serta tas. Mengeluarkan pouch make up-nya dari sana. Kemudian menyematkan kacamatanya ke atas kepala.
Di samping pekerjaan utamanya sebagai teller bank, Shaynara juga kadang membuat nasi untuk dijual. Hanya terkadang, sebab lebih sering terjadi, ia terlalu lelah sampai cuma mampu bergelung dengan guling dan selimut selama mungkin. Untuk membuat nasi, ia perlu bangun pagi buta sebelum azan subuh berkumandang.
Ini kebiasaannya sejak zaman kuliah. Berhubung dahulu, ibunya membuka toko kelontong, Shaynara menitipkan nasi kuningnya di sana. Keuntungannya lumayan, bisa ia gunakan untuk membeli buku dan membantu menambal utang keluarga.
Ah, ibunya. Shaynara memandangi refleksi dirinya di cermin. Pelan-pelan, tangannya mengoleskan pelembab. Namun, ingatannya sementara melanglang buana, membantunya mengenang ibunya. Wanita terkuat yang pernah ia kenal. Orang tua paling baik, sekaligus paling jahat.
Bunyi ponselnya tahu-tahu mengoyak sunyi. Shaynara mengerutkan kening, merasa asing akan telepon yang datang terlalu pagi. Ia menggeser dirinya merepet ke meja, menghela ponsel yang tergeletak di sana. Begitu menemukan identitas sang penelepon yang tidak ia sangka, tanpa sadar Shaynara mendengus. Uwak Nafisah. Istri Uwak Rusli, kakak dari ayahnya.
Mendadak, hatinya diserbu perasaan tak nyaman. Ingin sekali ia biarkan ponsel itu menjerit-jerit tanpa sambutan, tetapi rasanya tak tega. Kalau sampai Uwak Nafisah menelepon, berarti masalahnya cukup krusial. Ditelepon sepagi ini, entah separah apa kasus yang terjadi di rumah peninggalan orang tuanya. Tantenya pasti tahu, pada waktu seperti ini, ia tengah sibuk bersiap kerja.
Maka, tangan itu menggeser tombol hijau di layar. "Assalamu'alaikum, Uwak?"
Suara serak nan lesu dari seberang menyahut usai sedikit bunyi kasak-kusuk, "Wa'alaikumussalam, Ayna. Kumaha? Damang?1"
Shaynara menoleh ke sekeliling. Belum ada siapa pun lagi yang datang. Dengan cepat, gadis dua puluh tiga tahun itu merogoh earphone dari tas, memasangnya pada ponsel dan kuping, sementara ponselnya sendiri ia jejalkan ke dalam saku.
"Halo, Ayna?" tanya tantenya mengudara lagi. Sedikit menuntut.
"Iya, Uwak. Maaf, aku lagi dandan. Sedikit repot di sini sambil nyahut telepon." Tak mau ia repot mengganti kosakatanya jadi lebih sopan. Ia memang sengaja ingin memberi tahu pada orang di seberang, kalau telepon yang tiba di pagi hari itu mengganggu. "Alhamdulillah, Ayna baik, Uwak. Uwak, bagaimana?"
"Uwak juga alhamdulillah, baik." Oh, ternyata tantenya tidak menyambut pancingannya. Entah betulan tidak peka, atau pura-pura. "Uwak Rusli, yang tidak baik."
Gerak tangannya dalam menyapukan perona ke tulang pipi, kini berhenti di udara. "Uwak Rusli kenapa, Wak?"
Isak kecil terdengar dari seberang. "Uwak-mu teh sakit, Ayna. Ka-kanker hati. Uwak Nafi sudah tidak tahu lagi harus bagaimana ...."
Oh.
Shaynara berusaha meraba hatinya. Apakah ada duka di dalam sana? Beberapa detik ia bungkam mencerna sambil mendengarkan tangis tantenya. Namun, tak bisa ia temukan belasungkawa. Yang ada hanya rasa iba.
"... Ayna, sebetulnya Uwak malu, tetapi Uwak sudah tidak punya pilihan lain kecuali menghubungi kamu. Kamu tahu sendiri, bagaimana A'a dan Nindya ..." Cerocosan Nafisah masih berlanjut. Tetapi Shaynara putuskan untuk lanjut memoles riasannya. Toh, ia sudah tahu obrolan ini bakal bermuara ke mana.
Tentu saja minta bantuan. Minta pertolongan. Karena kedua putra-putri paman dan bibi Shaynara tidak bisa diandalkan. Setelah usaha Uwak Rusli bangkrut karena ditipu temannya, laki-laki itu meminta pada ayah Shaynara untuk dipinjamkan sertifikat tanah, agar bisa memulai bisnis baru sekaligus membiayai kedua anaknya berkuliah. Mulanya Shaynara dan ibunya tidak setuju. Namun, rupanya kasih sayang yang terjalin di antara dua saudara cukup kuat untuk mengempaskan logika. Sertifikat tanah lalu digadaikan. Ayah Shaynara yang perokok berat meninggal karena penyakit jantung, tak lama setelah itu. Ujungnya, Shaynara yang kala itu masih berkuliah, beserta ibunya, berjualan kue dan nasi ke sana-sini untung menambal utang itu.
Sayangnya, usaha pamannya pun gagal total di tengah jalan. Pertama, mereka lebih banyak mengonsumsi ketimbang berpikir untuk membalikkan modal. Lalu, kedua anaknya, yang diharapkan sebagai investasi justru mematahkan harapan. Anak pertamanya, Nindya, hamil di luar nikah dan berakhir menikahi pacarnya yang tidak punya masa depan. Lalu Nandaru, putra bungsu yang mereka panggil A'a, di-drop out dari universitas karena keseringan bolos.
Bisa ditebak, 'kan, bagaimana endingnya setelah itu? Shaynara dan ibunyalah yang mesti banting tulang demi mempertahankan rumah mereka. Kini, usai ibunya ikut berpulang, Shaynara-lah menanggung semuanya. Ia hidup dalam lilitan utang, untuk uang yang tidak ia nikmati, dan rumah yang tidak ia huni lagi. Bisa saja Shaynara membiarkan utangnya tak tertanggung. Namun, rumah itu rumah kenangan. Tempat di mana pernah ada suara tawa ayahnya menggelegar, suara ibunya berkumandang, dan langkah kakinya menyapu kesunyian. Segala perjuangan ibunya untuk mempertahankan rumah itu akan sia-sia kalau Shaynara melepaskannya.
Cermin di depan matanya mengabur. Sepintas Shaynara pikir, lensa kacamatanya berembun karena napas. Ketika tersadar kacamatanya telah ia lengserkan ke atas kepala, Shaynara baru paham. Yang berkabut adalah matanya sendiri.
Beberapa rekan kerjanya sudah tiba dan menghasilkan suara agak berisik di koridor. Shaynara mengerjap-ngerjapkan mata. Bergegas merogoh eyeliner untuk dipoleskan sebagai alibi.
"Uwak Nafi," Ia menyela racauan tantenya yang kini tengah berkutat pada penyesalan dan kata maaf yang tak Shaynara butuhkan. Semua itu tidak akan bisa mengembalikan apa-apa yang terenggut dari tangannya. "Maaf, sudah dulu ya, Uwak. Ayna sudah harus kerja. Nanti Ayna kirim bantuan semampu Ayna, ya. Maaf juga karena Ayna belum bisa membesuk. Semoga Uwak Rusli bisa pulih."
Ia akhiri panggilan itu, tepat ketika tantenya melafalkan kata terima kasih yang tidak menjumpai akhir karena kadung disambar nada putus yang monoton. Shaynara tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Semakin lama tersambung dengan tantenya, kekesalannya justru kian berlipat-lipat.
Shaynara menurunkan kacamatanya lagi, lalu menghela napasnya. Mengembuskannya. Menghelanya lagi. Sebelum kemudian berbalik, dan menemukan Lilian berdiri menatapnya penuh rasa ingin tahu. Perempuan dua puluh enam tahun itu rupanya sudah tiba.
"Eh. Apa, Mbak?" tanya Shaynara, sebelum teringat pada pesanan sang rekan. "Oh, aku bawa bakwan pesanan Mbak Lian. Sebentar---"
"Kamu tadi teleponan? Pantas kupanggil nggak dengar."
Seharusnya, yang dilakukan Shaynara adalah terkekeh selagi memandangi Lilian yang sekarang menginvasi cermin. Namun, mood-nya yang buruk justru membuatnya luput menjawab. "Ini bakwannya." Ia letakkan satu kemasan mika ke atas meja. Kemudian pamit ke depan lebih dulu demi doa bersama dan laporan transaksi hari kemarin yang akan dimulai sebentar lagi.
Di balik punggungnya, ia tidak tahu Lilian mengamatinya dari bayangan di dalam cermin.
***
Lantaran harinya dimulai dari kurva mood-nya yang anjlok dan pikiran yang keruh, Shaynara berakhir dalam kondisi menyedihkan. Harinya berlangsung buruk, dari awal, hingga akhir. Satu-satunya hal baik yang bisa dicapainya hanyalah nasinya yang laku terjual. Selebihnya, ampas.
Berkat konsentrasinya yang buyar, Shaynara bekerja dengan fokus terbagi. Padahal, pekerjaannya sebagai penghitung uang justru membutuhkan ketelitian yang mumpuni. Maka, di sinilah ia, pukul setengah tujuh petang, di kala azan magrib telah lama berkumandang dan beberapa lampu gedung sudah dipadamkan. Di depan layar komputer teller, kalkulator, tumpukan uang tunai, tumpukan slip pembayaran dan penarikan, serta amukan kepala unit operasional. Di akhir hari ketika mencocokkan jumlah kas, saldo kas teller dalam sistem tidak setara dengan total uang fisik dalam laci.
"Kamu bukan cuma sehari jadi teller, Shaynara." Rupanya, laki-laki berkepala botak sebagian memang kelewat murka. Tidak ada lagi embel-embel 'Mbak' di depan nama yang biasa ia sebutkan sebagai penghormatan sekalipun dirinya lebih tua. Seharusnya, kini ia sudah pulang dan menyesap kopi buatan istri tercinta. Bukannya menumpahkan emosi selagi turut menunggu kejelasan akan kesalahan pencatatan ada di bagian mana. Selisih kurang lima juta lima ratus enam puluh dua ribu terlalu banyak untuk diabaikan.
Lilian yang membantu di sisi Shaynara, merasa iba. Sebagai sesama kasir, ia paham bagaimana perasaan Shaynara. Ia sampai mengirim pesan pada suaminya untuk menunggu di rumah sakit lebih lama. Tak bisa ia tinggalkan Shaynara sendirian dengan atasannya yang murka.
Sedangkan Shaynara sudah benar-benar pusing. Kalut. Cemas. Otaknya mendidih. Tidak bisa dipakai berpikir, di saat ia justru harus memutar otak mencari sumber salah. Rasanya ingin sekali ia menyobek seluruh tumpukan slip di depan mata dan membanting peti kas. Untungnya, ia masih punya sisa kewarasan.
Dari rekaman CCTV, tidak ada apa pun yang mencurigakan. Segalanya berlangsung wajar. Berarti, ini benar salah Shaynara. Kesalahan input. Jurnal pencatatan yang seharusnya bisa ia cerna dengan mudah, justru menjadi deret huruf dan angka asing di matanya.