Ganendra terbangun dari tidur nyenyaknya ketika jam bulat yang menggantung di dinding menunjukkan pukul dua pagi.
Bergegas ia untuk bangun dan beranjak menuju kamar mandi setelah memberikan kecupan kupu-kupu pada Abigail dan Abela yang masih tertidur pulas.
Lima menit berselang, Ganendra sudah lebih segar dari pada sebelumnya. Dirinya langsung beralih pada lemari pakaian untuk mengambil baju koko berwarna putih dan sarung warna biru laut serta kopiah hitam untuk ia kenakan.
Mematut diri di cermin, seulas senyum muncul diwajahnya yang masih sedikit basah karena air wudhu. "Ganteng." ujar Ganendra sumringah.
Sebenarnya tanpa Ganendra bilang begitu pun ia memang sudah tampan, tapi ya nggak ada salahnya kan memuji diri sendiri? Nunggu anak tetangga yang muji terlalu lama. Dan belum tentu dapat pujian, mungkin saja hinaan lagi seperti pagi tadi.
Sajadah telah terbentang menghadap kiblat. Niat sudah dilafalkan, sholat mulai dilakukan.
Setiap gerakan sholat Ganendra lakukan dengan tuma'ninah. Bukan asal mengangkat tangan atau sujud jengkang jengking. Nggak, Ganendra memberikan hak yang sesuai disetiap gerakannya.
Sampai pada bagian sujud, Ganendra memberikan waktu lebih lama untuk sedikit berdoa. Meminta keridhoan kepada sang pecipta untuk sekedar mendengar apa yang menjadi harapannya.
Kapan lagi kan, berbisik pada tanah tapi langit yang mendengar? Tentu Ganendra nggak akan menyia-nyiakannya dengan melaluinya begitu saja.
Sepuluh menit berlalu, dan dua rokaat sholat sunnah yang Ganendra lakukan telah selesai. Nggak langsung melipat sajadah, Ganendra beralih pada tasbih yang berada di meja kecil.
Jemarinya menggerakkan tasbih untuk memutar, sedangkan hatinya berucap kalimat pujian bagi Robb-nya seiring dengan bulatan tasbih yang bergulir satu per satu.
Sejumput air mata luluh ketika bibir Ganendra berucap kata 'Laailaa ha illauloh'. Ganendra merasa kecil hanya dengan mengingatnya. Apalah daya Ganendra yang hanya sebesar upil jika dibanding Tuhannya yang maha segala.
Selesai berdzikir, kedua tangan Ganendra menengadah ke atas. Mata besarnya tertutup. Bibirnya terkatup, tapi hatinya yang berbicara.
Semua yang menjadi doa Ganendra, ia utarakan pada pemikik semesta. Termasuk niatan untuk meminta anak gadis bu RT menjadi bagian dari keluarganya dikemudian hari.
Ganendra sadar diri, jatuh cintanya pada anak bu RT salah. Ganendra terlalu percaya diri bahwa rasa cintanya akan berbalas meski pertemuan mereka hanya dalam sekali tatap.
Ganendra lupa, kalau ada restu yang harus lebih dulu diminta sebelum restu orangtua.
Dimana dekati dulu penciptanya, kemudian orangtuanya, terakhir baru calonnya. InsyaaAllah, lancar jaya aman sentosa.
Bukan main asal selonong seperti tak punya tata krama. Ujung-ujungnya, malah kata-kata 'bikin ilfeel, terlalu pede, dan sok asik' yang jadi bahan pembuka. Hah...Ganendra butuh meratapi dosa-dosanya terlebih dahulu sebelum berjuang.
Ya, setidaknya itulah yang harus Ganendra lakukan sekarang sebagai bentuk introspeksi diri.
"Ya muqollibal qulub tsabbits qolbi 'alaa diinikh."
"Wahai Dzat yang maha membolak balikkan hati, tetapkanlah hati ku pada satu agama Mu."
Amiiin~
🌷
Pagi ini rumah keluarga Pak Juna nampak sedikit ramai. Selain karena kedatangan Biyu, kehadiran Aeno sejak semalam juga menambah riuh suasana. Kendati masih galau karena kucing putihnya yang dirawat di klinik hewan, Aeno memilih untuk ikut pulang bersama Binar.
Laki-laki itu lebih memilih pulang ke rumah sepupu perempuannya ketimbang harus berdiam diri di rumah tanpa ada yang menemani. Bisa-bisa Aeno makin galau tak berkesudahan karena terus memikirkan Bibi.
"Hari ini kamu mau ngapain Le? Ada pemotretan nggak?" tanya Pak Juna sambil menyesap teh tubruk hangatnya. Disebelahnya ada Bu Airin yang tengah update gosip terbaru melalui situs Lambe Tumpah.
Aeno yang sedang menikmati cemilan singkong goreng menggeleng. "Nggak ada. Sebulan ini Aeno pengangguran." katanya.
Memang dari keenam keponakannya, hanya Aeno yang mengepakkan sayap di dunia modeling. Bermodal tubuh tinggi tegap dan wajah yang bak raingkarnasi dewa dalam mitologi Yunani, Aeno sukses menjadi model ternama.
"Kalo kamu masih pengangguran, ikut Abi aja yuk? Kita mancing di empangnya Haji Suki. Gimana?" tawar Pak Juna yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Aeno.
"Ah males ah....mending Aeno di rumah aja. Ngadem sambil nonton kartun." ujarnya.
Biyu dan Binar tertawa mendengar jawaban yang lebih muda. Mereka berdua paham seperti apa Aeno. Jika ada waktu luang, si bontot itu jelas akan memilih untuk mengistirahatkan diri di rumah. Katanya, itu adalah bentuk apresiasi yang ia berikan pada tubuhnya karena telah bekerja keras.
"Mau pergi sekarang nggak Neng?" tanya Biyu setelah melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Jam berapa memang sekarang A'?"
"Jam delapan kurang dua puluh. Gimana?"
Binar mengangguk. "Ya udah ayo."
Mendengar ucapan Binar, Bu Airin yang semula fokus pada ponsel mahal miliknya, reflek mengalihkan tatap. "Mau pergi sekarang?"
"Iya."
"Loh? Nggak nunggu Abigail?"
"Emang Abigail mau ikut sekolah lagi?" tanya Binar pensaaran.
Bu Airin mengangguk. "Iya...kemarin sebelum pulang, Abigail tanya sama Umi, kalo hari ini boleh nggak ikut Neng lagi. Ya Umi jawab aja boleh." jelas Bu Airin. "Umi juga udah ngomong ke Ganendra kok, kalo suruh nganterin Abigailnya jam setengah delapanan. Tapi kok belum dateng ya?"
"Mungkin nggak jadi."
"Masa sih?" Bu Airin berujar sanksi. Binar menggedikkan bahu.
Bu Airin diam. Masih penasaran dengan alasan ketidak munculan kedua anak Ganendra seperti yang dijanjikan kemarin.
Sedangkan Binar sudah berdiri dari duduknya. "Neng pergi ya..." punggung tangan Pak Juna, Binar kecup. Tak lupa juga kedua pipinya.
"Hati-hati ya..." kata Pak Juna sambil mengelus rambut hitam milik Binar. Dan di sebelahnya, Biyu melakukan hal yang sama.
"Biyu pergi Bi..."
"Hm...adeknya dijagain." titah Pak Juna. "Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya. Tapi harus cepet nyampe."
Biyu menghela. "Ya nggak ada ceritanya begitulah Bi." gerutunya yang ditanggapi dengan kekehan ringan dari Pak Juna.
"Mi...Neng pergi ya."
"Beneran nggak nunggu Abigail tah Neng? Kasihan loh dia."