"Neng? Itu yang di dalam mobil anak siapa?"Â Biyu langsung nanya waktu ngeliat adik sepupunya keluar dari rumah sehabis pamitan sama Pak Juna.
Binar diam sejenak sebelum jawab pertanyaan Biyu. "Nanti Neng ceritain." katanya. "Udah ayo jalan, nanti terlambat." lanjut Binar sambil terus jalan ke arah halaman depan.
Biyu yang ngeliat Binar jalan ngeduluin dia, cuma bisa bengong di tempat. "Padahal ini juga udah telat; banget malah." ujarnya.
Ya nggak salah sih kalau Biyu bilang kayak tadi. Karena faktanya, gara-gara mendengarkan curhatan keduanya dan ngerayu Bu Airin sama Pak Juna biar mau baikan, Binar sama Biyu sampai harus mundurin waktu kerja mereka.
Sebenernya kalau Bu Airin itu mudah dibujuk kayak Pak Juna, ya jelas nggak akan makan waktu selama ini.
Sayangnya, mood Bu Airin udah kadung berantakan. Dan untuk ngebuat mood Bu Airin jadi baik itu lebih susah daripada nyariin si burung perkutut kesayangan Pak Juna pendamping hidup.
Untung ada anaknya Ganendra yang bisa bikin mood Bi Airin balik lagi cuma dalam sekali kedipan mata. Ya meski setelahnya ada harga yang harus dibayar, tapi ya nggak masalahlah. Yang penting tuh mood Bu Airin teratasi.
Flashback..
"ABIGAAIIIL!" Bu Airin mekik waktu ngeliat siapa yang manggil. Matanya berbinar kayak waktu ngeliat uang; bahagia banget.
Sementara Bu Airin nyamperin Abigail, Binar masih diam di tempat. Wajahnya bingung banget.
Apalagi waktu liat anak laki-laki kecil yang Bu Airin panggil 'Abigail' tadi keluar dari mobil yang sama kayak laki-laki yang Binar ingat sebagai warga baru di kompleknya.
Binar masih bingung, apa mereka ini ada sangkut pautnya dengan curhatan sang Ibu tadi atau bukan.
"Assalamu'alaikum." sapa Ganendra.
Binar yang kenyataannya tadi lagi bengong karena kebanyakan mikir, jadi kaget karena sapaan Ganendra yang tiba-tiba.
"Eh iya... wa'alaikumsalam, Mas." balas Binar sedikit kaku.
Maklum, masih sedikit kaget dianya. Ganendra senyum doang sambil gendong Abela di tangan sebelah kiri.
"Neng... udah kenal sama Nak Nendra kan?" tanya Bu Airin.
Binar ngangguk, Bu Airin ngelanjutin ucapannya. "Ini yang tadi Umi ceritain." bisik Bu Airin di telinga Binar yang cuma bisa didengar sama dia sendiri.
Tubuh Binar langsung menegang. Matanya yang bulat natap Ganendra lekat. Sementara yang ditatap jadi bingung plus malu sendiri.
"A-ada apa ya Mba? A-ada yang salah sama wajah saya?" tanya Ganendra gagap.
Boy!
Mana ada orang yang bisa tenang kalau ditatap seintens itu sama pujaan hati. Kalau ada, Ganendra mau berguru dulu biar jantungnya bisa tetap stabil nggak jumpalitan kayak habis naik histeria.
Sadar karena sedari tadi merhatiin Ganendra, Binar langsung ngehela dan ngegeleng. "Nggak ada kok." jawab Binar sambil senyum simpul.
Matanya yang sedari tadi fokus ke arah Ganendra, beralih tatap ke bayi perempuan kecil yang ada di gendongan si duda; Abela.
Waktu liat mata sipit sama pipi gembulnya, Binar langsung jatuh hati. Apalagi pas Abela ngelepas jemarinya dari dalam mulut, terus senyum sampai mata sipitnya hilang. Binar bener-bener gemas bukan main.
"Ih lucu banget adeknya." kata Binar tiba-tiba.
Ganendra senyum, sambil nimang-nimang Abela. "Makasih Mba, Abel memang lucu kok. Nggak beda jauh sama saya." ujar Ganendra jenaka.
Nggak tahu keberanian darimana Ganendra bisa ngomong kayak gitu. Ini adalah kali pertama sejak kematian istrinya, Ganendra bisa bercanda lagi. Biasanya manusia kelebihan tingi badan itu selalu nampilin sisi dinginnya, bukan yang kayak gini. Mungkin Ganendra cuma mau mencairkan sausana atau malah ingin cari suasana baru.
Bu Airin ketawa pelan waktu dengar gurauan Ganendra. Beda banget sama Binar yang malah ngerutin pangkal alisnya sambil natap Ganedra dengan tatapan aneh; ilfeel lebih tepatnya.
Ya gimana nggak ilfeel kalau belum apa-apa, Ganendra udah terlalu pede duluan dengan nganggap dirinya lucu.
Binar berdeham, terus beralih ke Abigail yang sedari tadi ngeliatin dia tanpa berkedip. "Kalo yang ganteng ini siapa namanya?" tanya Binar sambil nurunin badannya biar sepantar sama Abigail yang berdiri di sebelah Bu Airin.
Si sulung senyum, terus jawab pertanyaan Binar. "Abigail, Tante... tapi biasa dipanggil Abang Abi. Umur Abang, lima tahun!" ujar Abigail semangat. "Kalo nama Tante cantik siapa?" gantian Abigail yang nanya.
Sebenernya nggak ada yang salah, dengan pertanyaan Abigail. Yang salah itu, panggilannya untuk Binar.
'Tante Cantik'.
Hell!
Ganendra lupa kalau anaknya ini pendengar yang baik. Biar dikata tadi Abigail acuh, tapi karena telinganya yang kelewat lebar, apa yang Ganendra ucapin pasti aja ada yang kedengar sama si sulung.
"Heh? Tante cantik?" Bu Airin sama Binar ngeluarin kata yang sama berbarengan. Masih kaget sama apa yang Abigail bilang tadi.
Ganendra yang ngerasa mulai nggak beres, buru-buru meluruskan. "Mungkin, maksudnya Abigail itu Tante aja. Tanpa embel-embel cantik. Iya kan Bang?"
Abigail tiba-tiba nengok ke arah ayahnya. Si sulung bahkan harus ngeregangin otot lehernya sampai batas maksimum karena perbedaan keduanya yang terlalu jauh.