Keramaian mungkin jadi salah satu hal yang paling dibenci Yuna. Karena sejak jerawatan, ia jadi takut untuk bertemu orang banyak. Bahkan, pergi ke warung berjarak satu meter pun rasanya sangat mengerikan.
Oleh karena itu, Yuna lebih memilih berada di dalam kamarnya sementara semua sanak saudaranya berkumpul bercanda ria.
"Fazi suka sama Aquilla?"
"CIEEE, CIEEE, CIEEE,"
"WOY AH, PJ-NYA MANA, NIH?"
Yuna refleks menutuo kedua telinganya dengan bantal. Mendengar kakaknya dengan sepupunya disandingkan sangatlah menjijikan.
Meskipun itu hanya candaan—karena tak mungkin saudara bisa menjalin hubungan—tapi hati kecil Yuna cemburu. Aquilla jadi seolah-olah ratu yang paling cantik yang dapat memikat hati laki-laki. Yuna juga ingin seperti itu. Disandingkan, dijodoh-jodohkan, laku akhirnya saling suka dan jatuh cinta. Yuna membayangkan Yoga-lah sosok yang disandingkan dengannya. Ah, manisnya.
Namun impian imajinatif Yuna dirusak ketika Maurin masuk ke kamarnya. Maurin menatap Yuna seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Na, ini lagi arisan keluarga, lho. Kamu mau terus diem di dalem kamar aja? Gak mau keluar?" tanya Maurin, "seenggaknya bantuin bikin minum sini."
Yuna pun segera bangkit. Ia hanya harus membantu membuat minum dan bisa segera kembali setelahnya. Yuna bisa mendapatkan kedamaiannya tanpa harus menghadapi neraka penilaian.
Maurin melangkahkan kakinya menuju dapur dengan dibuntuti oleh sosok Yuna. Ia mengambil sirup, sementara Yuna membantunya membawakan gelas dan es batu berbentuk dadu. Usai es sirup selesai dibuat, Yuna pun berjalan hendak kembali ke kamarnya.
Maurin mengernyit. "Kamu mau kemana?"
"Mau ke kamar, Ma," jawab Yuna tenang, "bukannya tadi mama bilang yang penting aku bantuin mama bikin es?"
"Bantuin bikin aja? Gamau bantuin bawain juga? Ck, kamu tuh ya kalo bantuin jangan setengah-setengah,"
Yuna mendesah berat. Ia mengurungkan niatnya, berbalik badan, lalu meraih nampan berisi beberapa gelas es. Gadis itu kemudian mengekori Maurin pergi ke arah ruang tamu.
Yuna maupun Maurin sama-sama meletakkan nampan yang dibawa keduanya di atas meja ruang tamu. Setelahnya, Yuna berbalik badan. Ini percobaan keduanya untuk kembali ke kamar.
"Na, sini, deh. Tante Kania mau ngomong sama kamu." Suara Kania sontak membuat Yuna memejamkan matanya. Rasanya Yuna ingin menangis saja. Sesulit inikah langkahnya hanya untuk kembali ke kamarnya sendiri?
Kania menepuk-nepuk karpet di sampingnya—memberi isyarat pada Yuna untuk duduk disana. Yuna pun pasrah, duduk di tempat yang dimaksud, sambil menunjukkan senyumnya yang terpaksa. Perasaannya mengatakan ada hal paling menyakitkan yang akan terjadi padanya.
"Kamu kok jerawatannya tambah parah, sih?" Kania menatap Yuna layaknya Yuna adalah seorang alien berkulit hijau.
Kania melanjutkan. "Padahal kakak kamu yang cowok aja mukanya bersih, lho, Na."