Memang belum masanya.
Setidaknya, kendati Gavindra pulang dengan membawa berita yang tidak seindah ekspektasi kepada ibunya, lelaki itu bisa mengenal Shaynara lebih dekat. Tidak ada lagi Shaynara yang menatapnya nyalang, seperti anjing herder galak punya Leo yang menggonggongi setiap orang asing. Tidak semua hubungan harus berlabuh pada romansa, bukan?
Tetapi ini kisah romansa.
Belum saatnya, bermakna akan ada saatnya. Akan ada waktu di mana Shaynara mengempaskan segala pesimisme dan skepstisme demi menyongsong kebahagiaannya sendiri. Dan, inilah segalanya akan bermuara pada saat yang tepat.
Dering telepon yang begitu tiba-tiba, mengejutkan Shaynara. Ia memejamkan mata, menghitung dari satu sampai lima belas, demi menyurutkan emosi.
Cat kukunya yang cuma bisa ia kenakan di saat sedang menstruasi, kini menceng dan tak rapi. Gara-gara panggilan itu, tentu saja.
"Halo, Mbak Lian?" Ia mengangkat telepon usai emosinya sukses disurutkan.
"Naraaa! Kamu udah lihat berita, belum?"
"Berita apa, Mbak? Di mana? Aku kan, nggak punya teve."
"Ya Allah. Buruan lihat! Briptu--eh, Brigpol Gavindra katanya kena luka tembak di lengan, dan kena tikam di pinggang gara-gara gelut sama preman semalam."
Shaynara tercengang. "A-apa, Mbak?"
Di seberang, Lilian sudah geregetan menjelaskan.
"D--di rumah sakit mana?"
"Katanya sih, di Bhayangkara. Tapi kita nggak tahu d--" Sambungan diputus dengan semena-mena. Di rumahnya, Lilian mengomel-ngomel. Sementara Shaynara lekas mengambil jaketnya, mengganti celana dengan celana jins, menyambar dompet, dan bergegas keluar.
Sepanjang perjalanan, jantungnya bergemuruh dengan dahsyat. Tidak. Jangan lagi. Jangan lagi ada orang yang meninggalkan dirinya, ketika Shaynara sudah lebih bisa menerima mereka. Sungguh, Maha Kejam Sang Pengatur Alam Semesta ini jika Shaynara benar-benar disetel untuk hanya ditinggalkan.
Aroma rumah sakit yang memualkan kembali menyapa penciumannya setelah sekian lama. Di tempat itu, Shaynara seperti buta arah. Tidak tahu harus ke mana dan hendak ke mana. Butuh waktu lima belas detik baginya untuk mengatur napas, dan lima belas menit baginya untuk bisa mencerna bahwa ada ahli navigasi bernama meja informasi. Gadis itu beranjak ke sana. Namun, rupanya butuh waktu lebih dari lima belas menit untuk menunggu. Ahli navigasi kita, sedang konslet sejenak karena telepon yang berdering tidak kunjung henti.
Shaynara berakhir di kursi yang dingin, menunggu sampai telepon-telepon itu permisi. Namun, rupanya, bantuan datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Pundak Shaynara ditepuk.
Ketika menoleh, gadis itu menemukan Kaspar sedang mengamatinya. Tahu-tahu, AIPDA berdarah Batak berseru, "Kau perempuan yang dulu menyerempetku, 'kan?"
Demi apa pun, Shaynara tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Haruskah ia berterima kasih pada Kaspar karena masih mengenalnya, ataukah ia harus merasa malu karena sebab yang sama?
Ujungnya, Shaynara tidak melakukan apa pun yang terbersit dalam pikirannya. Ia malah mengangguk, "Iya, Pak. Saya dengar Brigpol--".
Kaspar menyela sambil tersenyum miring," Oho, sudah kuduga. Tak apa. Brigpol Gavindra baik-baik saja. Sudah menjalani operasi pengangkatan peluru, dan jahitan luka. Tidak ada apa-apa."
Shaynara merasa tulang-belulangnya lenyap entah ke mana, lantaran jantungnya yang tiba-tiba saja memompakan darah setelah sebelumnya seolah sempat tertahan.
"Adik, sekarang sudah malam. Tak apa jika kau mau di sini, tetapi tak adalah gunanya. Brigpol Gavindra belum sadarkan diri karena masih ada dalam pengaruh obat bius, sementara sebentar lagi jam besuk sudah habis. Aku tak bermaksud mengusir, tetapi sebaiknya kau pulang sajalah dulu. Besok sore saja kau datang lagi. Semoga Brigpol Gavindra sudah sadar kembali."
Shaynara pun ikut bertanya-tanya, kenapa ia bisa berakhir di sini tanpa pemikiran panjang. Namun, gadis itu tetap mengembuskan napas lega. Setidaknya, dengan berada di sini, ia bisa tahu Gavindra tidak apa-apa.
Ia mengangguk, lantas berpamitan pada Kaspar dan berlalu. Sementara lelaki itu mengembangkan senyumnya. "Bah, betulan jadi ini, mereka? Memang berbakat kali diriku ini," gumamnya.
***
Gavindra sadar dari pengaruh bius saat hari masih pagi. Rafi yang bebas tugas, yang sedang menjaganya sambil mengupas apel untuk dimakan sendiri lekas menaruh kembali sisa buah beserta pisaunya.
"Vin, gimana perasaan lo?"
Tahu-tahu, Gavindra menyahut, "Gue patah hati."
Rafi bergidik. "Kayaknya lo emang lagi nggak baik-baik aja. Kehabisan darah bisa bikin otak lo gegar juga kali, ya." Ia menekan tombol pemanggil dokter.
Gavindra tertawa, kemudian meringis. Guncangan tubuh membuat jahitan di pinggang terasa ditarik dan nyaris terbuka.
"Elah. Jangan ketawa dulu!"
"Raf, lo aja yang jadi istri gue, gimana? Setia amat, perasaan."
"Otak lo kemakan curut!"
Gavindra nyaris saja tertawa lagi. Menahan tawa itu sulit sekali. "Ibunda Ratu ke mana?" Ia ingat, ibunya semalam juga ikut menemaninya.
"Ibunda Ratu gue minta balik aja dulu, diantar Tora. Nggak tidur beliau semalaman." Rafi merogoh ponsel dari saku. "Ini gue kabarin kalau lo udah siuman."
Gavindra mendesah. bunya terlalu memaksakan diri. Dan, dirinya merasa bersalah karena tahu, semua ini timbul dari kesembronoannya mencegat preman tanpa menduga akan ada serangan balasan.
Pintu terbuka. Tim medis beserta Kaspar, datang dari sana. Rafi sigap berdiri, memasukkan ponselnya kembali ke saku.
"Gimana perasaannya, Brigpol Gavindra? Ada yang sakit?"
Sejenak, Gavindra tidak tahu harus menyahut bagaimana. Di saat masih masa berkabung karena ditolak Shaynara satu pekan yang lalu, ia dua kali ditanyakan bagaimana perasaannya. Ia menahan lidahnya untuk menyahut, 'Sakit hati.' Tetapi untungnya, kewarasannya sudah kembali.
"Baik, Dok. Cuma, agak kesulitan karena jahitan di perut ini bikin susah gerak."
Suster mengecek kondisi setiap organ Gavindra, dan melaporkannya pada dokter, yang mengangguk-angguk samar.