Handcuffed Heart

Celestilla
Chapter #3

Tiga: Insiden Pagi Buta

Saat ini, kepala Shaynara hanya menayangkan satu adegan: ia pulang ke kosnya, kemudian tidur. Usai menangis sambil meringkuk di atas jembatan seperti orang tidak waras, tubuhnya menampakkan tanda-tanda kemuakannya pada aktivitas. Rasa kantuk yang semula bersembunyi ketika dicari justru kini menunjukkan diri. Seolah sedang mengajaknya main ciluk-ba. 

Shaynara tidak tahu sudah jam berapa sekarang ini. Yang pasti, ini sudah lewat jauh dari tengah malam, karena pukul dua belas sudah lewat sejak ia berangkat dari indekosnya tadi. Malah bisa jadi ini sudah fajar, meski azan subuh belum terdengar. Namun, mau sudah subuh atau belum, dirinya tetap terancam tidak bisa memasak nasi untuk dijual. Kalau ia nekat memasak, konsekuensinya malam ini ia tidak tidur sama sekali. Problematika itu membawanya menyongsong masalah lanjutan; melalui hari esok sebagaimana hari ini. Oh, ralat. Maksudnya, hari ini akan ia jemput seperti kemarin. Lagi-lagi ia lupa kalau hari telah berganti.

Intinya, dengan risiko kebusukan dalam pekerjaannya berulang akibat efek domino dari ketidakfokusannya, Shaynara lebih memprioritaskan kewarasan. Ia harus tidur. Itulah mengapa ia melajukan motor matic-nya dengan kecepatan cukup tinggi. Toh, jalanan sepi. 

Sebagai gadis lawful, tentu ada sedikit rasa bersalah karena ia menembus batas kecepatan berkendara yang sewajarnya. Namun, mau bagaimana lagi? Ia butuh tidur. Sekali lagi, toh, jalanan sepi.

Tak ada yang ia pedulikan saat ini kecuali bisa tiba di kamarnya dengan selamat dan dalam tempo singkat. Apa itu pepatah, 'biar lambat asal selamat?'. Kalau bisa kedua-duanya, kenapa tidak? Lagi-lagi, toh, jalanan sepi. 

Sayang, rupanya jalanan tidak sesepi yang Shaynara duga. Ketika fokusnya kembali bisa ia bagi, ia tersadar ada seseorang yang membuntuti di belakang, dengan kecepatan yang tidak kalah gesitnya, dan klakson yang dibunyikan dengan barbar. Laki-laki. Shaynara cuma bisa menerka sebatas itu dari kaca spion, suara derum motor, dan seruan yang memintanya berhenti lalu menepi. Matanya yang luput dari sokongan kacamata, yang perih sehabis menangis, dan yang makin perih pula habis tersambar angin malam, tak bisa menangkap dengan jelas siapa laki-laki itu. Kewaspadaannya berbisik kalau itu mungkin saja orang jahat. 

Maka, gadis bertubuh mungil itu memutuskan tidak menurunkan kecepatan. Opsi terbaik adalah kabur sejauh-jauhnya dari kemungkinan dirampok, diperkosa, atau dibunuh di tengah kegelapan.

Rupanya, kebebalannya justru membuat si pemburu makin buas. Shaynara tambah kalut. Secepat-cepatnya laju motor matic, akan ada risiko terkejar. Jika ia memaksa sampai mentok maksimal, bisa-bisa terlempar karena bobot kendaraan yang ringan. Segini saja, tangannya sudah pegal menahan handle gas. Sementara moncong motor di belakang sana mulai mendekat. Dan, tiba-tiba saja, bunyi klakson disusul oleh deru sirine yang menyambar dari belakang.

Shaynara yang kaget akan bunyi itu ditambah kemunculan roda depan motor pemburu yang akhirnya berhasil menyusul dan menyelipnya, menarik kedua handle rem serta-merta. Fokus yang terbelah membuatnya kehilangan keseimbangan. Motor itu oleng. Ia pun jatuh, tertindih motor kesayangannya. 

Melihat buruannya ambruk, Gavindra memaki, "Sial!" Ia berhentikan motornya di tepi jalan, lantas menghampiri pelaku (nyaris) penyerempetan atasannya sekaligus pelaku pelanggaran kecepatan mengemudi, yang kini kesulitan menarik diri dari tindihan motornya. Tangannya membantu memberdirikan motor matic itu, membebaskan pemiliknya yang tampak terkesiap melihatnya.

Dari belakang, tim Raimas yang lain telah menyusul. Suara sirine mereka kian kencang, hingga akhirnya dipadamkan begitu mereka tiba. 

Shaynara memang terkesiap. Benaknya tak henti mengumpat dan mencela, baik pada diri sendiri, maupun para polisi ini. Ia bahkan tidak menyangka bahwa yang memburunya tadi adalah anggota polisi dengan motor yang tengah patroli. Kalau saja suara sirine tadi datang lebih dini, Shaynara mungkin akan berpikir untuk berhenti, lalu menyerahkan diri. Berurusan dengan para polisi tidak akan pernah menyenangkan hati.

"Bisa bangun sendiri?" tanya Gavindra, melihat buruannya belum juga berkutik. Ia baru hendak mengulurkan tangan ketika Shaynara buru-buru berdiri. Tangan Gavindra ditarik kembali. Matanya mengerjap bingung campur heran. Sosok yang ia buru rupanya punya postur tubuh yang relatif kecil. Pautan tinggi mereka mungkin ada tiga puluh sentimeter.

Kaki Shaynara sakit. Bagian lutut celananya koyak karena tergesek aspal, menampakkan permukaan kulit yang berdarah. Tak ada yang menyadari hal itu di tengah remang cahaya. Tidak juga Shaynara sendiri. Yang ia tahu, kakinya sakit, tetapi ia berusaha menutupi rasa sakitnya dengan berdiri senormal mungkin.

Gavindra mundur selangkah. Membuka helmetnya, tepat ketika Kaspar menghampiri mereka. Membawa segudang amarah dan mungkin ratusan 'bodat'.

"Buka helm-nya," titah Gavindra, agak galak.

Shaynara tersadar akan pelindung kepala yang masih menyelubungi wajahnya. Begitu ia menanggalkannya, Gavindra menghela napas, kaget. Pembalap nekat di tengah malam buta yang diburunya karena nyaris menyerempet motor atasannya, ternyata seorang perempuan. Dan jangan lupa, mungil, pula.

Personil Raimas dan kamerawan yang turut datang pun tak kuasa menahan kesiap. Ratusan ekor 'bodat' yang Kaspar bawa, akhirnya tertelan bersama tenggakan ludah. Bukan karena menspesialkan gender tertentu, melainkan terlalu kaget untuk berkata-kata.

Sejenak tak ada yang berani bersuara. 

"Ini yang kau buru tadi?" Usai mengendalikan keterkejutannya akan wujud buruan yang di luar ekspektasi, Kaspar bertanya pada Gavindra. Pertanyaan yang telinga Gavindra justru terdengar sebagai, 'Kau tak salah memburu orang kah?"

"Iya, Ndan." Gavindra mengangguk pasti. Tak ia palingkan sedikit pun atensi ketika mengejar tadi. Ia tidak mungkin salah mengejar orang. 

Kaspar mengerjapkan matanya. Meneliti Shaynara sampai ujung kaki, sebelum akhirnya berceletuk, "Alamak. Lututmu luka, itu. Celanamu sobek. Jatuh kau tadi? Ngebut, sih." 

Baru di detik itulah, Shaynara menyadari adanya anomali di kakinya. Dalam hati ia mengerang, malu campur kesal. Besok, ia akan melenggang masuk kerja dengan tubuh lecet-lecet dan kantung mata tebal. 

Gavindra berdiri bungkam, sebelum kemudian memilih untuk mengecek motor Shaynara yang ambruk tadi. Siapa tahu, ada yang lecet. Sekaligus memeriksa kelayakan kendaraan.

"Nona, kau tahu apa kesalahanmu?" tanya Kaspar. Kegalakannya kini sudah pulih.

Shaynara menenggak ludahnya. "Tahu, Pak." Bola matanya bergerak liar. Kehadiran kamera di antara mereka membuatnya tambah malu, yang kini dibumbui pula dengan rasa muak. Para polisi ini sedang pencitraan, atau apa? Dan, kok, bisa-bisanya ia ketiban sial terlibat dalam skenario pencitraan mereka? Semesta memang suka sekali bercanda.

"Apa?" 

"Menjalankan motor dengan kecepatan tinggi," sahut Shaynara.

Lihat selengkapnya