Ganendra menatap kosong langit-langit kamarnya dengan posisi terlentang. Jam bulat di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi matanya belum juga berencana untuk memejam, padahal badan sudah berteriak lelah.
Helaan nafas tiba-tiba terhembus dari pembau Ganendra saat otaknya kembali memutar perkataan Deri tentang permohonannya siang tadi.
Flashback...
"Sorry Ndra, bukannya gue nggak mau nolong. Tapi masalah ini tuh krusial. Kalo gue bantu lo buat dapetin Binar, kesannya kayak ada orang dalam gitu dalam hubungan lo." katanya.
"Gue yakin kok, lo orang baik dan bertanggung jawab. Tapi sebagai Mamas, gue juga pengen ngeliat gimana usaha lo buat naklukin hati adek gue tanpa ada campur tangan gue..." lanjut Deri yang langsung ngebuat pundak tegap Ganendra meluruh.
"...tapi lo nggak usah khawatir. Karena gue tetap dukung kok." Deri tersenyum. "Cuma ya...lo perlu usaha ekstra." lanjutnya Deri yang hanya bisa dijawab anggukan kepala oleh Ganendra.
Flashback off...
Helaan nafas kembali terhembus. Ya memang sih, dari omongan Deri nggak ada kata melarang, tapi ya...gimana ya?
Sejujurnya Ganendra berharap Deri bakal membantu. Ya minimal ngasih tahu gimana kiat-kiat untuk meluluhkan hati anak perawan Bu Airin.
Secara Derikan sepupunya. Tapi, ya sudahlah. Mungkin benar kata laki-laki pemilik senyum unik itu. Ganendra harus usaha sendiri tanpa campur tangan orang dalam seperti yang Deri katakan.
"Ayah."
Tiba-tiba suara Abigail terdengar dari balik pintu kamarnya. Ganendra yang semula berbaring di kasur, langsung berdiri ketika suara Abigail terdengar sekali lagi.
"Kenawhy bro?" tanya Ganendra setelah pintu kamarnya terbuka.
Tanpa basa-basi Abigail menyelonong masuk dan langsung merebahkan diri di kasur besar milik ayahnya.
Tubuh gempal itu berguling-guling ke kanan dan ke kiri. Ganendra yang melihat kelakuaan absurd Abigail cuma bisa mengurut dada pelan.
Ganendra pasrah melihat anaknya absurd begini. Mungkin salahnya dulu sewaktu mengadon Abigail lupa membaca bismillah, makanya ada tingkah pola absurd dirinya yang ikut terbawa aliran sperma.
"Ayah tanya bukannya dijawab, ini main nyelonong aja. Terus gegoleran gitu lagi." Ganendra ikut merebahkan diri di samping Abigail setelah menyelasaikan gerutuannya.
"Ayah, Abang mau tidur di sini." tiba-tiba tubuh gempal milik si sulung menghadap ke arah Ganendra.
Dahi Ganendra berkerut. "Tumben? Biasanya tidur sendiri?" tanyanya.
Abigail memang punya kamar sendiri. Ganendra memang membiasakan si sulung untuk mandiri. Dengan iming-iming, kalau mandiri nanti tambah ganteng.
Hek!
Alasan yang nggak masuk diakal. Sejak kapan mandiri bisa menaikkan kadar ketampanan? Mengada-ngada saja Ganendra. Dan anehnya, kenapa Abigail percaya? Hadeh...
"Abang kangen Ayah."
Tiga kata dalam satu kalimat yang berhasil membuat dada Ganendra sedikit sesak. Perihal kata 'kangen' yang diucapkan Abigail itu memiliki arti yang beraneka ragam.
Selama kepergian istrinya, Ganendra memang mengurus segala keperluan anaknya sendiri. Terkadang Bu Sherin dan Yura juga membantu. Tapi tetap, setelahnya sisa waktu mereka dihabiskan bersama Ganendra.
Laki-laki itu memang memberikan kasih sayang yang berlimpah pada keduanya. Hanya saja, Ganendra memberikan pegertian yang sedikit banyak juga membuat pola pikir Abigail berubah.
Seperti misal, Ganendra sering berkata, 'anak laki-laki itu kuat, nggak pernah menangis.', 'anak laki-laki juga harus berani supaya bisa jaga adik-adiknya.' atau 'sebagai abang, harus bisa mengalah pada adik-adiknya.'
Biasa memang, tapi hal seperti itu jika dikatakan berulang akan mengubah pola pikir anak seumuran Abigail.
Dan benar saja, diusianya yang baru lima tahun, Abigail sudah menunjukkan sikap yang berbeda dengan anak seusianya. Kalau pada umumnya anak seusia Abigail akan merengek karena orang tuanya terlalu pilih kasih, Abigail nggak.
Malah, si sulung dengan suka rela memberikan waktu berharganya agar Abela bisa bermain bersama Ganendra sementara ia bermain sendiri.
Membiarkan adiknya mendapat kasih sayang yang cukup sementara ia juga butuh waktu untuk disayang.
Ya, Abigail sedewasa itu. Terlepas dari tingkah absurdnya yang membuat Ganendra kadang geleng kepala. Tapi percaya deh, Abigail itu hebat luar biasa untuk anak seusianya.
"Abang kangen Ayah ya?"
Sebisa mungkin Ganendra menahan buliran air mata yang mendesak minta keluar. Dia tahu, selama ini waktunya bersama Abigail hanya sedikit. Meski mereka bersama, perhatian Ganendra sepenuhnya jatuh pada Abela.
"Iya...Abang kangen Ayah."
"Sini..kalo kangen Ayah, peluk!"
Tanpa harus disuruh dua kali Abigail masuk ke dalam dekapan hangat ayahnya. Gimanapun, dua orang itu butuh waktu untuk berdua kemudian berbicara dari hati ke hati layaknya orang dewasa.
"Badan Ayah bau." celoteh Abigail jenaka.
Ganendra mendengus. Apa katanya? Bau? Mana ada. Ganendra itu wangi. Bahkan kalau lagi keringetan juga masih tetap wangi. Mengada-mengada saja si gembul ikan butal ini.
"Mana ada Ayah bau...Abang kali yang bau."
"Ih? Nggak lah...Abang wangi. Kan tadi mandi di rumah Nenek Airin pake sabun warna kuning."
"Itu sabun apa pup Abela? Kok kuning?"
"Enggak tau." Aigail menggeleng. "Kata Tante cantik itu sabun wangi. Kalo Ayah nggak percaya...nih Ayah cium dong ketek Abang, wangi loh."
Abigail menganggkat sebelah tangannya keudara kemudian mengarahkan pada wajah Ganendra yang jelas saja ditolak mentah-mentah.
"Saru ih! Masa Ayah dikasih ketek."
"Kan Ayah biar bisa cium wangi ketek Abang."
"Males ah...Abang aja sini cium ketek Ayah."
Sejurus kemudian Ganendra melakujan hal yang sama seperti Abigail. Cuma bedanya Ganendra berhasil membenamkan wajah si sulung pada lipatan ketiaknya.
Beruntunglah Abigail karena Ganendra sudah pakai deodorant yang mampu membuat perempuan tergila-gila. Kalau nggak, Abigail perlu setidaknya satu tabung oksigen untuk membuat paru-parunya bernafas lega.
"Eh, tadi di sekolah baru kayak mana Bang?" tanya Ganendra ketika melepas dekapannya pada Abigail.
Abigail menarik nafas terlebih dahulu sebelum menjawab. "Seru Yah! Abang punya teman baru dong."
"Ohooo...ada yang cantik nggak Bang temannya?"
Abigail menggeleng yakin. "Nggak ada. Cuma Tante cantik aja yang cantik."
"Yeee...pinteran nih bocah, tau aja mana yang cantik." gerutu Ganendra yang dibalas kekehan ringan dari si sulung.
Benar deh, Abigail ini duplikat Ganendra banget. Tahu betul mana yang cantiknya lahir batin sama yang cantiknya made in by salon.
"Oh ya Bang?" Abigail menatap ayahnya lekat. "Kok tadi waktu Ayah jemput Abang sama Abel, Ayah nggak liat Tante cantik? Tante cantik kemana Bang?" tanya Ganendra penasaran.
Pasalnya, sewaktu menjemput keduanya di kediaman Bu Airin, Ganendra sama sekali nggak melihat keberadaan Binar. Begitu juga dengan Pak Juna yang Ganendra tahu dari Bu Airin sedang ada urusan dengan teman sesama pecinta burung perkutut.