Senja adalah penutup dari hari yang berat. Dan, mungkin benar, malam adalah waktu yang diberikan sebagai bonus untuk beristirahat. Ketika malam datang, pikiran manusia barangkali bisa lebih relaks. Atau bisa jadi matahari punya kekuatan ekstra selain fungsi sebagai pemanas dan sumber kehidupan bumi. Ia juga menjadi pemanas dan sumber kehidupan bagi serdak-serdak emosi.
Begitu lembayung pergi ditelan kegelapan malam, dan Shaynara menuntaskan ibadahnya, hati gadis itu jadi lebih tenang. Entah memang pengaruh dari malam itu sendiri, air wudu yang membasahi diri, atau pengaruh kosmik yang biasa orang-orang obrolkan, terkait kekuatan dari lafal dan gerakan berdoa. Meski kekosongan dan kesunyian itu tetap saja bersisa.
Setidaknya, Shaynara sudah bisa menyentuh ponselnya lagi. Ia sadar, hari terus berlalu dan tidak ada gunanya Shaynara berdiam diri. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengirimkan pesan pada petugas laundry kalau sebentar lagi, Shaynara akan menjemput pakaiannya yang sudah tiga hari mendekam di sana. Petugas penatu mungkin mengira Shaynara sudah menjual pakaian-pakaiannya saking lamanya didiamkan.
Kemudian, gadis dua puluh tiga tahun itu mengecek pesan-pesan yang datang dan membalasnya satu per satu dengan ucapan terima kasih karena sudah turut berduka.
Jemarinya berhenti mengguliri daftar pesan, ketika matanya menemukan sebuah nomor yang tidak tersimpan di ponsel. Begitu pesan itu terbuka, mulutnya ikut membuka. Jantungnya mulai berulah lagi.
Shaynara, ini aku, Gavindra. Kudengar, walimu meninggal. Aku turut berduka cita. Semoga Allah mengampuni dosanya dan menerima amalnya.
Kamu, baik-baik saja?
Shaynara bisa merasakan bagaimana darahnya mengalir bergitu lancar ke tangan, kaki, dan kepala, karena pompanya bekerja amat cepat. Sampai Shaynara merasa kesulitan mengimbanginya dengan deru napas yang normal. Apa ini? Apa yang terjadi? Reaksi tubuh macam apa ini? Kepalanya tak tanggung-tanggung menyodorkan adegan ketika ia dan sang pengirim pesan berada dalam posisi yang sangat dekat, sampai Shaynara samar-samar ingat bau parfum yang lelaki itu pakai.
Wajah Shaynara panas.
Ia benar-benar harus membuat janji dengan dokter spesialis jantung. Sepertinya, penyakitnya mulai tambah parah. Atau... ini sebetulnya reaksi yang manusiawi? Sesuatu yang sering ia temukan di novel-novel romantis?
Perempuan itu menggeleng. Tidak. Tidak mungkin itu. Kalaupun mungkin, ini bukan saatnya Shaynara memikirkan hal itu. Dan, jika saja ini memang saatnya Shaynara memikirkan hal itu, ia tahu tak akan ada harapan yang merekah di ujung pintu yang lancang ia buka. Shaynara Kiranatazi Anggraini dan kebahagiaan bukan sesuatu yang padu. Mungkin karena namanya yang mirip salam pada akhir pertemuan, setiap kebahagiaan yang timbul baru sebagian akan lekas berangkat sambil bilang, "Sayonara, Shaynara..."
Shaynara yang masih terbungkus mukena berwarna ungu muda, mencoba mengatur napas sembari menghitung sampai lima belas. Sesuatu yang selalu ia lakukan dalam rangka mengembalikan kewarasan. Dan, memang ampuh. Napas yang dikontrol perlahan bisa menentramkan jantungnya yang memberontak seperti timangan sayang seorang ibu pada anaknya yang meraung.
Jemarinya mulai membalas pesan itu.
Terima kasih, Pak Polisi. Aku baik-baik saja.
Kenyataannya, Shaynara tidak baik-baik saja. Lihat. Ia bahkan luput bertanya, bagaimana nomor ponselnya bisa sampai di tangan Gavindra, dan dari mana laki-laki itu bisa tahu soal kabar duka ini.
Ketika ponsel itu sukses dihantarkan sinyal-sinyal elektrik di udara kepada piranti tujuan, air yang diminum Gavindra tumpah ke baju dan celana. Beruntung, ia belum sempat mengganti bajunya dengan busana dinas. Dan, beruntung pula karena ibunya kini sedang mematut layar televisi, bukannya ada di dalam kamarnya. Jika wanita lima puluh enam tahun itu menyaksikan bagaimana Gavindra tersedak karena minum sambil menatapi layar ponsel, dan bajunya lantas basah oleh itu, sudah pasti bakal ada amukan sejenis, "Gavindra Mahesa Wijaya! Itu kenapa Almarhum Papamu bilang, jangan makan dan minum sambil main hape!"
Namun, Gavindra bersumpah. Barusan jantungnya terasa berhenti lebih meski durasinya tidak sampai satu detik.
Pesannya terbaca dan dibalas. Kendati deret kalimat di dalam layar jelas tidak ia percayai. Shaynara bukan tipe manusia yang baik-baik saja dalam kondisi seperti ini. Tetapi Gavindra mengerti. Balasan 'baik-baik' saja, terkadang digunakan untuk membungkam mulut orang yang bertanya untuk bertanya lebih lanjut. Dan, Shaynara juga bukan tipe manusia yang senang diinterogasi.
Sekelebat pikiran di kepalanya melintas. Sosok Gavindra v.02 dalam balutan seragam harian polisi bersedekap sambil mencibir, 'Memangnya sudah sekenal apa lo sama Shaynara, sampai sok tahu tentang dia tipe yang kayak gimana?'
Tangan Gavindra terangkat, menyentil Gavindra v.02 hingga jatuh dari atas kepalanya dan lenyap seketika dengan suara, 'Puf!' Ia kembali memfokuskan diri pada ponsel di tangan, mengabaikan baju dan kasur yang ternyata ikutan basah. Menangkap fakta kalau sosok di seberangnya sedang berada dalam jaringan, Gavindra membalas lagi.
Aku harap kamu benar-benar baik-baik saja.
Di seberang, Shaynara tertegun. Kalimat pengharapan untuknya sudah tiga kali disampaikan orang yang berbeda; pamannya di dalam surat, tantenya sewaktu memeluknya erat, dan pesan Gavindra yang tiba begitu cepat. Semuanya sampai dalam jarak yang begitu singkat, seperti sebuah isyarat. Isyarat agar Shaynara memang benar baik-baik saja, dan memang benar bahagia. Gadis itu tersenyum kecil. Ia juga berharap demikian, tetapi belum tentu dengan Semesta.
Pesan balasan Shaynara berikutnya cuma satu kata dan lima huruf: "Trims". Gavindra, yang sebelumnya sudah berkobar-kobar, kini terpaksa memadamkan apinya lagi. Mungkin gadis di seberang sambungan memang masih berduka dan butuh waktu sendiri. Maka, ia putuskan untuk tidak membalas lagi.
***
Geliat Shaynara yang terjeda sejenak, sebagaimana apa yang pernah ia pintakan dalam harapan lepas, kini dimulai lagi, malam itu juga. Ia tidak bisa berhenti mengayuh terlalu lama. Dunia akan terus berjalan, dan ia harus berlari lebih cepat untuk mengejar ketertinggalan.
Peristiwa kedua yang menjadi pertanda terbangkitnya kembali hidup Shaynara usai membalasi ratusan pesan belasungkawa yang masuk, adalah menjemput pakaiannya. Ia harus menjelaskan alasan mengapa dirinya terlambat datang, agar tidak ada uang titipan tambahan yang mesti dibayarnya. Begitu tahu kalau gadis itu baru saja mengalami kedukaan, pemilik usaha penatu pun merendahkan suaranya yang melengking tinggi. Dan, Shaynara bersumpah, ia tidak akan menggunakan laundry itu lagi.