Handcuffed Heart

Celestilla
Chapter #7

Tujuh: Benturan Masa Lalu dan Masa Depan

Melalui pantulan di cermin ketika membenahi riasannya yang mungkin dirusak angin atau keringat dalam perjalanan tadi, Shaynara bisa melihat Lilian yang datang. Gadis dua puluh lima tahun itu menyapa pada Idlina yang sedang makan kue di meja back office

"Linaaa, makan apa?"

"Kue." Idlina mengulurkan kotak yang terbuka. Masih ada sisa beberapa buah di dalam sana. "Mau?"

Lilian mengernyitkan hidung ketika menghidu. "Duren, ya? Nggak deh, makasih."

"Ya udah." Idlina menurunkan kembali kotak makannya, sebelum atensinya menangkap mata Shaynara yang menyapu mereka. "Lo mau, Nara?"

Kedapatan mengintip, Shaynara meringis. "Nggak, Mbak Lina. Makasih." Ia alihkan pandangannya pada Lilian yang kini menyingkir ke loker. Pagi ini, tidak ada sapaan Lilian untuknya. Shaynara merasa serba salah. 

Gadis itu menyingkir dari cermin, bermaksud ke loker demi menyusupkan kembali pouch make up-nya ke dalam tas. Berhubung Lilian masih ada di sana, sekalian saja Shaynara mencoba menyapanya. 

"Halo, Mbak Lian." 

Lilian menoleh. Tersenyum. "Hai, Nara." Kemudian beringsut dari sana. Membuat kerut-kerut ketidakmengertian timbul di raut Shaynara. Lilian terang-terangan menjauh darinya. 

Namun, ia masih memberanikan diri untuk bertanya, "Mbak Lian, pesanku belum dibaca, ya?"

Lilian melirik dari dalam cermin, sambil mengoleskan foundation ke wajah. "Oh. Kamu ada kirim pesan? Sori, nggak sempat. Aku agak sibuk."

Shaynara mengangguk kecil. Baiklah, kini pertanyaannya terjawab sudah. Lilian memang sibuk mengecek pesan, dan mungkin kiriman Shaynara tenggelam. Ia akan percaya pada alasan itu, kalau saja ketika istirahat, tidak ada anomali lainnya.

Ia beranjak ke pantri sendirian, selepas membeli bakmi di warung depan kantor sendiri, tanpa minta bantuan pada siapa pun. Ia tidak sempat membuat nasi jualan atau pun bekal hari ini.

Beberapa orang telah duduk di sana. Lagi-lagi, dari second floor person, alias orang-orang manajerial. Orang operasional memang lebih suka makan di unit mereka, atau di ruang bawah tanah, di depan sebuah ruangan tempat di mana brankas uang dan data-data berada dalam kondisi ditutup sempurna. Itu tempat yang strategis bagi orang operasional yang kelewat malas naik dua lantai. Kecuali Lilian dan Shaynara. Mereka lebih suka makan di pantri. Tanpa ada perjanjian tertentu. Di tempat itu, mereka bisa makan sambil bergosip. Suara Lilian kelewat kencang dan berpotensi menuai teguran kepala unitnya yang sering makan siang di meja kerja.

"Lho? Mbak Nara sendirian?" tanya Wawan, dari analis kredit. "Mbak Lian makan bareng suaminya, ya?"

Shaynara cuma menjawab, "Iya, Pak." yang tentunya merupakan timpalan untuk pertanyaan pertama. Ia pun tak tahu apa jawaban dari pertanyaan kedua. Lilian tidak bilang apa-apa soal makan di mana dan dengan siapa. Tidak seperti biasanya. 

"Tumbenan. Biasanya kalau datang ke pantry, berdua."

Shaynara tersenyum kecut. Lalu mendesah. Sampai orang kantornya pun memperhatikan kalau ia tanpa Lilian di pantri adalah ketumbenan. Padahal, Lilian juga sering makan di luar bersama suaminya. Entah anomali macam apa lagi ini.

Sambil menyantap makan siangnya dalam hening, Shaynara berusaha kembali untuk me-review apa yang ia lewatkan. Apa yang sudah ia lakukan, hingga Lilian bertingkah aneh. Lagi-lagi, alur pikirannya bermuara hanya pada satu kesimpulan. Meski separuh hati Shaynara masih enggan menerima konklusi sesaat itu.

Apa yang salah dari bertemu Gavindra? Mereka toh, cuma bertemu. Pertemuan itu bukan kesengajaan Shaynara. Gavindra yang dilayani Shaynara pun bukannya ia sengajakan. Semua itu juga bukan berarti Shaynara dan Gavindra saling suka sehingga menghalangi kenyamanan Lilian dalam memuja sang bintara, kalaupun Lilian memang memuja polisi itu dalam tahapan seperti itu. Bukankah ini ketidakadilan? Kenapa Shaynara disalahkan untuk sesuatu yang bukan dalam kendalinya? Isi kepalanya memberontak. 

Sendoknya tergeletak dengan denting samar. Shayanara berhenti makan. Selera makannya musnah. Mendadak, bakmi di depan mata hanya sewujud pasir yang membuatnya tak berselera.

Ia menopang dan mengubur wajahnya dengan kedua telapak tangan. Mereka tak bisa dibiarkan dalam kebungkaman yang ganjil begini. Ia butuh bicara pada Lilian.

Pada akhir hari, usai para teller mengantarkan peti kas--yang sudah fix kelar diklop-klopkan--ke dalam ruang penyimpanan bersama satpam dan kepala unit, Shaynara mencegat Lilian di bawah tanah. Idlina langsung menaiki tangga, enggan menunggu dan enggan peduli. Dia adalah salah satu pegawai yang paling cuek pada apa pun yang berlangsung di kantor selama tak melibatkan dirinya. Hasan sempat berseru, "Mau ngapain kalian?" yang kemudian Shaynara jawab dengan, "Mau ngobrol dulu, Pak." Laki-laki yang sudah tampak melupakan insiden lima juta sekian itu pun undur diri. Toh, kalaupun mau kepo, dia bisa melihat kelakuan dua stafnya dari layar komputer yang memantau CCTV.

Lilian mendesah, malas. "Mau ngobrolin apa?"

Shaynara menyambar, "Mbak Lian marah sama aku?"

Sejenak, wanita yang lebih tua terdiam. Sebelum kemudian bertanya, lembut. "Marah atas apa?"

"Itu, yang mau aku tanyain ke Mbak Lian. Aku punya salah apa, Mbak?"

Pertanyaan Shaynara justru membekukan ekspresi Lilian. "Kalau kamu nggak tahu salahmu di mana, jangan tanya begitu ke aku. Itu kamu kayak lagi nuduh," timpal Lilian. Dingin. Shaynara yang diserang balik, megap-megap mencari kata balasan.

"Soalnya Mbak Lian nggak membalas pesanku. Nggak nyapa kayak biasa."

Lilian mendengus. "Kamu mau aku selalu nyapa kamu kayak kamu ratu dari negeri dongeng? Aku cuma melakukan apa yang kamu mau. Kamu mau aku berhenti kepoin kamu, 'kan? Kamu nggak mau aku tanya-tanya soal urusanmu, 'kan? Nah. Aku sudah ngelakuin itu. Salah lagi?"

Shaynara terperangah. Tak menyangka Lilian akan menimpalinya sedemikian rupa. Dirinya memang tak suka diinterogasi Lilian, tetapi bukan dengan menghasilkan spasi selapang ini. Mulutnya membuka, hendak meletuskan balasan. Namun, tak juga ia temukan kata-kata yang pantas ia muntahkan. Ia malah menggigit bibirnya.

Melihat Shaynara yang bungkam, Lilian melirik arloji. "Nggak ada yang mau diomongin lagi, 'kan? Sudah, ya. Aku sudah dijemput." Lantas, wanita itu menaiki tangga dan berlalu.

Lihat selengkapnya