Biasanya, waktu istirahat setiap hari Jumat akan menjadi momen yang dinanti-nanti Shaynara. Durasi isama yang lebih panjang dibanding empat hari kerja lainnya bisa ia lewatkan dengan makan lebih lama, atau bersantai di musala lebih lama selagi pegawai lelaki salat Jumat di masjid. Namun, hari di mana Gavindra menampakkan dirinya di depan konter bukanlah Jumat yang ia nanti. Sebab ia sudah menerka, akan ada gerundelan dan pertanyaan yang meletus dari lisan Lilian. Terlebih, wanita itu sudah terang-terangan membatalkan janji makan siang bareng suaminya, di depan Shaynara.
"Aku nggak minta Mbak Lian batalin janji maksi sama Mas Agung, lho." Sebelum mulut Lilian membuka usai mematikan sambungan telepon, Shaynara melepaskan dirinya dari segala tanggung jawab.
Tatap mata Lilian sudah menghunus. "Aku yang mau. Karena aku butuh penjelasan."
Helaan napas Shaynara memberat. Seolah ada gravitasi dalam paru-parunya yang mengikat kemampuannya untuk berespirasi. "Penjelasan soal apa sih, Mbak?"
Lilian mengamatinya, lekat. Tangannya terlipat di depan perut. "Kok, kamu bisa kenal sama Briptu Gavindra?"
Shaynara pura-pura tidak paham. "Maksudnya?"
"Aku denger lho, Briptu Gavindra tanya apa ke kamu." Lilian berdeham. "'Kamu baik-baik aja?'" Dengan suara sengaja diberat-beratkan, ia mengkopi gaya si polisi.
Shaynara tak tahu harus tertawa atau meringis. Daya tangkap kuping Lilian patut diberi rekor MURI. Atau kemampuan Lilian dalam membagi fokus yang memang mumpuni. Selagi kerepotan melayani nasabah, ia masih bisa menguping interaksi di loket sebelah. "Nggak ada apa-apa. Mungkin dia salah kenal orang."
Lilian masih mengamatinya dengan tatapan tak percaya. "Masa'?"
"Kan, kubilang mungkin, Mbak," terang Shaynara dengan sabar. Ia tidak bisa menceritakan bagaimana ia bertemu dengan Gavindra. Tidak, tanpa menuturkan kronologi lengkapnya. Jika ia bercerita, Lilian akan bertanya lanjut, mengapa Shaynara sebegitu nekatnya berkeliaran sendiri di tengah malam.
Dengkusan Lilian terlempar seiring wajahnya yang kembali mengarah pada piring nasinya. Tidak lagi berkomentar.
"Marah ya, Mbak?" tanya Shaynara.
"Kalau kamu nggak mau cerita, ya aku bisa apa? Masa aku harus ngebujuk kamu terus? Kayak kepo banget 'kan, aku?"
"Maaf, Mbak Lian. Aku---"
Lilian mengibaskan tangan. Memasang cengiran lucu. "Udah. Aku memang kepo. Hehe. Makan aja, yuk."
Ada satu hal yang membuat Shaynara cemas. Lilian tidak lagi seceriwis biasanya, sampai mereka pulang.
***
Ternyata, kecemasan Shaynara tidak bertahan lama. Keesokan paginya, ketika sedang tiduran di kasur sambil menanti maskernya kering demi penampilan lebih segar dalam resepsi pernikahan salah satu teman SMA-nya nanti malam, panggilan video dari Lilian datang. Tanpa perlu mengecek ID pemanggil, Shaynara tahu itu rekan kerjanya. Nada dering itu khusus dipilih Lilian sendiri sebagai pertanda. Ia bilang, itu identitas.
Shaynara mendekatkan layar usai menggusur dua potong mentimun dari mata. "Ya, Mbak?" sahutnya dengan bibir yang terbuka tipis.
"NARAAA! INI KAMU BUKAN, SIH?"
Untuk sesaat, Shaynara bersyukur ini bukan panggilan biasa. Volume dan power Lilian barusan bisa saja membuatnya pekak beberapa lama jika lubang speaker menempel langsung di telinga.
"Aku kenapa?" tanyanya tak mengerti.
Layar di ponsel berubah. Lilian mengganti view kamera dari depan jadi belakang. Bukan lagi wajah wanita dua puluh lima tahun itu yang memenuhi, melainkan skrin tablet yang tengah memutar sebuah video. Shaynara memfokuskan pandangan. Seketika, matanya terbelalak.
Itu tayangan di mana Shaynara disergap petugas kepolisian tempo hari. Rupanya, waktu itu mereka memang sedang syuting. Pantas saja ada beberapa kamera yang Shaynara ingat mengintili para polisi. Ini memang komersial. Berarti, Patroler yang kemarin diungkit-ungkit Lilian itulah program yang menyiarkan wajah Shaynara ke seantero negeri.
Lilian yakin, itu rekan kerjanya. Meski wajah Shaynara diburamkan dan beberapa kalimatnya disensor demi privasi, ia merasa tidak mungkin salah mengenali orang. Setiap ornamen yang melekati Shaynara itu cukup unik jika diamati lekat-lekat, atau melalui masa yang relatif lama. Dan, Lilian sudah khatam kedua-duanya.
Shaynara belum sempat menormalkan ekspresi mukanya ketika wajah Lilian kembali mencuat. Dalam hati ia berharap, semoga baluran masker mampu menutupi gurat-gurat kesal dan kegugupannya.
"Itu kamu, 'kan? Aku kenal motor sama jaketmu, lho."
Untuk beberapa detik, Shaynara mencoba mengatur kata. "Iya, Mbak. Aku--"
"Oh. Jadi sebetulnya kamu memang udah ketemu sama Raimas itu? Ketemu Gavindra?" sela Lilian cepat. Tidak ada pekik histeris atau ekspresi takjub di sana. Membuat Shaynara bingung harus menjawab apa kecuali anggukan dan gumaman.
Lilian bertanya lagi, "Kejadiannya pas malam waktu kamu jatuh motor?"
"Iya, Mbak." Shaynara tidak tahu, apa yang ia takutkan dari lenyapnya Lilian yang biasa. Wanita di seberang cuma mengangguk samar. Wajahnya datar.
"Ya sudah. Take your time, Shaynara."
Sambungan diputus.
Ada yang hilang. Ada yang lenyap. Sepintas, Shaynara berharap mendengar jerit histeris Lilian, "Ya ampuuun, Naraaa! Beruntung banget kamu bisa ketemu merekaaa!" Ingat, dengan huruf vokal yang dipanjangkan. Persis karet yang melar waktu ditarik.
Namun, keceriaan itu tidak ada. Keriuhan itu tidak ada. Semua itu tidak ada.
Rasa cemasnya datang lagi. Shaynara menatap ponselnya yang menampakkan layar kunci dengan hampa. Entah kenapa, ia merasa kehilangan.
***
Sangat sulit mencari tempat luang di parkiran ballroom untuk motornya. Suasana kelewat riuh. Berbagai macam mobil dan motor kadung menyeruaki. Ketika akhirnya ia mendapatkan tempat istirahat yang layak bagi motornya, tempat itu ada di bagian paling pojok, dekat rerimbun pohon. Shaynara harus memutar kolam hias yang lebar dengan sepatu hak tingginya dan melangkah sejauh sekian puluh meter demi bisa masuk ballroom. Untungnya,ia memakai wedges, bukan stilleto, sehingga kakinya tidak akan terlalu sakit dan menghindari oleng. Kalaupun sakit, rasa sakit itu akan menyebar, tidak hanya tertumpu pada tumit semata. Untungnya lagi, busananya tidak ribet. Lantaran membawa motor, Shaynara tidak bisa mengenakan busana yang muluk-muluk. Cuma sehelai gaun armless berwarna keemasan dengan panjang sebetis. Sedang rambutnya, ia gerai ke pundak kiri, usai di-blow dan disemproti hair spray.
Jaketnya ia tanggalkan dan tergantung di lengan. Udara dingin yang lebih rendah daripada hawa malam di luar menyapa kulitnya, ketika ia memasuki ruangan megah itu. Jejeran perempuan dengan busana dan riasan senada menjejeri meja penerima tamu. Shaynara membubuhkan namanya di buku yang disodorkan, dan sebagai gantinya diberi sebuah suvenir. Sapu tangan berwarna ungu muda, dengan ukiran nama 'Merida & Joshua', dalam kemasan yang manis.
Merida, teman sekelasnya selama tiga tahun mengenakan seragam putih-abu, ternyata menikah dengan seorang polisi berpangkat Brigadir. Shaynara tidak kenal mempelai pria sama sekali, apalagi untuk tahu di mana lelaki itu bertugas. Tetapi ia berharap, bukan para polisi Polresta yang akan ia temui. Sekalipun kemungkinan terwujudnya harapan itu kecil sekali. Ini kota Depok. Kepolisian terdekat dari sini bahkan adalah Polresta itu sendiri.
Asing. Itu kesan yang Shaynara dapatkan kala mengedarkan pandangannya ke sekeliling, usai menyisipkan amplop ke dalam kotak yang disiapkan. Sebagai manusia dengan lingkaran kecil, ia merasa tersisih karena datang sendirian. Tidak ada yang dikenalnya. Tidak ada wajah-wajah familier.
Tiba-tiba, pundaknya ditepuk. "Nara?"
Shaynara berbalik. Dan, senyumnya melebar memandang sosok berbusana toska. "Arin? Arin, ya?"
Perempuan jangkung berambut pendek di hadapannya menyahut dengan antusias, "Iya." Tanpa tedeng aling-aling, ia menyambar Shaynara dalam dekapan. "Ya ampun, kangen banget gue! Udah lama banget nggak ketemu!"
Shaynara mengangguk kala dekapan mereka terlepas. "Astaga, iya. Tambah cantik aja, sih. Kerja di mana sekarang?"
"Ih, lo juga! Kok masih unyu aja. Gue ngajar nih, di SMA Dua. Mana tuh, Bu Drupadi yang dulu bilang gue bodoh? Nih, orang bodoh bisa jadi guru, nih." Ia tertawa. Bu Drupadi adalah guru bermulut pedas yang doyan mengata-ngatai Arin karena gadis itu tidak pandai matematika. Murid kesayangannya tentu saja Shaynara. Peraih nilai matematika sempurna dalam Ujian Nasional. "Lo di bank ya, gue denger-denger?"
Shaynara membenarkan, "Iya." Masih tidak menyangka, Arin, perempuan tomboi yang demen nongkrong dengan anak-anak nakal, kini malah jadi pendidik negeri. Kini ia setuju, waktu memang punya kekuatan yang menarik.
"Yah, cocok sih buat lo yang demen hitung-hitungan."
Tak ada kalimat balasan dari Shaynara kecuali tawa. Tawa yang miris. Kata-kata Arin membuat Shaynara ingin menangis. Teringat akan kebodohannya menghitung uang nasabah beberapa hari yang lalu. Tak akan ada ahli hitung betulan yang melayangkan lima juta sekian rupiah tanpa alasan yang bisa diterima logika.
Bola mata Arin menjelajahi sekitar. Temannya tak membawa gandengan. "Lo datang sendiri?"
"Iya." Shaynara terkekeh. "Lo?"
"Gue sama pacar gue, sih. Lagi di--oh, itu dia."
Seorang laki-laki yang lebih tinggi beberapa sentimeter dari Arin datang mendekat begitu Arin memberi tanda dengan mengangkat tangannya sedikit. Membuat Shaynara merasa seperti kurcaci di hadapan para titan.
"Halo, teman Arin, ya?"
"Iya. Nara." Shaynara menyebutkan namanya.
"Tri."
"Lo lihat anak-anak Walaspadu yang lain, nggak?" tanya Arin. Walaspadu adalah nama kelas mereka, dua belas IPA Dua.
"Nggak. Gue baru aja datang."
"Yah, sama. Ya udah. Lo bareng kami aja. Tapi nanti mungkin bakal sama temen Tri juga. Nggak apa, ya?"
Shaynara mendesah. Ini pilihan yang sama-sama berat baginya. Namun, bukankah lebih baik bersama satu orang yang dikenal dan beberapa orang asing, daripada sendirian di tengah keterasingan? Ia menjawab, "Oke. Nggak apa, kok."
Mereka duduk di meja paling depan bagian tengah. Tepat di belakang deret keluarga mempelai. Cuma itu meja paling strategis yang masih kosong kelima-lima kursinya.
Menangkap eksistensi para petugas berseragam khusus yang berdiri tegap di sekeliling, Shaynara mengatur jaketnya di atas paha dan berceletuk, "Ini nanti bakal ada prosesi-prosesi gitu nggak, sih?"
Arin yang menyesap cola-nya balik bertanya, "Prosesi apa?"
"Ya ... Kayak prosesi nikahan polisi biasanya. Yang ngebentuk-bentuk formasi gitu."
"Oh. Pedang pora, sangkur pora, hasta pora, teratai pora, maksudnya?" terka Tri.
Shaynara mengangguk. "Nah."
"Ada," jelas Tri. "Kan, Joshua dari Brimob, tuh."
Arin bertanya, "Kalau Brimob wajib, ya?"
Tri menerangkan sambil nyengir, "Sebetulnya, kalau pernikahan bintara POLRI nggak wajib ada ritual, kecuali kalau yang menikah dua-duanya anggota. Tapi kalau mau, bisa diusahakan. Biasanya yang ngadain ya … teman mempelai. Itu yang berseragam tuh, semuanya dari Brimob Polda Jabar."
"Nanti kita adain juga nggak, ya?" Pertanyaan Arin langsung membuat Shaynara menoleh selekas selemparan tombak.
Tri tersenyum. "Sudah pasti, dong."
Bola mata Shaynara berlarian dari Arin ke Tri. "Sebentar. Lo polisi?" tanyanya cepat.