Akhirnya, Shaynara bisa pulang ke Depok dengan tenang. Setelah kembali ke rumah dari rumah sakit tadi, telah ia lewatkan sesi berpamitan pada tantenya. Meminta maaf, lagi. Nafisah berkali-kali berterima kasih, dan berkali-kali pula balik meminta maaf. Keduanya dilakukan wanita itu sambil menangis dan memeluk Shaynara. Seolah sudah tahu apa saja yang Shaynara katakan di depan Rusli di dalam ruangan yang tak ia masuki.
Selepas itu juga, ia diantar Nandaru ke rumah. Dan, di tengah kesibukannya mengepak tasnya kembali, Shaynara sempatkan waktu lebih lama untuk memperhatikan sekeliling rumahnya.
Rasa kecewa itu masih saja ada. Kecewa, karena sebagai pemilik semestinya, Shaynara justru lebih cocok disebut sebagai tamu. Mungkin, rumah ini memang sudah memilih penghuni baru. Mungkin kini memang sudah tak ada lagi tempat yang layak Shaynara sebut rumah. Satu-satunya titik nyamannya, hanyalah petak seluas enam kali enam meter yang ia sewa di kota sebelah.
Maka, inilah yang pantas ia sebut pulang.
Kini, kepalanya sibuk menyusun rencana untuk hari-hari yang menghadang di depan sana. Seperti, bagaimana ia bisa menjemput pakaiannya di penatu pagi-pagi sekali. Strategi pertama, ia akan mengirimkan pesan kepada pemilik laundry, untuk diizinkan menjemput baju-bajunya nanti subuh, selekasnya begitu tiba di stasiun. Strategi kedua, ia akan pergi ke penatu sebelum ke kantor. Kesemuanya tidak ada yang enak. Yang satu merepotkan orang lain, sisanya ia yang repot.
Shaynara memutuskan untuk memikirkan itu nanti, ketika ia sudah tiba dengan selamat di indekosnya. Ia dan strategi, ia dan rencana, ia dan susunan ambisi, jelas bukan pasangan yang klop. Karena apa pun yang ia perandaikan, akan selalu dihempas realita.
Benar sekali. Termasuk kali ini.
Kepulangannya harus tertunda. Sewaktu Shaynara sudah berada di stasiun pagi-pagi buta dan membeli tiket di loket yang selalu terbuka, Nandaru dan matanya yang merah karena keseringan begadang, yang semula terpasak pada layar ponsel, malah menyeru dan menatap Shaynara dengan histeris. Air matanya tercurah ke pipi. Petugas loket dan beberapa calon penumpang sampai menengok ke arah mereka. Bertanya-tanya, siapa lagi orang gila yang menimbulkan keributan di stasiun pagi buta.
"Teh ... Teteh ... " Nandaru terus-terusan terisak dan karenanya, tak sanggup berkata-kata. Perasaan Shaynara jadi tidak keruan. Ada hawa tidak enak yang mendadak menyusupi hatinya.
Tangan Shaynara mengguncang-guncangi pemuda dua puluh satu tahun itu. "A? Ada apa? Kasih tahu!" desaknya separuh menuntut.
Nandaru masih menangis. Mulutnya terbuka, tetapi yang keluar dari sana, hanyalah desah napas dan alfabet pertama yang panjang. Itu jelas bukan kata-kata yang bisa dipahami manusia. Lututnya jatuh ke aspal. Mengundang perhatian lebih banyak orang lagi.
Sebuah alarm tiba-tiba saja berdering di kepala Shaynara, ketika pada detik yang sama dengan waktu Nandaru jatuh berlutut, ponselnya bergetar, lalu berdenting. Gadis itu merasa jantungnya bergemuruh. Ia merogoh ponsel dari saku jaket bagian dalam, dan mendadak, kakinya terasa lemas. Seolah tulang-tulangnya lenyap begitu saja.
Padahal Shaynara sudah akan pulang. Padahal Shaynara sudah tak ingin berlama-lama di sini. Padahal cuciannya menanti untuk ia jemput. Padahal ia butuh masuk kerja hari ini.
Namun, berbagai rencana itu benar-benar diempaskan oleh realita. Deret agenda untuk hari ini, mendadak harus ditiadakan karena satu perkara:
Pamannya meninggal.
***
Lilian bolak-balik melongok ke arah pintu masuk ruang staf operasional dan arloji di tangan kiri. Bahkan sampai hampir pukul setengah delapan, belum juga ada tanda-tanda Shaynara yang akan melewati pintu geser itu dan menyapa mereka semua.
Shaynara jarang sekali datang terlambat. Malahan, ia lebih sering jadi pegawai yang tiba paling awal, di saat karyawan lain masih makan atau justru belum mandi di kediaman masing-masing. Namun, hari ini, dalam jarak setengah jam menuju waktu kantornya untuk beroperasi pun, gadis itu belum juga datang.
Desahannya terlempar. Wanita itu kembali menekuri pai lemon dari kotak makan Idlina dengan sedikit terburu-buru. Separuh ketagihan, separuh dalam rangka menyumpal mulutnya yang gatal memuntahkan pertanyaan pada siapa pun, tentang keberadaan Shaynara. Mungkin memang ada yang punya jawabannya, tetapi ia tidak mungkin memulai pertanyaan itu. Ia akan malu separuh mampus. Seisi kantor sudah tahu, ia dan Shaynara sudah seminggu lebih tak saling menyapa.
Suara konfirmasi mesin presensi membuat kepalanya berputar lebih cepat dari yang ia kira. Sayangnya, yang berikutnya muncul dari pintu geser itu bukan perempuan mungil yang ia nantikan kehadirannya, melainkan kepala unitnya yang botak sebagian. Kepalanya yang botak mengkilap ditempa cahaya lampu, nongol lebih duluan karena proporsi tubuh yang sedikit bungkuk. Laki-laki itu meletakkan tasnya ke atas kursi putar, lalu memelototi beberapa karyawan yang masih bersantai.
"Lho? Kok malah masih di sini? Apel pagi, HEI!" seru Hasan sambil bertepuk tangan geram, sebelum kemudian keluar ruangan lebih duluan.
Wirda, karyawan back office yang tadi ikut menyicipi pai lemon, bersungut-sungut usai atasannya lenyap di belokan koridor. Wadah berisi sisa pai lemon buatan Idlina harus ditutup untuk sementara waktu.
"Beuh. Kata Bapake yang malah datang telat."
Semua karyawan kantor cabang mereka berkumpul di ruang tunggu yang bangkunya belum dijejerkan. Dari unit operasional, finansial, sampai manajerial. Namun, Lilian masih menanti dengan cemas. Shaynara belum juga muncul.
Kepala cabangnya yang akhirnya bersuara, usai pandangannya mengabsen satu per satu karyawan yang sudah tiba.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat pagi," bukanya, yang lantas disahuti salam yang tidak serempak dan lebih terdengar seperti, 'Was-wes-wos-katuh.'
Lelaki itu mengedarkan pandangannya lagi. "Sebelum kita memulai kegiatan doa bersama, saya membawa pengumuman kecil. Hari ini dan besok, salah satu front officer kita, Mbak Shaynara, tidak masuk. Kita semua dapat kabar duka. Paman Mbak Shaynara yang merupakan walinya, meninggal dunia tadi sebelum subuh."
"Innalillahi wa innailaihi raji'un …" Gema seisi ruangan itu menyahut. Lagi-lagi, terdengar serempak hanya pada bagian ekor-ekornya saja.
Lilian terpaku di tempatnya. Paman Shaynara yang merupakan walinya? Paman Shaynara yang mana? Ia bahkan tidak tahu gadis itu punya paman yang masih hidup sebelum ini.
Kepala cabangnya kembali bersuara, "Pak Robby," ia menoleh pada seorang staf inventarisasi, "nanti tolong kirimkan karangan bunga ke rumah duka. Eh, ada yang tahu alamat rumah Mbak Shaynara di Bogor itu di bagian mana?"
Seisi ruangan itu hening. Hanya mata mereka yang saling lirik dan saling pandang. Shaynara Kiranatazi Anggraini atau yang mereka sapa 'Mbak Nara' tidak pernah memberi alamat rumahnya pada mereka.
"Nggak ada?"