Ada keheningan yang timbul dalam lingkaran itu, karena sosok yang ditanya malah bungkam. Shaynara memejamkan matanya beberapa detik, sebelum menarik napasnya dalam-dalam.
"Maaf, Uwak. Aku … aku belum …" Shaynara menggeleng. Benar. Ia belum bisa menjumpai orang dalam kondisi terbaring di ranjang rumah sakit. Apalagi, ini ICU. Ruang di mana terdapat berjubel alat dan kabel-kabel hanya untuk menopang hidup manusia; pamannya.
Nafisah mengangguk-anggukkan kepalanya lemah, beberapa kali. Ia mulai berpikir, mungkin keponakannya sudah sebegitu bencinya pada keluarga mereka yang selama ini menjadi parasit.
"Uwak mengerti," sahutnya serak.
Siang itu, Shaynara batal menengok pamannya. Kedatangannya di rumah sakit hanya sebatas setor muka. Mereka lalu bertolak lagi, pulang ke rumah, usai memberi kabar pada Nindya, untuk menyusul nanti ke rumah saja. Tak akan ada yang menunggu di rumah sakit itu jika ia ke sana.
Shaynara tidak melakukan apa pun begitu pulang, kecuali rebah di kamar, dalam kondisi pintu tertutup. Ia butuh istirahat. Fisiknya lelah, karena semalaman ia tidak jatuh terlelap. Namun, setelah menjumpai kasur yang ia rindukan diam-diam pun, matanya yang merah malah terbuka nyalang, memandangi langit-langit kamarnya yang terang.
Ini bukan duka. Perasaan yang merayapi hatinya ini bukan duka, bukan pula iba. Shaynara sendiri bingung mendeskripsikannya. Ini paduan sesal, kecewa, marah, dan terluka.
"Ayna …"
Pintu kamar tahu-tahu terbuka. Tantenya mencuat dari sana, lalu menutup pintu itu kembali.
Shaynara mendesah. Di saat ia butuh menyendiri, tantenya malah masuk begitu saja. Ia menyesal tidak mengunci pintu itu tadi.
"Iya, Wak?" Ia tegakkan tubuhnya. Mengubah posisi dari telentang menjadi duduk. Selimut yang semula membungkus tubuhnya sampai dada, kini jatuh, hanya menutupi pinggang ke bawah.
Nafisah yang sudah lebih segar usai mandi, meski wajahnya masih ada sisa duka dan luka, kini duduk di tepian ranjang. Di tangannya, terselip sebuah amplop.
"Ini," Ia sodorkan benda itu, "titipan dari Uwak-mu. Katanya, tolong diberikan pada Ayna kalau Ayna datang. Itu ditulis Uwak-mu setelah Uwak nelepon kamu. Uwak Nafi nggak tahu isinya bagaimana. Belum Uwak buka."
Kening Shaynara berkerut-kerut ketika memandangi benda itu lekat-lekat, sebelum menjembanya.
"Uwak Nafi permisi, ya. Kamu istirahat saja dulu." Kemudian, wanita itu beringsut, lalu hengkang di balik pintu yang mengatup.
Begitu langkah kaki yang sedikit terseret itu terdengar menjauh, Shaynara mendengkus. Antara merutuki dirinya sendiri, juga merutuki keluarganya. Seharusnya, niat awal ia datang ke sini, adalah menjadi penyokong bagi tantenya. Kini, yang berlangsung malah sebaliknya. Orang-orang di rumah ini, malah tampak lebih tegar, lebih kuat, seolah telah menerima apa pun yang menanti di depan mata. Sementara Shaynara, Si Orang Asing, justru diberi motivasi, karena tampak rapuh dan lemah.
Tangannya bergerak, membuka lembar amplop yang benar-benar masih tersegel. Di dalamnya ada secarik kertas lain. Sepertinya surat.
Shaynara membacanya. Tulisan tangan pamannya sangat khas, mirip tulisan ayah Shaynara. Setiap hurufnya tersambung seperti tali dan miring ke kiri.
Assalamu'alaikum, Ayna.
Kalau kamu membaca ini, mungkin Uwak sudah tdk bisa menulis lagi. Surat ini Uwak tuliskan, khusus buat Ayna. Karena Uwak malu. Uwak malu ngomong langsung pada Ayna.
Ayna, anakku yg baik, Uwak sungguh minta maaf. Seharusnya setelah Rusdi, Papamu tdk ada, Uwak yang mengurusi kamu sesuai wasiat beliau. Tetapi yg terjadi malah sebaliknya. Uwak-lah yang diurusi sama kamu. Kekacauan yg Uwak buat, malah kamu yg coba benahi sendirian.
Uwak tahu, Ayna sebetulnya membenci Uwak. Membenci keluarga Uwak. Tapi, dgn tdk tahu malunya, keluarga Uwak tetap menumpang di rumahmu. Uwak tahu kenapa kamu putuskan utk kerja di Depok bukannya balik ke Bogor sehabis lulus kuliah. Itu karena kamu tdk suka lihat keluarga Uwak yg cuma menyusahkan.
Utk itu semua, Ayna, anakku yg baik, Uwak mohon maaf yg sedalam-dalamnya. Uwak benar² menyesali semua yg terjadi di masa lalu. Uwak juga ingin bilang terima kasih, terima kasih, terima kasih pada Ayna, karena Ayna tdk langsung mengusir Uwak dan keluarga dr rumah, padahal Ayna benci sekali. Terima kasih, Ayna. Terima kasih banyak. Dan Uwak minta maaf.
Kalopun pada akhirnya, Ayna tdk bisa memaafkan Uwak, Uwak akan ikhlas. Mungkin kelak akan ada balasan dari Tuhan atas apa yang sudah Uwak lakukan. Tapi bagaimanapun jadinya nanti, Uwak harap, Ayna selalu bahagia.
Rusli
Tangan Shaynara yang mencengkeram ujung kertas itu, gemetaran. Begitu pula bibirnya. Ia memejamkan matanya, rapat-rapat. Berusaha memusnahkan kecamuk aneh yang tiba-tiba saja melanda hatinya. Tidak. Shaynara tidak sedih. Ia marah. Ia marah karena pamannya malah mengucapkan segala ini sekarang, bukannya dulu sekali. Ia marah karena permintaan maaf sebanyak apa pun, tidak akan bisa kembali mendatangkan segala yang terenggut dari tangannya. Ia marah karena merasa pamannya bermaksud memberinya antiklimaks sepihak, padahal Shaynara tengah berkobar-kobar. Ia marah, karena ia seolah tidak punya pilihan lain, kecuali memaafkan keluarganya. Ia marah, karena sadar bahwa di sini, ialah tokoh yang lemah dan seolah minta untuk dispesialkan sendiri.
Air matanya turun dengan deras. Setelah sekian lama Shaynara hidup membenci pamannya dan keluarganya yang tersisa, kini ia harus memaafkan apa pun yang mereka lakukan sebelum-sebelum ini, mengabaikan semua yang terenggut dari tangannya sebelum-sebelum ini, karena pamannya yang sekarat, kini memintanya. Dan, jika Shaynara Kiranatazi Anggraini tidak melakukan itu semua, maka ialah yang jahat dalam skenario kehidupan ini.
Shaynara mengubur surai-surainya yang berantakan, ke dalam cengkeraman kedua tangannya. Sejenak, ia merasa dirinya nyaris gila.
***
"Assalamu'alaikum."
Risma melirik jam di dinding, tepat di atas televisi yang tengah menampakkan salah satu FTV favoritnya. Pukul delapan malam. Dan, putranya kini sudah kembali dari bertugas setelah hampir dua puluh jam.
Begitu Gavindra dalam balutan jaket kulit berwarna hitam dan celana panjang yang sudah tidak rapi lagi itu memasuki ruang tengah, layar televisi padam begitu Risma menekan tombol power di remote. Melenyapkan suara yang sedari tadi memenuhi ruangan.
Wanita sontak berdiri. Menyambut kedatangan putranya. Membuat Popo yang sedang malas-malasan di atas karpet, tersentak akan gerakan yang tiba-tiba.