Handcuffed Heart

Celestilla
Chapter #9

Sembilan: Kereta Luncur

"Kutegaskan padamu ya, Pak Polisi," kata Shaynara perlahan. "Aku. Bukan. Buku."

"Bagiku semua hal adalah buku. Seluruh benda di alam semesta ini menunggu untuk dibaca."

"Aku bukan benda. Aku manusia," bebal, Shaynara menimpali. Disamakan dengan benda mati membuatnya sakit hati. Seolah dirinya tidak punya keinginan atau kehendak bebas. Sebagaimana kedua orang tuanya yang memberinya kehidupan seperti ini, tanpa bisa ia hindari.

"Aku nggak bermaksud bilang kamu benda, Shaynara …" Gavindra mengerang. Memijat keningnya. Menjilat bibirnya. Putus asa menjelaskan maksudnya agar dipahami oleh gadis di depan mata. 

Shaynara mengembuskan napasnya, pelan-pelan. Padahal, dadanya sudah mendidih, seolah ada lahar yang hendak menyembur keluar dari sana. "Yang mau kamu bicarakan udah selesai? Kalau udah, aku--"

Gerakan itu amat cepat. Gavindra menempelkan kedua telapak tangannya pada dinding di balik tubuh Shaynara. Mengurung gadis itu dengan tembok, tubuh dan tangannya. Sementara tubuhnya sedikit melengkung, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Shaynara. Matanya berusaha mencari bola mata Shaynara. Bermaksud menunjukkan kesungguhannya. "Belum. Tolong, sebentar saja. Please."

Dalam posisi sedekat itu, Shaynara yang terpojok merasa mau mati bahkan hanya untuk menelan ludahnya. Tabuhan di jantungnya semakin cepat hingga rasanya ingin meledak. Ia menolak untuk mendongak. Napasnya tersengal. Oleh aritimia, kegugupan, serta amarah. "Minggir, atau aku teriak," ucapnya gemetar.

"Kalau nggak kayak begini, kamu bakal pergi sebelum aku sempat jelasin," kata Gavindra. "Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu. Sumpah."

Deru napas Shaynara mulai cepat. "Pada hitungan ketiga."

"Shaynara, tolong--"

"Satu …"

Gavindra memejamkan matanya sejenak. Mengubur dorongan untuk bersuara dengan keras. "Shaynara, aku cuma pengin--"

"Dua …"

"--kenal kamu lebih jauh lagi--"

"Ti--"

CKLEK. Pintu penghubung antara laundry dan rumah induk terbuka tiba-tiba. Sosok Risma muncul dari sana. "Vin, kamu di sin--Masya Allah!" Bola matanya terbelalak oleh adegan yang baru saja ia saksikan. Apa yang dilakukan putranya dengan seorang gadis di tempat sepi dalam posisi seperti itu?

Terkejut, Gavindra dengan cepat mengangkat kedua tangannya dari dinding. Berdiri gugup melihat ibunya di ambang pintu.

"Ma, itu … aku …" 

Risma yang masih kaget melarikan kedua bola matanya pada sang putra dan gadis di sisinya yang memaksakan senyum. Napas gadis itu tersengal, dan wajahnya pucat. Risma balas tersenyum canggung. Mengira tindakannya barusan telah mengganggu sesuatu yang mereka nikmati. Padahal, di tempat Shaynara berdiri, gadis itu tengah bersyukur karena napasnya kini bisa berangsur normal kembali.

"Kalian … sudah makan?" tanya Risma, kaku.

Tidak ada yang menjawab. Shaynara masih pusing oleh darah yang tiba-tiba mengalir kembali, sementara Gavindra merasa komplikatif; kolaborasi jengkel dan malu. Ketiadaan jawaban malah membuat Risma makin canggung. "Ayo, makan dulu."

Ia tidak tahu pasti apa yang putranya rasakan sehingga wajah lelaki itu jadi sedemikian pucat, dengan titik-titik peluh menyembul dari dahi. Yang ia tahu, kehadirannya sudah mengganggu. Dan untuk itu, Risma bingung harus merasa malu, atau lega.

Shaynara yang bergerak duluan. Usai mendapatkan kembali kendali atas gerak tubuh dan suaranya yang sempat musnah selama beberapa detik, ia menyahut dengan serak, "Iya, Bu."

Ia menaikkan kerudungnya ke atas kepala demi menyembunyikan wajahnya dari Gavindra. Kemudian, tanpa menunggu Gavindra ataupun menoleh ke arah lelaki itu, ia melangkah ke pintu. Kendati kakinya masih terasa lemas. 

Sepeninggal Shaynara, Risma memelototi putranya, tanpa sepatah kata pun. Hanya alisnya yang terangkat, menadah penjelasan.

"Nanti aku ceritain, Ma," kata Gavindra, lemah. Masih kecewa akan ketidakmampuannya menerangkan perasaannya pada Shaynara. "Sekarang aku mau wudu dulu."

Ketika Gavindra keluar dari kamar mandi usai membiarkan air wudu membasuh wajahnya yang panas, Shaynara sedang bersama tantenya, di antara beberapa baskom lauk sisa tadi sore. Shaynara memutuskan untuk membungkus makanannya saja. 

"Kenapa nggak makan terus salat magrib di sini aja, Nara?" tanya Rima, sambil memasukkan beberapa potong daging ayam ke dalam sebuah wadah makanan. Kemudian, ia berpindah pada baskom rendang. 

Shaynara nyengir. "Lebih nyaman makan di kosan, Bu Azhar." Tidak mungkin ia mau bertahan lebih lama setelah adegan tadi, serta tatap mata Risma, yang ia kenali sebagai kakak Rima, dan ternyata adalah ibu dari Gavindra, sedang mengamatinya lekat-lekat.

"Ah, kamu. Anggaplah ini rumah sendiri," timpal Rima pasaran. "Mau bawa es buah juga, nggak?" 

"Nggak perlu, Bu Azhar. Makasih, sebelumnya. Aku kurang suka minuman dingin." Dan kurang suka berada di sini lebih lama, tambahnya dalam hati. 

"Yah …" Rima mengeluh. Ia sodorkan wadah makannya yang sudah tertutup rapat, ke tangan Shaynara. "Wadahnya kapan-kapan aja dibalikin. Pas dateng nyetor pakaian minggu depan juga boleh." Ia mengusap pundak Shaynara lembut. "Makasih banyak buat bantuannya, lho, Mbak Nara." 

Shaynara membalas sambil tersenyum. "Ah, sama-sama, Bu. Harusnya aku yang makasih. Kalau gitu, aku pamit ya, Bu Azhar." Ia menoleh pada Tiara yang berdiri menggendong satu bayinya. "Mbak Tiara." Lalu dengan canggung, pada Risma yang masih mengamatinya. "Ibu."

"Iya, hati-hati di jalan, ya," Rima menimpali.

"Sebentar …" Itu suara Risma. Ia bangkit dari kursinya, lalu mendekat pada Shaynara. "Kupikir siapa. Kok kayak kenal. Ini …, Mbak teller di Bank Intan Raya, 'kan?"

"Iya, Bu. Benar."

Mata Risma melebar. "A-a-a-a …" Ia merangkulkan tangannya ke pundak Shaynara dengan akrab, yang malah membuat gadis itu kian canggung. "Tinggal di mana?" 

"Di kos-kosan, Bu. Beberapa rumah dari sini." Ada sebuah gelombang tak enak yang menyusup ke dalam dada yang membuat Shaynara merasa harus lekas berpamitan. "Kalau gitu, saya permisi dulu, ya Bu, ya. Mari." 

Mau tidak mau, Risma mengiyakan. "Ah, iya. Hati-hati di jalan, ya." Wanita itu malah mengantarkan Shaynara sampai ke teras. Tempat di mana beberapa orang tetangga dan keluarga masih berkumpul. 

Lihat selengkapnya