Handcuffed Heart

Celestilla
Chapter #4

Empat: Baik-baik Saja

"Astaga. You look so terrible, Nara."

Shaynara hanya bisa memasang tampang sedatar yang ia bisa, ketika wajahnya tahu-tahu disentuh Lilian. Wanita yang lebih tua mengamati seluruh lekuk wajah Shaynara dengan raut khawatir. Shaynara risi sendiri. Tidak biasa diperhatikan sedemikian intens. Make up yang hari ini sengaja dipolesnya sebelum berangkat, ternyata tidak cukup tebal untuk menyembunyikan kekacauannya. Ia tahu bagaimana hancurnya dirinya sekarang. Matanya yang bengkak punya kantung mata hitam lagi. Sudah persis panda betulan.

"Ini, lagi." Lilian memundurkan diri sekian inci, kali ini menunjuk lutut Shaynara yang terbalut plester. Atensi wanita itu kembali menghadap wajahnya, dan dari sana, Shaynara bisa menangkap betapa Lilian mencemaskannya. "Are you okay, Dear? Semalam kamu tidur berapa jam? Kok kakimu lecet begitu?"

Shaynara Kiranatazi Anggraini mendesah, memberi senyum menenangkan. "Aku baik-baik aja, Mbak Lian." Tak ia jawab pertanyaan kedua. Ia sendiri tidak tahu semalam tidur berapa lama usai menangis lagi. "Aku jatuh motor semalam." 

"Ya Allah," Lilian spontan menyebut. "Tahu begini, semalam kamu pulang bareng aku sama Mas Agung aja. Biar motormu dititip dulu di sini." 

Shaynara memutuskan untuk tidak menjelaskan kalimatnya lebih detail. Dibiarkannya Lilian keliru memahami kalau insiden jatuh motor Shaynara terjadi dalam perjalanan pulang kantor. Kalau ia jelaskan, ia akan berakhir menceritakan seluruh kronologi memilukan yang menggempur nasibnya. 

"Nggak apa, Mbak." 

Lilian hendak berkata-kata lagi, tetapi mulutnya terpaksa mengatup ketika Pak Hasan, kepala unit-nya menyembul dari pintu. 

"Selamat pagi," sapa Hasan sebelum tersadar siapa yang ia tegur. Ia melirik kedua wanita itu dengan kikuk, tampak ingin bicara lagi. Namun, pria itu berakhir membisu. Hanya duduk di kursi dan menyalakan komputer. 

Shaynara menganggap itu sebagai pertanda bosnya masih marah padanya. Ia ingin minta maaf sekali lagi, tetapi, membahas keteledorannya kemarin saat ini amat berisiko. Bisa saja kepala unit-nya malah berang dan memaki-maki Shaynara. Demi Semesta dan seluruh isinya, gadis itu menolak harinya berlangsung buruk kembali.

Ia mengerem mulutnya sampai kegiatan rutin apel dan doa pagi diselenggarakan. Sebelum doa dimulai, seluruh teller wajib melaporkan resume transaksi yang berlangsung hari kerja sebelumnya. Momen itulah yang Shaynara gunakan sebagai prosesi permintaan maaf, langsung dari hati. 

"Terdapat kesalahan pencatatan yang terjadi di konter 3 atas nama kasir Shaynara Kiranatazi Anggraini, selisih kurang sebesar lima juta lima ratus enam puluh dua ribu rupiah. Sumber kesalahan tidak ditemukan, dan penambalan sudah dilakukan yang bersangkutan. Mohon maaf sebesar-besarnya." lapor Shaynara. Membungkuk beberapa kali. Terbawa gestur drama Korea yang ia tonton. Kalau dilihat-lihat, gerakan itu benar-benar menunjukkan penyesalan. Semoga benar-benar bisa menampakkan efek yang sama jika ia yang melakukannya.

"Sudah mengecek CCTV?" Kepala Cabangnya berkomentar. "Selisihnya banyak sekali itu."

"Sudah, Pak," sahut Shaynara. "Mungkin kesalahan saya dalam memasukkan ke tiap-tiap akun."

Kepala Cabang masih tak puas. Ia menggeleng-geleng tidak mengerti. Lima juta sekian, selain terlalu berat untuk ditombok seorang kasir, juga bisa saja merupakan kelalaian lain dan berimbas pada sistem keamanan dan kepercayaan terhadap bank. Namun, berhubung teller-nya sendiri tampak tidak keberatan menombok sebanyak itu dan waktu semakin bergerak maju, ia memfinalkan segalanya dalam petuah, "Kesalahan Mbak Shaynara mari kita jadikan pelajaran agar tidak terulang lagi di kemudian hari."

Shaynara melirik kepala unit-nya yang hanya bungkam sambil menipiskan bibir. Ia tahu, lelaki itu masih belum mau menerima kesalahannya. Tetapi Shaynara bersyukur. Satu bebannya terangkat. Kendati sesekali ia menahan kuap karena waktu tidurnya yang minim semalam, ia bisa melanjutkan harinya dengan perasaan lebih baik dari hari sebelumnya. 

***

Kelopak mata Gavindra berkedut, kemudian terbuka. Hal pertama yang ditemuinya adalah langit-langit kamarnya yang putih gading. Ia menegakkan punggung, meraih ponsel demi keterangan waktu. Pukul sebelas lebih sedikit. Kali ini Gavindra tak punya kewajiban untuk ikut rapat apa pun sehingga ia bisa tidur sehabis subuh sampai puas. Ia benar-benar bebas tugas. 

Sejenak, kepalanya mengurutkan sekian banyak agenda yang harus ia lakukan hari ini. Hari ini, ia akan bangkit dan berolahraga sebentar. Berikutnya, ia akan membantu ibunya di dapur. Kemudian, memberi makan Popo, kucing Persia peliharaannya, selagi menanti pakaiannya diputar di mesin cuci. Setelah itu, ia akan mandi dan salat zuhur. Kemudian, ia akan … ia akan …

Astaga. Apa yang akan ia lakukan hari ini selain rutinitas itu?

Oh. Kepala Gavindra mendentangkan satu gagasan baru. Ia bisa mampir ke toko buku demi memburu buku Paulo Coelho. Di sana, ia juga bisa meneliti koleksi buku lainnya yang mungkin mencuri minatnya. Atau pergi ke gym. Ia punya akses di sana sebagai member terdaftar. Sederet daftar panjang mulai tersusun di kepala. 

Namun, saat ini, yang harus ia lakukan adalah bangkit terlebih dahulu. Lelaki itu melakukannya pada akhirnya, merenggangkan tubuhnya usai melipat selimut kembali dengan rapi. Sejenak ia meloncat-loncat kecil. Melancarkan sirkulasi darah dan memanaskan setiap organ gerak. Lantas, ia berakhir dengan mengatur napas. 

Suara senam ringannya yang cukup berisik rupanya memberi pertanda bagi ibunya yang tengah menonton televisi, kalau ia sudah bangun. Suara wanita itu lantas terdengar, "Gavin? Sarapan dulu sini. Mama bikin pancake."

Tubuhnya memberi reaksi yang cukup memalukan ketika mendengar nama makanan. Ini sarapan yang dilakukan pada waktu makan siang. Gavindra menunggu sampai gemuruh perutnya berhenti, sebelum kemudian beranjak usai meraih ponselnya.

Risma sedang duduk bersantai di sofa, memangku Popo dengan atensi terpusat pada berita di televisi, ketika Gavindra menarik kursi meja makan. Mendengar derit kursi, wanita dengan rambut separuh beruban menoleh ke belakang. Putra bungsunya kini duduk menyantap pancake dengan lahap.

"Gavin, kamu sudah sampaikan salam Mama buat Briptu Yuli?"

Gavindra berhenti mengunyah. Beberapa detik berusaha mengingat. "Sudah."

"Lalu?" Risma bertanya, antusias. Sementara putranya mengerutkan kening tidak mengerti.

"Lalu?" ulang Gavindra dengan intonasi berbeda.

"Ya, lalu bagaimana perkembangan kalian?" jelas Risma gemas. Berharap ada secercah cahaya yang kembali menyinari kehidupan asmara putranya.

Gavindra Mahesa Wijaya bukanlah laki-laki yang peka, tetapi untuk yang satu ini, radarnya bekerja dengan cukup cepat. Sebelum ibunya terbawa perasaan, ia jelaskan dengan sopan, "Nggak ada perkembangan apa pun kok, Ma. Kami berteman dengan baik."

Risma mendengus. Jawaban putranya bukan hal yang ia harapkan. Namun, ia juga tidak mau menjadi orang tua yang kebanyakan menuntut. 

"Ya sudah," katanya. "Oh, besok kamu tugas jaga nggak, Vin? Besok kan, Jumat, tuh."

"Aku mulai jaga sore sih, Ma, besok. Ada yang perlu aku lakuin?"

"Iya. Itu, uang almarhum Papa mau Mama alirkan ke satu rekening saja. Jadi, kamu bisa nggak besok setor tunai ke Bank Intan Raya? Mama nggak bisa, baru ingat besok Jumat … eh, ada pengajian RT. Bakal repot bikin kue untuk sorenya."

Tidak butuh waktu lama bagi Gavindra untuk menyanggupi. "Bisa, Ma. Nanti aku ke sananya pagi-pagi." 

"Makasih, lho." Risma menghibahkan senyum. "Habiskan kuenya, itu masih ada di kulkas kalau mau tambah. Mama mau nonton lagi. Hari ini kita nggak masak, ya. Tante Rima ada ngasih urap sayur sama rendang, baru habis Mama panasin. Oh, ya, Popo sudah Mama kasih makan." Wanita itu kembali menenggelamkan diri di atas sofa. 

Lihat selengkapnya