Ella duduk di atas rumah pohon yang tertutup oleh pepohonan yang menjulang tinggi ke atas. Hembus angin menyibakkan rambutnya, sudah menjadi rutinitas nano-nano cekrek berkumpul di sana untuk sekedar duduk-duduk memandang keindahan alam yang menyejukkan mata. Bisa dibilang tempat itu adalah rumah ke dua bagi mereka, Ella merasa tenang melihat indahnya pepohonan yang berjejer, awan- awan putih yang menggumpal, dan udara yang sejuk. Kadang rintik hujan yang lincah, dan bintang-bintang yang bersinar terang.
“Sumpah ya To, gue heran. Kenapa Mike alergi sama cinta? Gue curiga itu anak punya kelainan. Lo tau sendiri kan dunia ini diciptakan karena cinta,” Ella merungut sebal, berharap Ditto dapat sedikit menghilangkan rasa jengkelnya, “Ini udah yang ke dua puluh kalinya gue beliin novel buat Mike, tapi apa? Dia malah ngebuang pemberian gue gitu aja.” tatapan Ella berubah sayu.
Entah karena tabiat cowok yang tak tega melihat cewek bersedih atau karena Dito memang peduli dengan Ella, yang jelas ia tak bisa melihat sahabatnya itu murung. Ditto merangkul Ella memberikan sedikit ketenangan. Tak ada kata sabar terucap dari Ditto, tapi caranya memperlakukan Ella membuat cewek itu lebih lega dan nyaman.
Tiba-tiba saja Mike datang.
“Hi,” Mike berteriak dari kejauhan sambil melambaikan tangannya.
Tak ada jawaban dari Ella, hanya sebuah muka datar.
Mike menaiki anak tangga satu persatu. Dedaunan menggesek kulitnya, dan sinar matahari tembus dari celah rambutnya.
“Kenapa lo? Jutek amat,” Mike menggoda seolah tak pernah terjadi apa-apa, dan Ella tetap diam.
“Gue nggak mau ngomong sebelum lo baca itu novel.”
Ditto terkekeh mendengar ucapan Ella. “Lucu banget sih, nggak mau ngomong tapi lo ngomong. Udah jangan pada berantem, mending nanti malem kalian main ke rumah. Gue punya film horor baru.”
Mendengar kata film horor semangat Ella bangkit ia seperti kucing yang diberi umpan ikan. Apa pun yang berbau horor Ella menyukainya.
“Oke. Nanti malem kita ke rumah lo, To. Dan gue bakal ngajak Anna sama Rara.” seru Ella.
“Jangan ngajak Anna. Entar berisik.” protes Mike.
“Nggak pa-pa Mike, biar seru.” untuk hal ini Ella menepis rasa sebalnya pada Mike. Mungkin ini yang dinamakan sahabat. Tak bisa menyimpan rasa kesal terlalu lama.
-000-000-
Mike melirik jam yang melingkar di tangan kirinya, sudah jam tujuh malam tapi batang hidung Ella, Anna, dan Rara belum juga muncul. Begitu juga dengan Ditto, dia belum menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Mike beranjak dari sofa dan berjalan keluar rumah. Cowok itu menyipitkan matanya ke arah gerbang, kedua tangannya masuk ke dalam dua saku kantong celananya.
"Mike..." teriak Ella dari kejauhan. Mereka menenteng sebuah kantong plastik berwarna hitam.
"Astaga, kalian dari mana aja, sih? Kita janjian jam tujuh datengnya jam sembilan? Cewek emang nggak bisa dipercaya tau nggak?"
"Tau tuh beli kaset aja lama banget.” ucap Anna sambil mengunyah permen karet yang diletupkannya berulang-ulang.
"Kalian ngapain ribut-ribut diluar? Ayo masuk.” ajak Ditto.