Handcuffed Heart

Celestilla
Chapter #13

Tiga Belas: Memang Belum Masanya

Wanita berjas putih di hadapan Shaynara menatapnya dari balik kacamata dengan kening berkerut. 

"Jadi, gangguan irama jantung yang Mbak rasakan ini berdetak lebih cepat, ya? Nggak pernah lebih lambat?"

Shaynara mengangguk. "Iya, Dok."

Didorong oleh rasa cemasnya akan detak jantung yang bisa tiba-tiba saja meningkat, dan mimpi hampir sepekan yang lalu, Shaynara melabuhkan dirinya pada salah satu kardiolog di kotanya sepulang kerja. Ada rasa takut untuk mengetahui apa yang sebetulnya berlangsung dalam dirinya, tetapi itu tidak sepejal rasa ingin tahunya. Ia tak ingin bernasib sama seperti anggota keluarganya, yang terlambat tahu kondisi diri. 

"Kalau pas lagi istirahat, santai gitu, pernah sesekali detak jantungnya meningkat juga?"

Sejenak, Shaynara berpikir. "Pernah, Dok." Istirahat dan memikirkan Gavindra. 

"Sesak napas juga?"

"Terkadang."

"Pernah sampai pingsan?"

Shaynara menggeleng mantap. "Alhamdulillah, nggak pernah, Dok."

"Cuma nyeri dada, sesak napas, jantung berdebar, gitu, ya? Punya riwayat penyakit jantung dalam keluarga?"

Ini yang Shaynara khawatirkan. Ia mengangguk lemah. "Ayah dan ibu saya, keduanya meninggal karena serangan jantung."

"A …" Dokter itu mengangkat wajahnya dengan ekspresi cemas. "Ayah perokok?"

"Iya, perokok berat. Ibu nggak."

"Mbaknya nggak, 'kan?"

Shaynara menggeleng mantap. "Nggak sama sekali." 

"Ada konsumsi obat?"

"Nggak ada, Dok."

Dokter itu menoreh sesuatu di kertas yang ketika Shaynara tengok, tak bisa ia baca sama sekali. Tulisannya lebih mirip rumput kering.

"Kita periksa dulu ya, Mbak." Dokter bangkit dari kursi kerjanya. "Silakan tiduran dulu."

Shaynara yang masih dalam balutan seragam kerjanya, merebahkan diri ranjang. Sementara sang dokter kini memasang eartips stetoskop ke kuping. Ujung dari stetoskop yang permukaannya rata, ia tempelkan pada dada kiri Shaynara yang sebelumnya dimintanya membuka kancing atas. "Rileks aja, Mbak." 

Yang diperintah, mengatur napas. 

Usai menghitung sampai semenit, dokter itu kembali mengangkat stetoskop dan menanggalkan eartips. Ia merogoh saku, mengambil pulpen dan kertas dari dalam sana.

"Mbaknya sering kelelahan, nggak?"

Shaynara berpikir sejenak. "Iya." Lelah fisik dan mental.

"Tapi sekarang nggak lagi lelah, 'kan?"

"Nggak kok, Dok."

"Kita perlu pemeriksaan lebih lanjut lagi, soalnya, tadi meskipun dalam semenit kecepatannya cukup normal, seratus detak per menit, tetapi ada momen di mana jantung Mbak detaknya lebih cepat."

Napas Shaynara tertarik. "Pemeriksaan gimana ya, Dok?"

"Namanya tes EKG." Ia menunjuk alat alektronik yang terletak di samping ranjang. Shaynara mendesah. Kabel-kabel lagi. Ia hampir muak dengan piranti kesehatan begini. "Ini untuk mengecek lebih akurat, ada masalah di bagian mana." 

Shaynara berpikir sejenak. "Ini harus malam ini, atau ..."

Dokter menggeleng. Senyumnya yang ramah terpasang. "Nggak, nggak harus. Kalau Mbak mau, malam ini, bisa. Cuma, biayanya--"

"Saya nggak masalah soal biaya," sambar Shaynara cepat, agak sombong. Padahal, dalam hati ia sudah meringis.

"Oke." Dokter mengangguk. Padahal, tadi ia mau menyampaikan bahwa biaya tes ada di luar jasa konsultasi. "Malam ini berarti, Mbak?"

"Iya." Shaynara membenarkan. Ia ingin semua pemeriksaan ini lewat lebih cepat karena enggan dihantui dugaan akan penyakit apa yang ia derita. Banyak pikiran bisa menambah risiko diserang penyakit atau menambah parah penyakit itu. Apa yang harus ia pikirkan sudah keterlaluan banyaknya, tak perlu ditambah lagi.

Dokter memanggil asistennya, gadis yang tadi mendata kedatangan Shaynara, yang kemudian datang membantu. Ia aktifkan setiap piranti dari mesin dan kabel-kabel yang membuat Shaynara tak kuasa melihat. Gadis itu memalingkan muka. 

"Mbaknya, tolong, bisa buka baju sama branya?"

Bola mata Shaynara nyaris mencelat. "Ya?"

Dokter tersenyum paham. "Ini untuk kepentingan pemeriksaan kok, Mbak. Soalnya, nanti ada alat yang mau dipasang di dada, perut, dan lain-lain."

"O … ke, Dok." 

Ragu, Shaynara pelan-pelan melepaskan kaitan kancing bajunya. Kemudian tank top-nya, lalu menyusul bra. Ia merasa malu sekali. Namun, dokter dan asistennya tampak begitu profesional. Shaynara teringat pada saran Lilian kemarin, untuk lebih mempercayai orang lain. Ia ingin percaya dan ia ingin sembuh dari apa pun yang ia derita. Ia pantang tunduk pada takdir seperti kedua orang tuanya. 

"Silakan berbaring dulu ya, Mbak. Tangannya tolong dijauhin dari kaki."

Shaynara merasa risi karena perlu berbaring lagi, kali ini tanpa bra. Apalagi ketika tangan dokter itu bergerak membersihkan kaki dan tangannya dengan kapas yang telah dibasahi alkohol. Sepintas, ia bersyukur. Dokter yang dipilihnya, beserta asisten dokter itu, adalah wanita.

Asisten dokter mendekat lagi, memasang beberapa elektroda ekstremis yang di mata Shaynara mirip penjepit pakaian, pada keempat anggota geraknya. Shaynara merasa dirinya mirip seolah tengah dipasung.

Barulah kemudian, kabel-kabel lainnya yang bagian ujungnya mengingatkan Shaynara akan pin, terpasang berjejer di dada kiri, sampai pinggang kirinya. Butuh kekuatan ekstra dalam menahan rasa geli seperti dikitik-kitik kala tangan orang lain menyentuh kulit sensitifnya.

"Rileks aja, Mbak," Dokter mengingatkan lagi.

"Ini lama ya, Dok?" 

"Nggak. Mohon diam, ya. Biar kita bisa lihat hasilnya."

Ultimatum itu telah memaksa Shaynara membungkam mulutnya. Keheningan yang berlangsung selama sudut matanya menangkap apa saja yang berlangsung di sebelah kanan ranjang itu, justru membuatnya makin gugup. Ia menarik napas, mengembuskannya lagi pelan. Berusaha mengingat peristiwa yang sekiranya bisa membuatnya rileks. 

Namun, otaknya memberontak dengan caranya sendiri. Yang dihadapkan oleh impuls memori malah sesuatu yang sukses membuat jantungnya terpacu begitu kencang; ketika mata Gavindra berusaha mencari kedua matanya.

Sialan. Sialan. Sialan. 

Shaynara berharap semua ini bisa berhenti. Tanpa sadar, ia menggigit bibir dan memejamkan mata.

"Sudah selesai."

Shaynara menoleh, menemukan asisten dokter kembali menanggalkan seluruh piranti dari tubuhnya. Ternyata benar-benar cepat. 

Usai mengenakan kembali apa yang tadi ia tanggalkan, Shaynara kembali duduk di bangku, di hadapan dokter yang kini menekuri sehelai kertas.

"Shaynara Kiranatazi Anggraini. Usia?"

"Dua puluh tiga."

Dokter melirik jam di tangannya, dan menorehkan beberapa kata pada kertas itu. Kertas yang menampilkan grafik-grafik yang panjang.

"Ternyata, setelah dilakukan pengecekan, apa yang kami duga sebelumnya benar. Ada masa di mana jantung Mbak Shaynara berdetak lebih kencang, padahal tidak sedang dalam kondisi habis berolahraga dan sebagainya. Dengan kata lain, detak jantung Mbak tidak normal. Ini … aritimia4, lebih tepatnya takikardia supraventrikular5. Kondisi di mana jantung berdegup lebih kencang daripada seharusnya tanpa sebab yang jelas."

Shaynara tidak mengerti apa arti dari diagnosa ini. Nama penyakit tadi cukup ribet dan membangkitkan kecemasan bagi manusia yang awam istilah kedokteran. Yang ingin ia pastikan cuma satu. 

"Ini parah ya, Dok?"

Dokter tersenyum menenangkan. "Nggak. Kalau Mbak Shaynara bertahan dengan gaya hidup sehat, mengatur asupan makanan, dan olahraga teratur, saya yakin akan baik-baik saja. Nanti saya resepkan beberapa obat untuk ditebus."

***

Lilian melongok dari kotak makan siang Shaynara, mengerutkan hidungnya.

"Iyeuh. Sejak kapan kamu jadi vegetarian?"

Lihat selengkapnya