Binar memasuki rumah sambil menghela. Perempuan itu baru saja pulang dari acara weekendnya bersama Tari. Satu-satunya sahabat yang ia punya.
Langkah Binar terhenti saat sayup-sayup rungu mendengar suara televisi yang menyala dari ruang keluarga. Ia yang sebelumnya berencana untuk beranjak ke lantai dua, perlahan putar haluan.
Matanya mengerjap cepat saat mendapati sosok Bu Airin tengah duduk manis menonton acara televisi sedangkan jemari asik menyuap biskuit Loma ke dalam mulut.
"Umi?" Gurat kebingungan nggak lepas dari mata bulat milik Binar. "Kok udah pulang? Katanya besok?" tanyanya lagi sambil berjalan mendekat dan mendudukkan diri tepat di sebelah sang Ibu.
"Iya dipercepat." bibir Bu Airin mencebik. "Abi tuh, ngerengek mulu minta pulang. Kangen sama si Robert katanya. Padahal Umi masih betah jalan-jalan di Ubud." timpah Bu Airin lagi.
Benar.
Urusan ke luar kota yang Binar sampaikan pada Ganendra pagi tadi bukanlah perihal urusan kerja. Melainkan jadwal berlibur kedua orangtuanya setiap akhir bulan tiba. Dan hal itu nggak bisa diganggu gugat oleh siapapun; termasuk Binar sendiri.
Binar menganggukkan kepala. Perempuan itu faham dengan sifat sang ayah yang akan selalu tantrum kalau berjauhan dengan Robert dalam waktu yang lama.
Binar sendiri bingung, kenapa ayahnya bisa menjadi bucin pada seekor unggas begitu. Kalau dilihat-lihat, ya nggak ada yang spesial dari Robert.
Bulunya tetap berwarna abu-abu. Paruhnya nggak jauh berbeda dengan burung perkutut kebanyakan. Dilihat dari sisi manapun, Robert jelas biasa saja. Tapi mungkin karena sudah dasarnya cinta, meski biasa saja tetap akan terlihat mempesona.
"Terus sekarang Abi di mana?"
"Ya di kandangnya Robert, lah. Memang mau di mana lagi? Gitu kok masih tanya." dengkus Bu Airin kesal. Berbeda dengan Binar yang tertawa pelan.
Amboi~
Nampaknya Ibu ketua RT penguasa IN Village itu benar-benar merajuk kali ini.
"Neng dari mana?" selidik Bu Airin dengan mata yang memicing. Memindai tampilan Binar dari atas kepala hingga ujung kaki.
Binar mengganti tawanya menjadi cengiran lebar. Tubuhnya yang sedikit lelah ia sandarkan pada sofa. "Habis keluar sama Kak Tari."
Mendengar nama itu terucap dari belah bibir anak perempuannya, Bu Airin lantas berdecak. "Tari melulu, bosen Umi dengar namanya." gerutu Bu Airin yang ditanggapi kekehan ringan oleh Binar.
Bukan berarti Bu Airin nggak suka sama perempuan bertubuh mungil itu, Bu Airin suka kok. Cuma maksud Bu Airin, Binar harus bisa cari teman yang lain selain Tari. Syukur-syukur sih pendamping hidup sekalian.
"Lagian juga Umi heran. Itu anak udah punya suami kenapa masih gangguin kamu terus sih Neng?"
Binar ketawa kecil. "Wajar atuh Mi...kan Kak Tari sama Mas Danu lagi LDR.an."
"Oh ya?" Bu Airin mbuletin matanya.
Binar ngangguk. "Iya..."
"Ya ampun...kasian amat deh. Udah punya suami tapi berasa jomblo." Bu Airin ngubah mimik wajah jadi sendu.
Binar ketawa lagi. Dan bertepatan dengan itu, Binar jadi keinget sesuatu. "Oh ya Mi ... tadi ada yang nyariin loh." ujar Binar.
Perempuan itu baru ingat dengan laki-laki yang tadi pagi datang untuk laporan. Binar sedikit lupa sama namanya. Mukanya gimana juga Binar lupa. Yang dia inget cuma lesung pipinya doang sama telinga yang caplang.
"Ada yang nyariin?" kening sang ketua RT nampak menekuk.
Binar ngangguk. "Iya."
"Siapa?"
"Warga baru...mau laporan katanya."
"Terus? Neng bilang apa?"
Binar mencomot satu buah biskuit Loma dari pangkuan Bu Airin. Memakannya dalam satu kali suapan, mengunyahnya hingga halus dan menelannya. Baru setelahnya Binar menjawab pertanyaan yang Bu Airin ajukan.
"Neng bilang, Umi lagi pergi ke luar kota. Terus, Neng suruh lagi buat ke sini besok sehabis Maghrib, gitu."
"Kenapa nggak sekarang aja?"
"Ya 'kan Neng mana tahu kalau Umi bakal pulang cepat atuh."
Bibir tipis dengan warna pink alami itu kembali mencebik. "Kan sudah Umi bilang, Robert tuh biang keroknya!" tandas Bu Airin dengan nada kelewat jengkel. "Heran Umi kenapa Abi bisa sayang banget sama dia. Padahal cuma burung perkutut."
"Cemburu nih ceritanya?" alis Binar naik turun tanda menggoda.
Bu Airin mendengkus, lalu mensedekapkan tangan di depan dada. Tampilan Bu RT saat ini serupa dengan banteng matador yang siapa untuk dilepas dalam gelanggang.
Memang kalau sudah membicarakan tentang Robert; si burung perkutut asli Jawa itu, Bu Airin kerap kali emosi.
Beliau kesal bukan kepalang lantaran merasa selalu dinomor duakan oleh pak Juna yang sebagian besar perhatiaannya hanya tertuju pada si unggas.
Padahal kalau butuh apa-apa, Bu Airin yang lebih dulu dicari oleh pak Juna. Namun jika sudah selesai butuhnya, Bu Airin diacuhkan begitu saja. Perlakuan Pak Juna ini ibarat pepatah 'habis manis sepah dibuang'.
Padahal Pancasila saja mengatakan bahwa, 'Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia'. Tapi kenapa Pak Juna nggak adil sama sekali?
Saat sedang asik menggerutu, tiba-tiba ponsel mahal milik Bu Airin yang tergeletak di atas meja berbunyi nyaring.
Sebab masih diliputi rasa kesal, Bu Airin menerima panggilan tersebut tanpa melihat lebih dulu siapa yang menghubungi.
"Assalamu'alaikum." sapa Bu Airin sedikit ketus.
Namun setelah tahu tentang identitas si penelfon, nada bicara Bu Airin berubah lembut.
"Wa'alaikumsalam, Umi...ini Mika." lirih sang penelfon dari balik sambungan.
Mikaila atau yang biasa disapa Mika itu adalah keponakan Bu Airin dari pihak Pak Juna. Berusia dua tahun lebih muda dari Binar namun sudah berhasil memimpin perusahan milik keluarga di tanah bakpia.
"Hm? Kenapa Le? Tumbenan nelfon?"
"Nggak apa-apa, cuma mau tanya aja. Teteh ada di rumah nggak? Kok Mika telfonin ponselnya nggak aktif?"
Bu Airin melirik pada Binar yang tengah asik menonton tayangan kartun pinguin berwarna biru.
"Ada kok ini, sebentar..." ponsel mahal miliknya, Bu Airin sodorkan pada Binar.
"Kenapa Mi?"
Dagu Bu Airin menunjuk ke arah ponsel. "Mika telfon, nanyain Neng. Katanya nelfonin Neng nggak bisa-bisa."