Tap-Tap-Tap. Suara langkah kaki Ella terdengar cepat. Cewek itu berlari menyusuri koridor dengan ritme napas dan jantung yang mulai melebihi batas. Kecemasan mulai menggerogoti perasaan Ella saat melihat tak ada satu murid pun yang tampak di luar, pertanda jam pelajaran sudah dimulai.
Kelas Ella berada pada lantai atas juga paling ujung. Tentu saja semakin memperlama ia untuk sampai ke sana.
Jantung Ella berdenyut cepat begitu ia telah berdiri di hadapan pintu kelasnya. Pintu itu bak benteng yang terbuat dari baja. Sampai-sampai membukanya saja terasa begitu berat. Ella menarik napas dalam-dalam. Tangannya gemetar hebat. Dengan takut-takut cewek itu memberanikan diri membuka pintu. Sreeek! Kontan seluruh mata merayap padanya. Dilihatnya pemandangan lumrah itu, seorang Shiella yang tengah terlambat. Sudah biasa bahkan terbilang membosankan. Badan Ella seketika menegang seperti tersengat listrik. Hanya sorot tajam dari balik kaca mata kolot. Kenapa rasanya semengerikan itu?
Guru berkumis tebal itu menghentikan aktivitas menulisnya. Namanya Pak Yudin, dia adalah guru tersadis sealam semesta. Hanya dengan wajahnya saja seolah Jin pun tahu bahwa auranya lebih menyeramkan dari bangsa mereka.
Mampus! Cicit Ella pelan saat guru itu memainkan telunjuknya meminta Ella mendekat. Seakan ada lem banteng yang melekat pada kaki Ella. Sumpah kenapa rasanya berat sekali? Dengan mengerahkan seluruh tenaga, jiwa dan raga Ella menghampiri gurunya yang berbadan lebar.
Guru itu bak monster yang siap menelannya kapan saja. Badannya menggumpal dengan kacamata setebal bantal, tangannya yang gemuk-gemuk mirip sosis sedang berkacak pinggang.
Teman-teman di kelas Ella menatap gereget dengan tontonan di depan. Mereka saling menerka-nerka azab apa lagi yang akan diturunkan pada cewek itu?
“God! Semoga Ella gak di kubur hidup-hidup.” doa Anna pada Tuhannya
“Paling juga dimutilasi jadi sepuluh bagian.” celetuk Rara asal.
“Terlambat lagi?” tanya Pak Yudin santai, tapi tatapannya itu loh, tajam mengkilat kayak pisau yang kapan saja bisa memotongnya.
Ella meremas jari-jarinya, tak berani mendongak ke atas ataupun membalas tatapan tersebut. Terlalu membunuh.
“I-iya pak!” Ella menjawab dengan suara nyaris tak terdengar. Kakinya gemetaran di tempat. Setakut itukah? Lantas kenapa ia tidak ada kapok-kapoknya untuk datang terlambat? Atmosfer semakin mencekam ketika Pak Yudin memainkan mistarnya. Ella waspada, benda itu terlihat bisa kapan saja melayang ke arahnya.
“Sepertinya kamu belum paham bagaimana kerasnya hidup,” Pak Yudin mangut-mangut sendiri. “Dan sepertinya saya harus mengajarkan itu,” guru itu masih mengetuk-ngetuk penggaris pada tangannya.
“LARI KELILING LAPANGAN SEBANYAK 50 KALI!”
Prang! Suara itu nyaris saja memecahkan kaca-kaca jendela. Teriakannya yang lantang ikut menggetarkan dinding-dinding kelas. Hampir saja para murid dibuat tuli berjamaah jika mereka tidak langsung menutup telinga.
“Tunggu apalagi? Pergi cepat! Setidaknya itu lebih baik daripada perbuatan kamu yang kriminal. Datang ke sekolah seenak jidat! Memangnya nenek moyang kamu punya hak apa?”
Itu guru mulutnya pedas amat ya? Kok nyelekit banget sampai ke paru-paru?
Daripada omelan bertambah, Ella buru-buru berlari keluar. Tapi baru saja akan melangkah, dari pintu kelas guru itu kembali teriak, membuat Ella berhenti di tempat.
“SHIEELA!”
Ella berbalik badan, mau apa lagi guru itu?
“Kamu lupa pemanasannya! Jalan jongkok dimulai dari sekarang!”
Damn! Lengkap sudah penderitaannya pagi ini, apakah hanya ia yang merasa bahwa ini sebuah penindasan? Demi gedung pencakar langit. Ella ingin sekali terjun dari sana mengakhiri hidup bersama dunia yang keji ini.
Dengan hati penuh dongkolan Ella pun melaksanakan hukuman nista tersebut.
-000-000-
“Dasar gajah guling gak punya hati!” Ella mengumpat sesukanya. Setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengurangi rasa kesal yang di lebih-lebihkan tersebut.
Bayangkan? Jalan jongkok dari lantai tiga sampai lapangan? Ide gila macam apa itu?! Tolong seseorang beritahu Yudin Handoko, jika ingin bengkak tidak usah ngajak-ngajak. Lihat saja, bahkan Ella bingung membedakan mana yang betis dan mana yang paha. Keduanya kelihatan sama besar.
Hosh-Hosh-Hosh. Ella mengatur napasnya yang mulai melambat, ia mengistirahatkan sejenak tubuh sebelum melaksanakan hukuman selanjutnya.
“Liat aja! Kalo gue mati hari ini, gue bakal gentayangin guru satu itu.” Ella menyusun dendam tertentu. Ia seperti punya kesan mendalam. Bagaimana tidak? Guru itu satu-satunya manusia terkejam di sekolah ini, manusia yang tidak memakai logika menghukum gadis manis dengan hukuman layaknya penghuni neraka.
“Ajal plis jangan dateng dulu.” Ella berlari-lari kecil, badan mungilnya sudah sempoyongan. Ini sudah ke dua puluh putaran cewek itu mengelilingi lapangan, keringatnya banjir membasahi seluruh tubuh. Kakinya? jangan di tanya. Ella sendiri ragu apakah kedua tungkai itu masih melekat di tubuhnya apa tidak.
Ella merasa matanya berkunang-kunang, kakinya benar-benar lemas. Badannya berasa seperti remukkan mie instan, dan seketika semuanya berubah gelap.