Handcuffed Heart

Celestilla
Chapter #6

Enam: Menafsirkan Kebetulan

Shaynara bukan tipe manusia yang menghamba kepada gadget. Kalangan yang bangun tidur langsung mengecek notifikasi. Baginya, benda bernama ponsel hanya mengambil posisi sebagai alat komunikasi. Tak lebih. Maka, benda itu hanya akan ia pelototi kalau mau mengirim pesan, menelepon, mengecek surel, dan kawan-kawan. Kendati ada segudang aplikasi yang ia instal hanya demi kesetaraan. Kalau sewaktu-waktu ditanya, "Kamu punya akun anu?" maka Shaynara bisa dengan bangga menjawab, "Ya, aku punya," sehingga dia tidak dijuluki manusia 2019 yang kurang update. Tidak peduli akun itu berdebu tanpa pernah dibuka.

Namun, lagi-lagi, hari Minggu itu anomali. Entah sudah berapa kali Shaynara lalui keunikan dalam satu pekannya belakangan ini. Usai menggelontorkan lima belas juta lebih dalam sehari, menjelma lawful yang ditilang polisi, lulusan terbaik akuntansi yang tidak mampu mencari letak kesalahan penjurnalan, dan bertemu polisi yang membuat jantungnya tidak nyaman, kini Shaynara mengadopsi rutinitas para millenial masa kini: mengecek ponsel begitu bangun tidur. Benar-benar mengecek. Bukan cuma demi melihat jam. Melainkan demi sebuah pesan yang mungkin datang.

Namun, pesan yang dinanti tidak tiba. Pesannya yang terakhir belum terbaca orang di seberang sana. Entah kesibukan macam apa yang dilakukan Lilian sampai luput mengecek pesan masuk. Yang Shaynara tahu, Lilian adalah salah satu hamba gadget paling religius. Selalu mengangkat telepon sebelum nada sambung ketiga. Tidak pernah membiarkan pesan-pesan tak terbaca. Senantiasa mengecek setiap akun media sosialnya secara berkala. 

Tetapi sepertinya, hari ini bukan bagian dari selalu. Bukan bagian dari kebiasaan-kebiasaan itu. 

Shaynara mendesah, lalu kembali merebahkan tubuh. 

Azan subuh mulai terdengar dari masjid kompleks. Membiarkan ponselnya di kasur dalam keadaan layanan data yang menyala, gadis itu bangkit hendak menunaikan ibadah.

Selepas salat, Shaynara kembali mengecek aplikasi perpesanannya. Belum juga ada perkembangan status dari pesannya untuk Lilian, sekalipun cuma sebatas 'tidak terbaca' menjadi 'terbaca'. Shaynara masih mencoba berpikir positif. Mungkin rekannya yang satu itu memang sedang sibuk dan tak sempat mengecek ponsel. 

Gadis itu melanjutkan aktivitasnya. Ia bungkus beberapa pakaian kotor ke dalam sebuah kantung plastik besar, terutama seragam kerjanya. Pukul setengah tujuh, Shaynara akan mengantarnya ke sebuah penatu langganan di ujung kompleks sana. Kalau dihitung-hitung, mengeluarkan uang untuk membayar jasa cuci dan setrika di tempat itu, lebih baik ketimbang harus membayar ekstra air di indekos kemudian mencuci sendiri dengan tangan. Ditambah lagi kewajiban memunguti jemurannya, lantas menyetrikanya satu per satu. Bukannya Shaynara tidak bisa mencuci sendiri. Ia hanya butuh kepraktisan. 

Sebelum keluar dari indekosnya, Shaynara sempatkan untuk membuat sarapan terlebih dahulu. Dari pisang yang dikasih pemilik indekos dan tepung terigu persediaannya, jadilah sepiring godok-godok untuk mengisi perut. 

Bahkan sampai Shaynara menandaskan sarapannya, belum ada balasan dari Lilian. Ia mulai gelisah. Jangan-jangan, Lilian benar-benar marah.

Kalaupun iya, Shaynara tak habis pikir. Atas dasar apa Lilian marah padanya? Karena Shaynara bertemu Gavindra? Karena Gavindra mengenalinya? Itu bukan hal yang bisa Shaynara kendalikan. 

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa sadar. Berusaha mengenyahkan pemikiran negatif yang timbul begitu saja. Ia percaya, kendati di luar sana ada penggemar yang kelewatan memuja idolanya sampai bersikap antipati terhadap pihak yang tak bersalah, Lilian bukanlah salah satunya. 

Ketimbang larut dalam pikirannya sendiri, Shaynara putuskan untuk lekas berangkat. Dipikulnya kantung plastik besar itu keluar. Usai mengunci kembali pintu, ia bawa lagi kantung berisi pakaian kotornya ke pijakan motor. Kemudian melaju membelah udara yang mulai dipenuhi kebangkitan manusia. 

***

"Halo, Mas Karto," Shaynara menyapa salah satu petugas Rose Laundry, yang berdiri di depan etalase. Di balik punggungnya, jejeran mesin suci telah siap melakukan tugas mereka. 

"Eh, halo, Mbak Nara. Seperti biasa, selalu dateng pagi-pagi sekali." Ia melirik kantung besar di kaki Shaynara. "Isinya biasa juga, ya? Laundry kering?"

Shaynara mengangguk. "Iyap." Mengeluarkan dompetnya, bersiap membayar. 

Pintu dari bagian dalam laundry terbuka. Wanita berpostur gemuk, pemilik usaha laundry ini, melongok. "Karto, kebaya kuning punya keluarga Bu Nunung kemarin sudah beres?" 

"Sudah, Bu. Nanti jam tujuh, anak Bu Nunung yang ambil."

Wanita itu mendesah lega. "Oke." Lantas, matanya berserobok dengan atensi Shaynara. "Lho, udah ada Mbak Nara."

"Selamat pagi, Bu Azhar." Shaynara tersenyum sopan. Nama wanita itu Rima. Namun, di kompleks, ia lebih dikenal dengan sapaan Bu Azhar. 

"Pagi, Mbak Nara," balas wanita itu. Sebuah seruan anak-anak dari arah dalam rumah membuat Rima menoleh sejenak. "Ibu ke dalam dulu, ya." 

Shaynara mengangguk, mengantarkan wanita itu dengan tatapan hingga pintu kembali mengatup. Barulah kemudian, ia melakukan keinginannya yang sempat tertunda. Menyodorkan pembayaran. 

Usai berkutat dengan urusan pencucian pakaian dan transaksinya, gadis itu pun pamit kembali. Baru saja mau keluar, pintu di dalam terbuka lagi. Kepala Rima menyembul. 

"Karto, Mbak Nara masih ada?" Shaynara yang mendengarnya menoleh. 

"Masih, Bu," sahut Karto. Ia palingkan wajahnya pada Shaynara. "Mbak Nara, ditanyain Ibu."

Gadis itu sudah melangkah masuk toko kembali. Menunda niatnya untuk pulang. "Ada yang bisa kubantu, Bu Azhar?"

"Lagi nggak buru-buru, 'kan? Ibu ada perlu sama kamu."

"Oh, nggak kok, Bu. Ada keperluan apa?"

Rima membuka pintu itu lebar. "Sini. Masuk aja dulu, Mbak Nara. Lewat sini, nggak apa-apa."

Lihat selengkapnya