Mas Karto Rose Laundry
Met pagi. Diinformasikan kpd para pelanggan Rose Laundry bhw hr ini, Rose Laundry tdk beroperasi. Akan kembali dioperasikan pd Senin lusa. Terima kasih. (Rose Laundry)
Pesan yang datang itu membuat Shaynara menunda memasukkan segulung mi instan ke dalam mulut. Kalau sampai tempat cucinya tidak beroperasi pada waktu rutin ia menyetorkan cucian, apakah ia harus mencuci sendirian? Gadis itu putuskan untuk membalas.
You
Met pagi. Knp tutup, Mas? Besok buka?
Belum ada tanggapan selama beberapa lama ia menunggu. Shaynara memutuskan untuk melanjutkan makan, kemudian mencuci mangkuknya. Setelah kegiatan bersih-bersihnya rampung, barulah benda itu bergetar dan berdenting lirih. Pesan balasan telah tiba. Shaynara mengeringkan tangan pada serbet, sebelum membukanya.
Mas Karto Rose Laundry
Nanti sore mau ada acara akikahan cucunya Bu Rima, Mbak. Besok ga buka juga, Mbak.
Bagi Shaynara, itu adalah ultimatum untuk mencuci sendiri atau mencari laundry lain. Tentunya, ia memilih opsi kedua. Gadis itu tergesa memilah dan memasukkan baju-baju kotornya ke dalam kantung besar. Tak berapa lama, ia teringat akan penjelasan Karto tadi. Jika nanti sore ada acara akikahan kedua cucu pemilik Rose Laundry, berarti kemungkinan pagi ini akan ada kegiatan masak-masak di sana.
Shaynara beranjak membuka lemari kecilnya. Dari dalam salah satu laci, ia keluarkan sebuah sling bag hitam. Kemudian, ia beranjak ke rak mungil tempat beberapa piranti memasaknya ia letakkan. Sebilah pisau bergagang ungu dengan mata tajamnya terselubungi tudung berwarna sama, beserta alat pengupas buah yang ia dapat dari suvenir pernikahan Lilian, ia masukkan ke dalam tas itu.
Dibukanya fitur peta pada ponsel. Shaynara lupa-lupa ingat, di tempat mana pernah ia temukan penatu lain selain tempat langganannya. Desahannya terlempar manakala menjumpai fakta kalau satu-satunya tempat terdekat kecuali Rose Laundry ada dalam jarak sepuluh kilometer. Di pagi akhir pekan, ia harus berkendara sejauh itu cuma untuk mencuci.
Namun, ia pergi juga. Usai mengantarkan pakaian kotornya ke penatu itu, yang ternyata, tarifnya lebih mahal daripada tempat biasa, ia melajukan motornya ke Rose Laundry. Motornya ia parkir di tepi jalan, bersama beberapa motor lain yang sudah tiba duluan. Pelataran rumah sementara diguyuri air selang oleh Karto untuk kemudian disapu selepas ini. Sepertinya, sebentar lagi mau dipasangi tenda.
"Lho, Mbak Nara," Dewi, salah satu pegawai Rose Laundry selain Karto menyapa, "Laundry tutup, Mbak."
Shaynara mengembangkan senyum. "Iya, Mbak Dew. Aku sudah dikasih tahu, kok. Ini mau bantu-bantu aja."
Dewi terkekeh malu. "Oh, maaf, Mbak. Kupikir mau nitip pakaian." Ia persilakan Shaynara masuk. "Mari, Mbak Nara."
Shaynara mengikuti langkah Dewi hingga masuk ke dalam rumah. Ini adalah kali pertama Shaynara memasuki rumah itu dari bagian depan. Perabotan di ruang tamu sudah disingkirkan ke ruang tengah.
Di ruang tengah sampai dapur, sudah ada beberapa orang berkumpul. Kebanyakan ibu-ibu kompleks. Selagi tangan mereka bekerja, mulut mereka pun ikutan mencari aktivitas. Was-wes-wos terdengar. Shaynara mencoba berbaur bersama mereka, dengan melemparkan sapaan basa-basi yang disambut dengan delikan cengo. Anak perempuan siapa yang datang-datang bergabung dengan gerombolan ibu-ibu.
Namun, Shaynara berhasil menumpas segalanya dengan kegesitan. Kebiasaan memasak sendirian untuk berjualan membuat tangannya lincah. Sak sek sak sek. Kentang dan wortel-wortel terkupas rapi. Ibu-ibu di sisi Shaynara, yang tadinya menanggap remeh perempuan itu, kini mengerjap takjub.
"Tinggal di mana, Dek?"
Shaynara tersenyum. "Di kos-kosan Teratai, Bu. Punya Bu Titin."
Mulut si ibu membulat selagi menggumam, "O …" Ia bertanya lagi, "Mahasiswi?"
"Sudah kerja, Bu. Di Bank Intan Raya."
Si ibu melongo lagi sebentar, sebelum kemudian tertawa malu. "Ya ampun … saya pikir masih kuliah. Masih imut-imut, soalnya. Sudah lama tinggal di kos-kosan Teratai?"
Shaynara berpikir sejenak. "Sudah setahunan ini, Bu. Saya memang jarang keluar sih, Bu. Soalnya sering pulang kerja malam-malam."
Kepala si ibu terangguk-angguk. "Namanya siapa?"
"Shaynara."
"Panggil saja aku Bu Endang. Yang punya toko Damai Sejahtera di seberang."
Shaynara tahu toko itu. "Oh, toko Damai Sejahtera … yang jualan barang pecah-belah itu."
Beberapa ibu lain ikut tertarik ke dalam percakapan. Memperkenalkan diri. Bergosip sebentar. Shaynara hanya bungkam jika obrolan merambah pada beberapa hal yang tidak penting. Namun, ia akan berusaha mengimbangi percakapan. Menjawab jika ditanya, dan balas bertanya sekadar agar ada komunikasi dua arah. Rupanya, tak butuh waktu banyak atau usaha keras untuk dapat berbaur. Cukup dengan aksi nyata.
***
"Pakai mobil aja, Vin. Takutnya nanti akan ada yang perlu kita akomodasi."
Gavindra mengangguk. Ia ambil alih beberapa kemasan mika kue berukuran besar dari tangan ibunya. Usai membuka pintu tengah mobil keluarganya, ia taruh boks-boks plastik itu baik-baik di atas kursi.
Matanya merah dan tubuhnya lelah, habis patroli semalam dan belum berjumpa lelap. Tetapi kewajiban mengantarkan ibunya ke rumah tantenya yang menyelenggarakan acara syukuran akikah keponakannya, tidak bisa ia elak. Lagipula, ia bisa tidur sebentar di rumah tantenya, sebelum acaranya dimulai sehabis asar nanti.
Usai memasukkan tas berisi pakaian ganti dan beberapa perlengkapan yang mungkin diperlukan seperti karpet dan lain-lain ke dalam mobil, lelaki itu beranjak ke depan setir. Memasang seatbelt. Begitu ibunya masuk ke kursi samping kemudi, mobil itu perlahan-lahan merayapi jalanan.
Mereka tiba ketika mentari sudah agak tinggi. Sehabis ini, Gavindra masih perlu menelepon pihak Polresta untuk pinjam tambahan kursi. Gavindra membiarkan ibunya masuk ke dalam rumah duluan, kemudian membuntuti dari belakang sambil memikul peralatan-peralatan tadi. Beberapa warga kompleks yang berkumpul ikut membantunya.
"Nanti tendanya disewa dari kantor Mas Farhan, 'kan?" Ia menyebut nama kakak sepupunya.
"Iya. Sebentar jam sepuluh mereka datangkan."
Gavindra mengangguk. Ia menepuk pundak lawan bicaranya tadi, sebelum kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Untuk sementara, ia biarkan para tetangga yang mengurusi hal-hal di luar sana.
Suara samar-samar mengudara dari obrolan ibu-ibu yang sedang berkumpul di depan baskom-baskom berisi bahan makanan untuk diolah. Gavindra merunduk sambil menunduk sejenak, bermaksud permisi demi lewat menaiki tangga. Namun, langkah kakinya terhenti sejenak. Matanya tak sengaja menyapu seseorang yang familier. Gadis itu, pegawai bank yang bisa menjadi pembalap tengah malam, ada di antara gerombolan para ibu.
Gavindra menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya ia benar-benar butuh tidur. Rasa kantuknya sudah cukup parah sampai menghadirkan halusinasi. Ia beranjak menaiki tangga, untuk tiba di tempat paling nyaman yang bisa ia pakai beristirahat: musala.
***
Acara dimulai sehabis asar. Usai makan siang di rumah itu, Shaynara lanjut menekuri dandang dan kuali besar yang memuat nasi kuning serta rendang. Uapnya yang panas menyambari wajahnya.
"Astaga, Mbak Nara sampai repot ikut ngebantuin masak juga," sapa Rima yang datang memikul beberapa piring.
Shaynara hanya terkekeh. Tidak tahu harus menimpali bagaimana.
"Sudah makan, 'kan?"
"Sudah, kok, Bu." Ia sudah sarapan mi instan di indekosnya, lalu makan siang bersama ibu-ibu tadi dengan sayur asem dan ayam goreng. Tidak ada anak-anak muda yang hadir di sini, kecuali Dewi yang sibuk bersih-bersih tadi, dan Tiara yang mondar-mandir dari dapur ke kamar. Ibu muda itu bingung mau ikut membantu atau fokus mendiamkan kedua anaknya yang menangis beberapa kali.
Shaynara mengalihkan perhatiannya sebentar pada ponsel yang ia rogoh dari saku. Tidak terasa, sudah pukul setengah tiga. Ia jadi tahu bagaimana tampilannya saat ini. Kuyu dan layu. Kulitnya belum terkena air sejak tadi. Alias, ia belum mandi sejak pagi. Cuma cuci muka dan gosok gigi sewaktu keluar dari indekosnya. Teringat akan hal itu, Shaynara meringis. Mungkin ada aroma aneh yang tercium dari tubuhnya, kendati Shaynara tidak bau badan. Belum lagi ditambah peluh dan minyak sana-sini.
"Mbaknya istirahat aja dulu. Ini biar kami yang ngurusin." Seorang ibu yang tadinya sedang bercengkerama dengan beberapa koloninya mengingatkan. Seolah paham akan apa yang digumamkan Shaynara dalam hati.